Bab 26: Syntax Error

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari Selasa, minggu ketiga penyelenggaraan olimpiade. Ruang aula serbaguna Hotel Pharah, Kota Dvat, Ascent. Pukul 08.00 waktu setempat.

"Selamat datang di latihan fase ketiga!" Bu Eva berkata lantang dari arah tengah. Guru pembimbing dari Ascent itu menunjuk salah satu tim di sisi kanan. "Ibu ucapkan selamat kepada tim Magna Prudentia yang berhasil menjadi urutan pertama di babak sebelumnya."

Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan sampai Bu Eva mengangkat satu jarinya.

"Akan tetapi ingat, perjalanan masih panjang. Jangan dulu terlena dengan kemenangan semu karena masih ada tim lain yang siap menyalip," katanya sambil melihat ke arah kiri pada tim Prima Sophia, lalu ke tengah pada kami.

"Hari ini, kita akan belajar tentang bahasa. Karena sebagai ilmuwan, penting untuk kita agar bisa mengemukakan hasil penelitian ke publik untuk kepentingan masyarakat luas. Kita harus bisa berkomunikasi baik dari segi lisan maupun tulisan. Tidak boleh ada kesalahpahaman yang terjadi sehingga menimbulkan mitos atau hoax baru yang tidak bertanggung jawab," lanjut Bu Eva. "Bahasa yang akan kita bahas hari ini adalah Bahasa Ensia sebagai bahasa internasional." Ia kemudian menyerahkan materi kepada Pak Oxa.

Sang Guru Pembimbing dari Canidae itu berjalan ke tengah menggantikan Bu Eva, sementara Bu Eva sendiri kembali ke tempat duduknya di sebelah kiri. Pak Oxa kemudian memencet tombol dari remote control di tangannya. Sebuah layar putih muncul memperlihatkan contoh susunan kalimat dengan penanda di setiap kata.

Pak Oxa membetulkan letak kacamatanya sebelum buka suara. "Dalam mengemukakan penelitiannya, ilmuwan dituntut pertama kali menuliskannya dalam sebuah jurnal penelitian, paper, prosiding, dan masih banyak lagi. Karya ilmiah ini harus memiliki bahasa yang lugas, tidak ambigu, dan jelas ...."

"Sangat membosankan," bisik Chrys. Anak itu menumpu pipi dengan satu tangan. "Apa waktu tidak bisa dipercepat ke saat yang lebih seru?"

Aku mengangkat satu alis. Dia ada benarnya.

Karena aku kasihan kepada Chrys serta untuk menghindari sesi ini berubah seperti buku pelajaran yang menjemukan, sebaiknya kita percepat ke saat Pak Ben memberitahukan apa yang harus kami lakukan di latihan kali ini.

"Logika diperlukan untuk membuat sebuah kalimat menjadi mudah dibaca dan dimengerti, tidak rancu, serta jelas subjek dan objeknya. Oleh karena itu, untuk mengasah kecakapan kalian dalam analisis dan logika, kita akan memakai ...," Pak Ben menggantungkan kalimatnya seperti biasa untuk menimbulkan efek dramatis. Dia mengatupkan kedua telapak tangan seolah jawabannya ada di dalam sana. "... riddle!" lanjutnya sambil membuka tangannya yang tertangkup seperti pesulap yang mengeluarkan burung dara. Tidak ada apa-apa di sana, tentu saja. Apa yang kau harapkan?

"Hah?" Kebanyakan dari kami heran.

"Riddle?" Sebagian dari kami bingung.

"Wah, aku suka ini!" Sebagiannya lagi antusias.

"Mereka bercanda," gumamku. Aku tidak percaya perlombaan sekelas olimpiade yang melibatkan tiga negara akan mengandalkan teka-teki—yang mungkin tidak ada unsur ilmiahnya dan biasanya hanya misteri—ada dalam prosesnya. Aku tidak habis pikir. "Menggelikan."

"Ayolah, Ren. Setidaknya kita bisa menikmati perlombaan ini setelah apa yang terjadi sebelumnya," hibur Chrys.

"Jangan dianggap remeh. Kebanyakan kalian bahkan mungkin tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini." Bu Eva bangkit berdiri, berjalan ke tengah menemani Pak Ben. "Dengan menjawab teka-teki ini, kalian akan belajar bagaimana contoh kalimat yang memusingkan. Belajar dari kesalahan, kalian nantinya dapat membuat kalimat yang enak dibaca dan dicerna."

"Seharusnya kita membuat karya tulis ilmiah saja," gumamku.

Gadis cerewet di sampingku protes. "Dan membuat cerita ini jadi membosankan? Maaf saja, tetapi aku tidak mau. Meskipun kau tokoh sentralnya, aku akan sekuat tenaga agar semua itu tidak akan terjadi. Kalau perlu biar aku saja yang jadi naratornya!"

"Chloe benar, Ren. Berhentilah jadi orang yang kaku. Itu membosankan!"

"Kau bahkan lebih keras dari batu!" tambah si Gadis Badut.

"Tapi, Chloe, batu akan melunak kalau terus diberi air. Kau hanya perlu menyentuhnya di tempat yang tepat secara terus menerus. Seperti peribahasa." Chrys terus menyenggolku dengan siku sambil tersenyum. Aku menepis lengannya.

"Sudahlah, kalian berdua!" seruku—yang menarik perhatian Pak Ben untuk menegur kami.

"Yang di tengah bisa diam?"

Kami bertiga tertunduk. "Maaf, Pak," ujar kami serempak. Tawa cemoohan terdengar dari kedua sisi.

"Semua ini salah kalian berdua," tuduhku. Si Badut Konyol mencebik, sedangkan si Anak Pirang memonyongkan bibirnya sambil melihat ke arah lain.

"Baik, sekarang kita mulai saja. Setiap ketua tim maju untuk mengambil soal latihan," perintah Bu Eva.

Aku, Saka, dan Alva maju dan mengambil masing-masing empat lembar ipapyria—kalau kalian lupa, kertas elektronik tipis yang dapat memuat beragam data dengan adanya memori yang tertanam di dalamnya—berukuran A5 berisikan 25 soal per lembar dari Bu Eva. Karena juga bersifat digital, tulisan-tulisan yang ada bisa diperkecil atau diperbesar sesuai kebutuhan.

"Kalau kalian bertanya kenapa soal-soalnya tidak dikirim saja ke geniusphone kalian, ini agar kalian bisa fokus dan tidak terganggu dengan notifikasi apa pun, apalagi notifikasi dari gim." Bu Eva mengangkat satu jari. "Ingat, latihan ini membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Jangan menggampangkan apa pun."

Pak Oxa menambahkan dari tempatnya duduk di ujung kiri. "Pertandingan telah dimulai bahkan semenjak di arena latihan. Kami sudah pernah mengatakannya berulang kali. Tetap perhatikan baik-baik setiap soal latihan yang diberikan. Hal itu mungkin akan membawa pengaruh besar pada hasil akhir."

"Bapak akan jelaskan teknisnya." Pak Ben buka suara kembali. "Kalian punya stylus, 'kan?" tanyanya memastikan.

"Ada, Pak." Sebagian dari kami menjawab, sebagiannya lagi mengangguk.

"Nah, tulis jawaban kalian di bawah pertanyaan yang ada. Kalian boleh mengerjakannya di mana pun. Ada waktu dua hari untuk mengerjakan sebelum kita samakan jawabannya nanti."

Suara riuh bisik-bisik bergaung.

"Kau dapat apa?"

"Aku mau lihat!"

"Oh, aku tahu jawabannya!"

"Mana mungkin jawabannya 'pantat babi'."

"Tukar, dong ...."

"Mana boleh!"

"Untuk permulaan, Bapak akan bacakan salah satu soal, nanti kalian tebak jawabannya beserta beri penjelasannya," kata Pak Ben sambil melihat lembar soalnya sendiri.

"Baik, Pak ...," jawab kami.

"Oke." Pak Ben berdeham mengetes suaranya. "Aku bisa cepat, aku bisa diam. Aku dapat mendingin, aku dapat memanas. Pun, menjadi keras. Pula dapat menyelip hampir di segala hal. Apakah aku?"

Sayup-sayup suara para siswa di aula serbaguna menggema.

Aku menghela napas pasrah. Benar-benar seperti permainan anak SD. Bisa-bisanya yang seperti itu masuk ke soal olimpiade. Seharusnya soal-soal yang lebih menantang otak yang dikeluarkan. Bukannya malah soal komedi. "Meh ...."

"Kau bosan, Ren?" tanya Chrys. Mata anak itu bergantian antara aku dan soal di tangannya.

Aku tidak menjawab. Sepertinya ekspresi dan responsku dari tadi sudah jelas.

"Sudahlah, nikmati saja. Jarang-jarang kan, olimpiade diadakan seperti ini? Lagi pula kau pasti sudah sadar, 'kan? Dari awal acara ini tidak menekankan pada pelajaran semata, tetapi kekompakan, strategi, dan tentunya hiburan bagi para penonton! Bahkan mungkin acara ini diadakan hanya untuk meningkatkan kedatangan turis."

Aku mengerling. Chrys bisa saja benar. Semua ini hanyalah panggung sirkus dengan tujuan tertentu. Entah itu pamer teknologi atau yang lain.

Anak di sampingku menggebrak bangku. Tangannya terangkat. "Jawabannya udara, Pak!" kata Chrys. "Udara bisa diam, bisa bergerak. Bisa dipanaskan, bisa mendingin. Menyelip ke segala tempat!"

"Jawaban yang masuk akal, tetapi bukan itu," timpal Pak Ben. "Masih ada yang kurang.

"Yah ...."

"Jawabannya adalah air." Alva bersuara. "Air dapat bergerak cepat dari tempat tinggi ke tempat rendah. Dapat diam dalam genangan. Dipanaskan dan didinginkan. Mengeras menjadi es, serta menyelip hampir ke segala tempat."

"Benar!" Pak Ben bertepuk tangan, yang lain mengikuti. "Nah, begitu cara mainnya. Sekarang, silakan kerjakan."

Aku langsung beranjak dari tempat duduk. Baiklah, sepertinya tidak ada jalan lain selain mengikuti permainan bila ingin menyelesaikan semua kekonyolan ini.

"Hey, Ren, mau ke mana?" tanya Chrys. Pantatnya masih menempel di kursi dengan erat.

"Kamar," jawabku singkat.

"Tunggu!" Anak itu bangkit lantas merangkulku. "Bagaimana kalau kita kerjakan bersama? Akan lebih mudah kalau banyak otak yang bekerja." Chrys melihat ke arah Chloe dan Mischa. "Ya, kan, Gadis-Gadis?"

"Katakan saja kalau kau malas berpikir," tuduhku. Kuenyahkan lengannya yang sedari tadi menempel di bahuku.

"Te ... tentu saja tidak!" kilah Chrys.

"Terserah—"

Tim Prima Sophia bergerak terburu-buru keluar dari ruangan. Saat mereka melewatiku, Alva memberi salam dua jari. "Semoga beruntung!" katanya dengan senyum meremehkan. Dia kemudian membisikkan sesuatu kepada anggotanya. Mereka lantas menyebar.

Entah perasaanku saja atau mereka telah menemukan sesuatu?

Kebosananku terhadap sesi latihan ini berubah 180 derajat. Ada sesuatu yang menarik perhatian mereka. "Ayo, ke ruangan," perintahku.

"Plin-plan sekali kau," ejek Chloe. Gadis itu berjalan cepat di sampingku.

"Diam. Ada sesuatu yang aneh."

Setelah sebelumnya aku kembali ke kamar untuk mengambil stylus bersama Chrys, kami berkumpul di ruang tim. Aku langsung duduk di sofa dan segera menganalisis setiap soal yang ada.

"Hei, Ren, bisa kau beri tahu kami yang kau dapat?" Chrys terus bertanya hal yang sama semenjak kami datang ke ruangan. Aku belum menghiraukannya dan terus membaca dari atas sampai bawah, berharap menemukan sesuatu yang janggal hingga membuat tim Prima Sophia sangat bersemangat. "Kami kan, penasaran."

"Sudah, jangan pedulikan dia Chrys. Lebih baik kita pesan makan dulu sebelum makan siang. Aku lapar."

"Aku mau kentang panggang dengan keju mozarela," celetukku. Bagaimanapun juga, aku harus mengisi perut untuk bahan bakar otak.

"Kau yakin? Itu makanan berat, loh." Chrys bertanya dengan nada ragu. Aku mengangkat wajah untuk menunjukkan kalau aku serius. Alis lelaki itu mengerut.

"Kenapa? Aku yang makan kenapa kau yang repot?"

"Ayo, ribut kalian. Aku suka lihat orang baku hantam." Chloe memanasi.

"Chlo, jangan mulai," mohon Chrys. Anak itu menatapku kembali. Dia mengangkat bahu pada akhirnya. "Ya sudah, kalau itu maumu."

Aku kembali menekuri soal. Tidak menghiraukan ocehan yang dilontarkan oleh teman-temanku.

Setelah cukup lama berkutat dengan kata-kata, aku masih belum bisa memastikan ada apa di balik soal-soal ini selain kumpulan teka-teki biasa yang sebagian besar aku sudah tahu jawabannya. Kulempar ipapyria-ku ke atas meja rendah dengan kasar. Kutarik napas dalam-dalam untuk meredakan kekecewaan atas diri sendiri.

"Sekarang kau mau bicara atau masih mau merajuk?" tanya Chloe sambil melipat tangan di depan dada.

Kutarik napas dalam sekali lagi. Kupijat pangkal hidung untuk meredakan emosi sebelum kuambil lagi kumpulan soal di atas meja. "Ini bukan hanya sekadar kumpulan soal," jawabku sambil menyentil kertas elektronik itu. "Ada sesuatu ... mungkin petunjuk. Aku tidak tahu. Yang pasti, Prima Sophia sudah mendapatkannya."

"Dan?" Chloe mengangkat satu alis. "Apa itu penting? Kenapa kau sangat terobsesi sekali?"

"Karena seperti kata Pak Oxa ... dan Alva. Di pertemuan terakhirku dengan Pak Ben juga, dia bilang bahwa tidak hanya hasil di pertandingan saja yang diperhitungkan. Pertandingan sudah dimulai sejak di arena latihan. Semua sesi latihan ini pasti mendapat penilaian. Sepertinya aku terlambat menyadarinya."

"Itu, kan, hanya asumsimu saja." Gadis itu menjawab santai. Ia bahkan bisa-bisanya mengupil di saat aku tengah berpikir keras. "Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." Kotoran hidungnya ia buang ke sembarang tempat. Menjijikkan.

"Kalau tidak seperti itu, kenapa Prima Sophia dari awal selalu ingin menang bahkan hanya dalam sesi latihan?" tanyaku skeptis.

"Ya, mana ada orang yang tidak serius!" Nada bicara si Gadis Badut meninggi. "Pikirkan saja, ini olimpade. Masa mau berleha-leha? Otakmu yang cerdas itu pakai, dong! Kau itu terlalu paranoid!"

"Apa kau mau bilang kalau aku ini bodoh dan mudah takut, huh?!"

"Iya! Memang kenapa?!" Gadis itu bangkit dari duduknya, menantang.

"Sudah, sudah." Chrys mencoba menengahi kami. "Ren, kami hargai sikap waspadamu, tetapi memaksa pikiran untuk hal yang belum pasti hanya akan membuatmu stres. Tenang dulu, oke?"

"Kau juga menganggapku paranoid?" tanyaku.

Chrys mengerutkan wajahnya sambil tersenyum bodoh. Dia memandang ke arah lain, seperti orang yang sedang menyusun kata-kata serta juga takut salah bicara. "Kita makan dulu, ya? Otakmu butuh nutrisi untuk berpikir keras. Itu kenapa kau pesan makanan berat, 'kan?"

Aku mendesah seraya menyandarkan punggung. "Terserah."

"Kau sedang PMS, ya?" cemooh Chloe seraya kembali duduk.

"Ish! Chlo!" geram Chrys. Gadis yang dimaksud hanya mengedikkan bahu.

"Prima Sophia bisa bertingkah seperti itu mungkin karena Bu Eva memberitahukan sesuatu. Bisa saja itu benar, bisa saja tidak. Kita belum tahu," asumsi Chloe.

"Termasuk terburu-buru ke luar ruangan dan berpencar. Mereka diberi tahu sesuatu?" tanyaku skeptis.

"Ya, mana kutahu."

Aku memandang sinis Badut Konyol itu.

Sesaat setelah itu, pintu diketuk. Makanan yang kami pesan datang. Aku menyantap makananku tanpa memperhatikan yang lain. Mereka tengah sibuk menikmati pesanan masing-masing dengan senda gurau sementara aku kembali berkutat dengan petunjuk yang masih belum kutemukan. Aku berpikir keras. Seperti mencari pintu misterius berisi harta karun dalam sebuah kuil yang belum tentu ada.

...

"Kau masih belum dapat yang kau cari?" tanya Chrys. Dia sedang menonton televisi sambil selonjoran di sofa dengan kaki terangkat ke atas meja. Anak itu sudah menyerah mengerjakan soal sejak setengah jam yang lalu, sedangkan aku masih menekuri soal dari sesaat setelah makan siang.

"Belum," jawabku singkat. Kulingkari dengan stylus kata-kata yang sekiranya berpotensi menjadi petunjuk.

Ide tercetus ketika Chrys menonton kartun tentang bocah detektif. Aku segera bergegas keluar dan menjalankan rencana yang semoga saja membuahkan hasil.

"Kau mau ke mana?" tanya Chrys ketika aku berada di ambang pintu.

"Cari angin," timpalku cepat karena aku malas menjelaskan apa yang akan kulakukan. Anak pirang itu mengangguk-angguk sebelum kembali fokus pada layar kaca.

Aku menelusuri lorong, mencari keberadaan baik tim Prima Sophia maupun Magna Prudentia, meskipun aku ragu tim Canidae itu telah mendapat sesuatu seperti halnya tim Ascent. Menurut perhitunganku, tim Alva dan kawan-kawan akan kembali mencari "petunjuk", walaupun aku tidak yakin mereka melanjutkan dari mana.

Aku masuk ke lift berniat turun ke lantai satu. Kuperhatikan pantulan wajahku di dinding lift, dia balik menatap. Wajahnya penuh keseriusan dan ada gurat kekhawatiran di sana. Kata-kata Chloe kembali berdengung. Apa aku memang separanoid itu?

Perjalananku di lift berakhir hanya ditemani keheningan dan suara pikiran. Keluar dari lift, aku langsung disambut suasana lobi yang sepi. Kuputuskan pergi ke taman belakang hotel berharap menemukan apa yang kucari.

Taman itu bersebelahan dengan kolam renang. Aku harus melewati orang-orang setengah telanjang dan berpakaian terbuka untuk sampai ke area hijau berbunga. Ada beberapa orang yang duduk-duduk di paviliun sambil bercengkerama. Di antara mereka—sejauh yang tertangkap olehku—ada Argen dan Ludwig yang sudah sepaket sedang mendiskusikan sesuatu dan ada Aryza yang tengah membaca buku—entah apa—yang bisa dibilang sudah ketinggalan zaman. Aku berjongkok mengambil tempat yang agak jauh dan tidak terlihat dari mereka agar aku tidak ketahuan dan dapat melihat situasi lebih nyaman.

Beberapa menit berlalu sampai kakiku kesemutan, tidak ada hal yang aneh.

"Hah, mungkin ini sia-sia ...."

"Apa yang sia-sia?"

OH, SHIT!

Aku terperanjat kaget. Di hadapanku, berdiri seorang perempuan berambut emas tengah tersenyum manis. Kedua matanya terpejam lantas terbuka memperlihatkan mata hijau zamrud yang cerah.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil membantuku berdiri.

"Tidak apa-apa," jawabku. Kubersihkan bagian tubuh yang kotor.

"Tapi, wajahmu merah."

"Apa?"

Gadis itu hanya tertawa. "Kau sedang apa, sih?"

"Refreshing," kilahku.

"Yakin?" Ia memperhatikanku intens sambil masih memasang senyum. Matanya menatap tajam sampai aku harus memalingkan wajah karena rasanya kepalaku seperti melayang—dalam arti yang buruk—kalau menatapnya terlalu lama. Serangan psikologis sialan.

"Yakin," timpalku.

"Aku tidak akan marah, kok, kalau kau sedang memata-matai kami."

Aku seketika diam. Kelu. Pernyataannya membuatku langsung merasa tak keruan. Bagaimana ia tahu? Tebakan yang beruntung?

"Biar kutebak, kau pasti sedang mencari tahu tentang riddle, 'kan? Mau kuberi tahu sesuatu? Memang ada sesuatu di sana, tidak hanya serangkaian teka-teki konyol."

Aku langsung menghadapnya yang masih tersenyum. Senyum yang tak bisa kuartikan apa maksudnya.

"Memata-matai kami hanya karena kami bertingkah mencurigakan? Asumsimu itu memang benar. Teman-temanmu yang salah."

Dia tahu sesuatu tentang petunjuk. Tentang keresahanku. Tentang banyak hal sepertinya. Haruskah aku bertanya apa itu?

Aku menggeleng keras. Tidak, tunggu. Ada yang salah. "Apa sebenarnya kekuatanmu, Olivia? Pembaca pikiran? Apa itu sebabnya aku selalu sakit kepala saat kita bertatapan?" tuduhku.

"Kekuatanku itu rahasia perusahaan, Sayang." Olivia berkedip sambil menaruh telunjuk di depan bibir. "Lagi pula aku sudah memverifikasi asumsimu itu, tetapi aku tak dapat memberi tahu lebih. Kami juga masih mencari. Kau harus temukan sendiri. Nah, tidak ada lagi yang harus kuobrolkan."

Dia langsung pergi menuju Aryza, meninggalkanku yang bertambah bingung. Pertama petunjuk riddle yang belum terjawab, sekarang fakta tentang Olivia yang kemungkinan seorang Esper berbahaya.

Haruskah aku semakin khawatir? Apa maksud ia memberitahuku sebenarnya?

~~oOo~~

A/N

Fase ketiga dimulai! Yaaay!!! Dari fase ini akan semakin seru. Kalau kalian merasa repetisi di dua fase sebelumnya, mohon maaf ya. Mulai dari sini aku yakin akan lebih menyenangkan karena aku sudah nulis fase ini dari lama karena gereget ingin buru-buru liat tingkah Arennga dkk. yg "Ugh", susah dideskripsikan. Akan ada banyak kejadian-kejadian yang mengejutkan juga. Jadi, tunggu saja!

...

Diterbitkan: 24/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro