Bab 27: Into the Sky

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mengesampingkan hal yang membuatku khawatir kemarin, aku harus bersikap profesional. Bagaimanapun, aku yang tidak fokus bisa membuat tim berada dalam ambang kekalahan. Sebisa mungkin aku bersikap biasa seolah tidak ada hal yang terjadi.

"Kau tidak apa-apa, Ren?" Chrys bertanya sebelum dia melahap sarapannya.

"Ya," jawabku. "Kenapa memang?"

"Kau seperti orang yang banyak pikiran," tanggap Chloe. "Maksudku, kau memang suka berpikir keras. Apalagi kita sedang olimpiade. Tapi, sekarang kau lebih seperti orang yang sedang memikirkan masalah lain."

"Aw, Chlo. Kau perhatian sekali!" Chrys tertawa. "Aku bahkan tidak terpikir sampai ke sana." Anak itu menggoda. "Kalian memang cocok dari dulu."

"Apa—Ngawur!" Chloe gelagapan. Pipinya memerah. Ia lekas memakan sarapannya dan minum dengan cepat sampai tersedak sebelum memaki. "Mana mau aku dengan Kesatria Sombong itu!"

"Aku juga mana mau dengan badut konyol sepertimu," timpalku.

"Lihat, kalian sangat kompak dalam membenci satu sama lain. Cocok sekali." Chrys bersikeras. Aku dan Chloe sama-sama menolaknya.

"Konsep bego dari mana itu, Chrys!" Chloe histeris. Gadis itu gemas sendiri.

"Mana ada konsep yang seperti itu!" protesku.

"Kalian semakin kompak!"

Masih pagi, tetapi sudah ada yang membuat otakku panas. Namun, setidaknya, Chrys dapat mencairkan kekhawatiranku yang telah mengendap dari kemarin.

Sarapan yang menyenangkan.

...

"Aku bertaruh latihan kali ini akan sangat menyenangkan!" Chrys berkata girang. Senyum di wajahnya tidak hilang dari awal kami sampai di Stadion Infinite.

Kami dikumpulkan di lapangan yang telah digunakan dua fase sebelumnya. Seperti pemain sepak bola yang akan latihan—termasuk di dalamnya memakai pakaian olahraga masing-masing sekolah minus sepatu bergerigi—kami berbaris rapi, menunggu aba-aba "pelatih". Tim SeS ada di tengah memakai kaus warna biru, sedangkan Prima Sophia berwarna merah di kanan dan Magna Prudentia berwarna kuning di kiri.

Pak Ben, Pak Oxa, dan Bu Eva berdiri tegap menghadap kami. Mereka juga memakai pakaian olahraga. Pak Ben dengan kaus oblong hitam dan celana pendek biru selutut. Tangan dan kakinya yang seharusnya terekspos tertutup kain hitam. Cara berpakaiannya mirip denganku, kecuali aku yang memakai celana panjang. Sementara itu, Pak Oxa dengan kaus polo biru laut dan celana panjang hitam. Kacamatanya tidak ada, mungkin diganti lensa kontak. Aku tidak yakin. Bu Eva yang paling mencolok. Entah kenapa sejak pertama guru pembimbing itu seperti selalu ingin terlihat tampil seksi. Sekarang saja, Bu Eva memakai celana leging putih ketat yang membentuk paha dan betisnya seperti kulit kedua, belum lagi jaket hoodie merah yang menempel ketat dengan risleting rendah memperlihatkan ... belahan ....

"Haruskah kuingatkan kalau kita di sini untuk belajar bukannya cuci mata," bisik Chrys. Aku langsung mengalihkan pandang ke arah kanan. Seorang gadis menatapku jijik.

"Mesum," gumam Chloe. Mata kacang almonnya melihatku tajam.

Aku tidak yakin sudah seperti apa wajahku sekarang.

Pak Ben bertepuk tangan sekali. "Okey, Anak-Anak! Latihan kali ini benar-benar akan berbeda dari sebelumnya, karena kita juga akan melatih fisik tidak hanya otak," katanya bersemangat.

Suara antusias berputar di sekitarku.

"Tidak perlu basa-basi lagi,"—Pak Ben menunjuk langit, aku refleks mengikuti arahnya—"kita sambut bintang utamanya!"

Sesuatu memelesat bagai kilat. Hal itu berputar mengelilingi lapangan beberapa kali sebelum mengarah cepat kepada kami. Suara teriakan panik dan kagum saling bersahutan. Setelah lebih dekat, baru kutahu kalau "hal" itu adalah seorang pria yang sedang menaiki papan layang. Dia mengerem di hadapan kami seperti peselancar yang tengah berbelok. Orang itu melompat turun dan langsung menyapa kami ....

"SELAMAT PAGI, SEMUA!"

... dengan suaranya yang besar dan tegas seperti tentara.

Kami semua refleks menjawab dengan suara lantang. "Selamat pagi, Pak!"

"Kali ini kalian akan melatih otot, refleks, dan fokus. Sebelum memulai, kita akan pemanasan dahulu. Ayo, Semua, regangkan tubuh kalian!" Pria itu menautkan tangan ke atas.

Kami pemanasan selama setengah jam. Setelah itu, kami disuruh lari keliling lapangan satu kali. Terdengar terlalu mudah? Haruskah kuingatkan kalau Infinite Stadium panjang dan sisinya tiga kali lapangan sepak bola biasa? Membuatnya sembilan kali lebih luas dari lapangan biasa. ([120 m x 3] x [90 m x 3]) = 97.200 meter persegi. 9,72 hektare.

"Total jarak yang harus ditempuh adalah 1.260 meter!" seru Chrys.

Hm, sepertinya anak itu juga tahu. Bukan hanya aku.

"1,26 kilometer," gumamku. Lumayan.

"Mau lomba siapa yang tercepat?" tawar Chrys.

Aku tertawa remeh sambil bersedekap. "Memang kalau kau menang, kau mau apa dariku?" tanyaku.

Chrys tersenyum lebar sambil menunjuk dirinya sendiri dengan jempol. "Pijat aku, ya! Aku yakin ototku nanti akan sangat pegal," katanya sambil menepuk-nepuk paha.

"Itu pun kalau kau menang." Kami mulai di garis start. "Kalau kau memaksa, aku ingin pijat ala spa."

Peluit dibunyikan. Kami langsung mulai sesi perlombaan.

Chrys memelesat, disusul oleh Argen dan Ludwig yang sepertinya memiliki kompetisi mereka sendiri. Alva berlari di sampingku tak lama kemudian. Saka di sisi lain tidak mau kalah.

"Aku tidak heran dengan tubuh atletismu itu kau memiliki stamina yang tinggi," kata Alva. "Tapi, ini hanya pemanasan. Bukan kompetisi sesungguhnya." Dia melambat setelahnya.

"Hei, Kawan-Lawan. Kau hebat, tapi aku tidak akan kalah," timpal Saka. Dia mempercepat laju, tetapi tidak lama.

Aku meninggalkan mereka dengan heran dan berniat menyusul Chrys.

"Eh?!" Chrys terkejut aku bisa menyusulnya. "Aku tidak akan kalah! Kau harus memijatku!" Anak itu menambah kecepatan, tetapi hanya beberapa langkah di depanku.

Dua menit berlari, tubuhku mulai panas. Empat menit berlari, keringat mulai membanjiri. Di menit kelima, jantungku mulai berpacu cepat. Sudah setengah jalan yang kulewati.

Aku berbalik ke belakang. Chloe dan Mischa jauh ada di paling akhir. Mischa tampak kelelahan, sedangkan Chloe terlihat seperti sedang menyemangatinya. Aku memperlambat kecepatan agar bisa sejajar dengan mereka. Orang-orang yang melewatiku tampak keheranan kenapa aku memilih jadi paling akhir bersama para gadis.

"Kau tak apa-apa?" tanyaku pada Mischa.

Gadis itu mengangguk. Namun, deru napasnya yang tak beraturan tak bisa berbohong.

"Tumben kau peduli?" cibir Chloe.

"Peduli salah. Tidak peduli makin salah. Aku memang selalu salah di matamu, ya?"

Si Badut Konyol hanya membuang muka.

Kami berlari sangat lambat. Terkadang berhenti sejenak karena Mischa kelelahan dan harus mengambil napas terlebih dahulu. Chloe tidak lebih baik. Sesekali mereka menumpu pada lutut sambil memegangi dada. Aku heran bagaimana mereka bisa bertahan di pertandingan, sedangkan di area latihan saja sudah seperti ini.

Chrys di seberang lapangan sudah sampai di titik semula. Dia melompat girang seperti telah mendapat juara satu dalam maraton. Anak itu lalu berbaring. Semaput mungkin. Sementara itu, anak-anak lain yang sudah sampai di titik awal mengambil minuman dari kontainer mini.

Aku, Chloe, dan Mischa tiba sepuluh menit kemudian. Kami langsung memburu minuman dingin dalam peti berisi es. Sebelum kuteguk, kutempelkan dahulu botol dingin itu ke pipi.

"Hah, dingin ....." Kuteguk minuman isotonik itu sambil merasakan tiap tetesannya mengalir di lidahku. Manis. Dingin. Menyegarkan.

"Ren—"

Air di mulutku tersembur saat Chrys menepuk bahuku, membuatku kaget seketika.

"AAAH!!! WAJAHKU YANG TAMPAN TERKENA CAIRAN ASAM!!!" Chrys berteriak seperti anjing terinjak ekornya sambil menutupi muka. Aku langsung menjitak kepalanya.

"Aw ...," ringisnya sembari berjongkok seraya memegang kepala. Dia melihatku dengan tatapan anak anjing habis tercebur got. Kesan itu semakin kuat dengan wajah anak pirang itu yang basah. Tetes-tetes cairan berjatuhan dari dagunya.

"Ah, maaf," sesalku.

Chrys cemberut dengan bibir yang maju seolah mengatakan, "Kenapa semua ini terjadi padaku? Aku salah apa?"

Anak itu bangkit. "Tidak apa-apalah," timpalnya sambil mengelap wajah dengan ujung kaus sampai otot perutnya terlihat. "Asalkan kau memberiku lebih dari sekadar pijatan, aku akan memaafkanmu."

Haruskah kujitak kepalanya lebih keras?

"Semuanya berbaris kembali!" Peluit berbunyi kemudian, diiringi kami yang kembali ke posisi semula saat pemanasan.

"Pelatih" berdiri dengan sikap istirahat di tempat. Matanya menelisik kami satu per satu. Bibir hitamnya bergerak seperti orang yang sedang menghitung. Di belakangnya, dua orang asing dibantu Pak Ben dan Pak Oxa mendorong sebuah peti beroda besar-panjang berwarna putih. Mereka tampak kewalahan.

"Selamat datang, di Infinite Stadium," sapanya. "Bapak adalah Ares Dirgha, pelatih olahraga skyboard kota ini, dipanggil khusus untuk melatih kalian. Hari ini, kita akan belajar menyeimbangkan diri, terbang rendah, mengerem, dan turun dari papan. Untuk yang belum pernah mencoba jangan khawatir, kita akan memulainya dari dasar. Sekarang, ambil papan kalian di belakang sana." Pak Ares menunjuk peti putih sebelumnya. "Cepat!"

Kami refleks menghampiri ke arah yang dimaksud.

Penutup peti dibuka, memperlihatkan selusin skyboard yang tampak baru berwarna putih. Pak Ben, Pak Oxa, dan Bu Eva membantu mengeluarkan benda itu dan membagikannya pada yang lain. Mereka juga membagikan gelang silinder dengan berbagai tombol dan sepasang silinder lainnya dengan "pencapit" di bagian atasnya. Setelah menerima benda-benda itu kami kembali ke tempat asal.

Skyboard di tanganku beratnya mungkin kira-kira tiga kilogram. Aku tidak yakin. (Aku membandingkannya dengan dumbell yang selalu kupakai.) Panjangnya hampir setinggi Chloe. Model ergonomis dan cukup keren menurutku. Ada dua turbin di belakangnya dan anti-gravitasi di bagian bawah.

"Semua sudah dapat?" tanya Pak Ares.

Kami melihat satu sama lain dahulu sebelum menjawab serempak. "Sudah, Pak!"

"Skyboard!" seru pelatih itu memulai. "Diberi nama demikian karena papan ini bisa terbang tinggi seolah menggapai langit. Skyboard perlu dua benda agar bisa digunakan dengan sempurna. Gelang pengendali dan magnetic foot strap." Pak Ares menunjukkan kedua benda berbentuk silinder yang ada di tangan dan kakinya. Dia lalu menunjuk dua benda yang sedari tadi kami pegang selain si papan layang. "Pakailah."

Kusimpan skyboard-ku di atas rerumputan sintetis, lantas mengenakan gelang pengendali yang telah diberikan. Ada bunyi 'klik, klik' saat benda itu terpasang sempurna dengan ketat. Indikator kotak-kotak yang melingkar di sepanjang pangkal gelang seketika bercahaya saat benda itu diaktifkan.

"Gelang pengendali berguna sebagai pengatur keseluruhan fungsi dari skyboard, mulai dari pengaktifan, pemanggilan jarak jauh, sampai kustomisasi warna," jelas Pak Ares sambil menekan sebuah tombol lalu menggerakkan tangannya secara melingkar. Sebuah skyboard putih melayang cepat mengikuti pergerakannya. Pelatih berambut cepak itu lantas melompat saat kendaraannya sampai dan menaikinya seketika. Dia melayang berputar sebentar sebelum kembali dan melompat turun.

Kami semua bersorak dan bertepuk tangan melihat atraksinya.

"Sekarang, kita mulai latihannya!"

Sebelum kami dapat menaiki skyboard secara sempurna, kami harus memakai magnetic foot strap terlebih dahulu di kaki. Benda itu berfungsi sebagai pengunci agar kaki tidak mudah terlepas dari papan dan mengakibatkan kecelakaan. Bagian silinder yang ada berperan menjadi penghubung antara tubuh dan papan, sedangkan penjepit agar benda itu menempel pada kaki.

Kami diajari bagaimana cara mengaktifkan, menaiki papan dengan benar, sampai mengerem dan turun. Terakhir, pengaturan-pengaturan dasar dari gelang pengendali seperti perintah suara untuk kendali kunci dan kustomisasi warna.

"Whoa, akhirnya! Impianku naik skyboard dari kecil terwujud!" Itu Chrys. Dia sangat antusias dengan skyboard-nya yang sekarang telah berwarna jingga.

"Kenapa tidak kau coba dari dulu?" Aku menanggapi sambil mengubah warna skyboard-ku menjadi warna biru laut.

"Alasan awalnya karena mamaku berpikir aku masih kecil dan takut akan terluka." Chrys mencoba menaiki papannya lagi, tetapi belum sampai di atas dia sudah jatuh kembali karena tidak bisa menahan keseimbangan. Anak itu meringis. "Alasan lainnya saat aku sudah agak besar karena takut akan mengganggu jam belajar," lanjutnya sambil berdiri lantas menepuk-nepuk bagian kotor pantatnya. "Sampai sekarang sepertinya."

"Kau beruntung masih punya mama yang peduli," timpalku, lantas kembali menekuri gelang pengendali untuk merekam perintah suara.

Pak Ben memberi nasihat terakhir sebelum melepas kami untuk latihan mandiri. "Di sini kalian rekan yang sama-sama belajar. Saling bantu satu sama lain bila ada masalah. Jangan dahulu lihat perbedaan yang ada. Kompetisi akan lebih terasa dengan orang-orang berkemampuan setara. Jadi, pastikan kalian memiliki keahlian yang sama setidaknya dalam hal ini agar tidak ada alasan 'karena tidak mampu'."

Kami mengiakan sebelum kembali ke kegiatan masing-masing. Aku tidak tahu apa ada yang masuk ke telinga kanan dan keluar telinga kiri.

"Jangan terlalu antusias," peringatku pada Chrys yang masih cengar-cengir melihat skyboard-nya dengan mata yang berbinar. "Kita tidak tahu apa yang sedang menunggu." Aku teringat kembali dengan kata-kata Alva di museum minggu lalu.

Dan secara kebetulan, orang yang kumaksud terbang melayang dengan papannya yang kini telah berwarna hitam di depanku. "Halo, Orang Udik," sapa Alva angkuh. "Sepertinya kalian butuh bantuan. Mau kami tolong?"

Aku memicing. "Apa maumu?" tanyaku skeptis.

Alva menggeleng. "Aku hanya ingin membantu. Tidakkah kau dengar nasihat tadi? Kalian seperti orang yang kesusahan. Sudah sepatutnya aku menolong kalian berlatih agar kami dapat menang dengan tenang, tidak menjatuhkan seseorang karena ketidakmampuannya." Anak itu menyeringai.

"Oh! Kalau begitu, bantu aku!" Chrys antusias. Aku menahan anak itu sebelum jatuh ke perangkap si Bocah Alafathe.

"Kau yakin ini bukan salah satu tipu muslihatmu?"

Alva memegang dadanya seolah kata-kataku barusan adalah pedang yang menghunjam jantung. Dasar Ratu Drama. "Harus kau tahu, A-renn-ga. Sejauh yang aku ingat aku tidak pernah berbuat sesuatu yang merugikan siapa pun." Bullshit. "Aku bahkan sering memberitahumu hal-hal yang sekiranya perlu kau tahu."

"Ayolah, Ren. Dari tadi aku belum berhasil. Kau juga malah sibuk sendiri," rengek Chrys. Pipinya menggembung.

Aku melihat sekeliling untuk memeriksa keadaan. Di sisi kiri, Aryza tengah sibuk dengan Zea. Di sisi kanan, Chloe dan Mischa—sejak kapan mereka dekat dengan Olivia dan Seta? Gadis-gadis itu tampak akrab berlatih menyeimbangkan diri. Mereka harus kuperingatkan perihal Olivia. Aku tidak sempat memberitahu mereka karena lupa. Terlalu banyak yang kupikirkan. Namun sebelumnya, ada urusan yang harus diselesaikan.

"Enyahlah," usirku pada Alva.

Chrys protes. "Tapi, Ren—"

Aku buru-buru merangkul anak pirang itu dan mengajaknya berbalik dari Alva. "Dengar," bisikku, "kita tidak tahu apa yang Alva rencanakan. Kalau kau berlatih dengannya, otomatis semua teknik yang kau kuasai semua diketahui oleh Alva. Dia bisa memanipulasi semua pergerakanmu. Kau tidak ingin kita kalah, 'kan?" Ada keraguan di mata Chrys, tetapi dia tetap mengangguk, pelan. "Bagus. Tenang saja, aku akan mengajarimu."

Aku berbalik kembali kepada Alva. "Kami tidak butuh bantuanmu," pungkasku.

Si Bocah Alafathe bersiul. "Kalau begitu, kuanggap kau sudah jago." Alva tersenyum penuh arti. "Bagaimana kalau kita bertanding?" tantangnya.

Keningku mengerut. Apa untungnya?

"Kita lihat seberapa jauh kemampuanmu sampai kau menolak mentah-mentah bantuanku." Mata anak itu mengerling. "Itu pun kalau kau berani."

Sialan. Anak ini meremehkanku.

Kusanggupi tantangannya tanpa ragu. "Ayo! Siapa takut!"

~~oOo~~

A/N

Setelah ini kita akan terbang tinggi!

...

Diterbitkan: 25/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro