Bab 28: Pelatihan Terbang Lanjutan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku dan Alva memulai garis start dari pinggir lapangan agak ke tengah agar tidak mengganggu anak-anak yang lain.

Aku dan bocah Alafathe itu saling berpandangan. Iris Alva yang biru gelap menyiratkan persaingan yang ketat. Matanya seolah mengatakan bahwa dia bisa saja memakai cara apa pun untuk menang. Tipikal seseorang yang keinginannya harus terpenuhi, tanpa penolakan.

"Kau siap?" tanyanya disertai senyum meremehkan. Aku tidak menjawabnya. Kufokuskan pandangan ke arah lintasan yang akan kami lalui.

Chrys dan Aryza yang jadi wasit. Kami bersiap. Wasit mulai memberi aba-aba.

3 ....

2 ....

1—

Sesuatu memelesat cepat di antara aku dan Alva.

"Ap—" Napasku tercekat.

"Whohoo, lihat aku, Kesatria Sombong!"

Chloe bergerak cepat berputar di atas kami. Gadis itu melakukan teknik yang belum tentu aku bisa; berputar, terbang vertikal, melayang miring. Aku dan Alva saling melihat sebelum menengok ke arah belakang di mana Chloe berasal, dan mendapati Olivia memasang wajah polos sambil mengangkat bahu.

Kepala Alva teleng menunjuk Chloe yang sedang melayang mengelilingi lapangan. "Pacarmu saja jago. Masa kau kalah?" sindirnya.

"Dia bukan pacarku!" Aku mendengkus. Mana sudi aku punya pacar seperti gadis konyol itu.

"Ho? Kukira." Sebelah alis si Bocah Alafathe naik sebelum wajah menjengkelkannya fokus ke depan.

Aku menatap Chrys agar segera memulai pertandinganku dan Alva.

Anak pirang itu dan Aryza berseru bersamaan. "Mulai!"

Aku dan Alva meluncur.

"Siapa yang sampai lebih dulu di garis mula dalam satu putaran menjadi pemenangnya," ujar Alva. Dia lantas menambah kecepatan.

Aku segera menyusulnya. Kucondongkan tubuh ke depan untuk membelah angin agar kecepatanku lebih optimal. Suasana di sekitarku seolah melambat saat aku melaju kencang. Lingkungan yang ada terasa terdistorsi.

Alva berhasil menukik di belokan pertama, tetapi aku akhirnya dapat menyamai kecepatannya. Anak itu tersenyum remeh. "Lihat siapa yang berhasil menyusul," katanya.

Kami baru akan saling menjatuhkan ketika seseorang terbang menginterupsi. "Halo, Para Pemuda. Keberatan kalau aku ikut pesta kalian?" Chloe dapat menyamai pergerakan kami. Gadis itu tersenyum sombong lantas menambah kecepatan. Sebelum berbelok di tikungan kedua, ia menyempatkan diri untuk mengejek kami dengan menjulurkan lidah dan memberi tanda dua L dengan jari telunjuk dan jempol.

Merasa diremehkan, aku dan Alva seolah melupakan kompetisi di antara kami dan mencoba untuk mengejar gadis itu. Chloe tepat berada di depan kami. Ia semakin menjengkelkan ketika terbang zig-zag dan tidak membiarkanku maupun Alva untuk menyusulnya.

"Berhenti mengganggu kami, Badut Konyol!" seruku kesal. Gadis itu terus saja menghalangi pergerakan kami. "Menyingkir!"

"Kalau begitu kalahkan aku!"

Ck. Menjengkelkan.

"Jangan hiraukan ia," Alva mengingatkan. Senyum culas masih terpatri jelas di wajah putihnya. "Lawanmu adalah aku."

Alva menambah kecepatan di tikungan terakhir. Dia berbelok seperti pembalap motor yang melakukan cornering. Aku sebisa mungkin menyusulnya. Kami saling kejar-mengejar sampai akhirnya sampai di tujuan akhir, melewati para pengadil yang menilai. Aku dan Alva berhenti dengan gaya dragging.

Aku lekas menghampiri Chrys yang bengong entah karena kagum atau apa, mulutnya terbuka sedikit. Aryza di sebelahnya memegang ponsel secara horizontal seperti orang yang mengambil gambar.

Sambil turun dari skyboard, aku bertanya kepada para wasit, "Siapa pemenangnya?"

Chrys tersentak. Dia tersenyum bodoh seraya melihat ke arah lain sambil menggaruk tengkuk sebelum beralih pada Aryza. "Kau merekamnya, 'kan?" tanyanya.

Aryza mengangguk. Aku, Chrys, dan Alva refleks melihat ke layar geniusphone yang selanjutnya telah berada dalam mode floating image—mode layar hologram yang melayang di luar layar utama agar terlihat lebih besar. Video rekaman berputar dari awal sampai akhir. Ada Chloe yang mengejek kamera dengan cara menjulurkan lidah sambil menaruh kedua tangan di samping kepala sebelum aku dan Alva melesat bersamaan melewati garis putih yang telah ditentukan sebelumnya sebagai garis akhir.

"Seri," ujar Aryza. Pemuda itu menaruh kembali ponselnya ke dalam saku celana.

Alva berdecak.

"Ternyata kau juga tidak lebih hebat dariku," sindirku.

Bocah Alafathe itu tidak mau kalah. "Ini baru permulaannya. Lihat saja nanti siapa yang akan jadi pemenangnya." Senyum meremehkan penuh rencananya muncul kembali.

Aku mengerling. Merasa tidak ada lagi urusan dengannya, aku beristirahat di pinggir lapangan sambil minum air larutan isotonik. Kuempaskan pantat di rerumputan sambil merasakan sensasi air dingin yang mengalir di kerongkongan.

"Ren!"

Aku hampir tersedak sampai mati. Kutepuk-tepuk dada sampai aku sendiri terbatuk. Chrysan sialan! Harus berapa kali dia melakukan hal itu untuk menarik perhatianku?!

"Bisakah kau berhenti mengagetkanku?!" semburku.

Chrys mundur selangkah dengan punggung tersentak. "Maaf, maaf," mohonnya dengan menangkup kedua tangan. "Kapan kau akan mengajariku terbang?"

Aku memutar bola mata seraya mendesah. Kuhabiskan minuman isotonikku lalu membuangnya ke tempat yang telah disediakan.

"Ayo," ajakku. Kugiring anak itu ke pinggir lapangan yang agak jauh dari teman-teman yang lain. Ini agar tidak membahayakan karena mereka semua sudah pada lancar. Aku tidak ingin salah satu dari mereka tidak sengaja menabrak kami.

"Jadi, bagaimana?" tanya Chrys masih memeluk skyboard-nya seperti guling,

Aku menunjuk benda di tangannya, si Anak Pirang langsung paham dan mengaktifkannya sehingga papannya menjadi melayang kurang lebih satu meter di atas tanah.

"Coba naiki seperti tadi," perintahku.

Chrys menurut. Dia melompat ke atas papan dengan terlalu bersemangat. Kakinya berjinjit-jinjit tidak bisa diam. Magnetic foot strap-nya bahkan belum tertempel dengan benar. Dia berusaha menyeimbangkan tubuh dengan kedua tangan, lalu jatuh.

Aku menepak wajah melihat kelakuannya.

"Aw ...." Chrys meringis sambil mengusap pantat.

Sekarang aku tahu apa penyebabnya. Kuda-kuda Chrys kurang kokoh dan mantap saat menjejak di papan. Aku langsung mengajarinya bagaimana cara yang benar.

...

Mengajari Chrys selama satu jam lebih membuat mentalku lelah. Untungnya dia langsung bisa memelesat seketika saat dirinya bisa menyeimbangkan diri. Aku langsung terduduk di pinggir lapangan untuk beristirahat sambil melihat anak itu yang terus terbang mengelilingi lapangan untuk pamer. Ada sedikit rasa bangga saat melihat itu. Mungkin seperti perasaan seorang guru yang melihat muridnya berhasil.

"Hei, Ganteng, sedang apa?"

Aku memicing ke arah sumber suara. Olivia datang dan langsung duduk di sampingku. Kaki-kakinya selonjoran sementara kedua tangannya menumpu tubuh.

Aku diam di tempat. Terlalu malas untuk bergerak. "Mau apa kau?" tanyaku sinis. Aku tidak bisa lagi percaya pada senyuman manis gadis ini setelah kejadian kemarin. Bisa saja saat ini ia sedang merencanakan sesuatu, menembus pikiranku atau memperalatku.

Olivia mengusap kedua telapak tangan sebelum menyugar rambut pirangnya yang panjang. Ia kemudian melepas ikatan rambut kucirnya sebelum mengikatnya kembali. "Oh, Sayang, tenang saja. Aku tidak sedang merencanakan apa pun."

Sial. Apa ia membaca pikiranku lagi?

"Aku tidak yakin," jawabku. Mataku semakin menyipit.

"Kau harus mengurangi rasa curigamu." Gadis itu tersenyum manis seperti biasa. "Prasangka hanya akan membawa kerugian."

Kupalingkan wajah, takut dengan serangan psikologis kalau aku menatap mata hijau zamrudnya.

"Sejak kapan kau jadi genit seperti ini?" Aku mengalihkan pandang pada Chloe yang sedang terbang bersama Chrys dan Mischa. Mereka berputar saling bergandengan tangan.

"Mana ada aku genit. Mungkin hanya perasaanmu saja. Aku sering memuji orang yang memang pantas mendapatkannya."

Aku menggeleng mendengarnya. Tidak habis pikir. "Pergilah."

"Oh, Ayolah. Aku hanya sedang lelah dengan Alva. Dia terlalu ... kau tahulah. Aryza sedang berduaan dengan Zea dan aku belum terlalu akrab dengan Magna Prudentia. Aku bosan, kalau kau mau tahu."

Dua orang yang disebutnya setelah si Ketua Prima Sophia terbang bersama melewati teman-temanku.

"Kenapa kau tidak bilang langsung saja pada Alva?"

"Alva terlalu keras kepala. Dia susah dinasihati. Kadang rencana kami tidak sejalan sampai harus ada perdebatan dahulu. Aku yang selalu mengalah sampai akhirnya rencana anak itu kebanyakan gagal. Aryza dan Zea seringnya tidak banyak membantu. Mereka seperti penonton bioskop yang makan berondong jagung saat melihat aku dan Alva bertengkar."

Apa ini curhat colongan? Aku balik memperhatikan gadis itu.

"Tapi, yang kulihat kalian selalu kompak menghalangi kami," aku membalas, sengaja ada nada sindiran di dalamnya.

"Itu hanya kulit luarnya saja." Gadis itu kemudian memeluk lutut sambil menyimpan kepalanya di sana. Mata hijaunya fokus ke lapangan.

Ada keheningan di antara kami untuk beberapa saat.

"Aku harus pergi," kata Olivia memecah senyap. "Pacarmu sudah datang, nanti dia cemburu." Gadis itu bangkit melihat Chloe yang datang mengendarai skyboard. Ia melambaikan tangan pada si Badut yang lalu membalas lambaiannya.

"Aku bukan pacarnya!" protesku tak terima.

Chloe berhenti di sampingku dan melompat. Gadis itu menonaktifkan papannya, mengambil minum di kotak pendingin, lalu duduk di sebelahku. Dengan rakus ia menenggak minumannya sampai tersisa setengah dalam sekali waktu. Suara 'Glek! Glek! Glek!' bahkan sampai terdengar di telingaku.

"Aaah ...."

Aku selalu heran dengan tingkahnya.

"Kenapa?" tanyanya. Satu alisnya terangkat

Aku menggeleng. Aku sudah hilang tenaga untuk mengomelinya lagi.

"Kalian mengobrol apa tadi?"

"Bukan hal penting," jawabku, lantas kembali memperhatikan lapangan.

"Kau tidak latihan lagi?"

"Tidak." Aku mengalihkan topik saat melihat seorang gadis melayang sangat bersemangat. "Aku tidak tahu Mischa sangat jago terbang."

Mischa, gadis pemalu yang kutahu sangat pasif dalam bertindak, melayang penuh tenaga dengan skyboard-nya. Ia seperti menari di atas udara, berputar-putar dengan tangan terentang. Senyum tidak luntur dari wajahnya. Tawa sesekali terdengar saat gadis itu berpapasan dengan Chrys yang seringnya masih ceroboh seperti akan jatuh. Ia memegang kedua tangan si Anak Pirang saat lelaki itu hampir terjengkang ke belakang.

"Mischa memang punya gen untuk bisa terbang," timpal Chloe. Aku menghadapnya. Mata gadis itu menerawang.

"Fae." Aku baru ingat Mischa pernah bilang saat kami terjebak di soal arsitektur Cleine karena ulah Chrys kalau dia keturunan ras bersayap itu. Itu juga yang jadi sebab kenapa ia mengusung ide yang berkaitan dengannya saat presentasi fase kedua.

"Setengah Fae," koreksi Chloe.

Ah, ya. Harusnya aku sadar. Fae murni akan memiliki salah satu huruf F atau V dalam namanya sebagai tanda. Sebuah ciri khas yang membedakan antar ras. Sama halnya seperti Alafathe dengan L dan F/V.

"Ia bisa sangat bersemangat seperti itu karena bisa terbang adalah impiannya sejak kecil," lanjut si Gadis Badut seraya menghadapku. Wajahnya serius. "Sayap magisnya tidak tumbuh sempurna karena ia mengalami kecacatan."

Hanya ada satu hal yang bisa menyebabkan hal itu. "Perkawinan antar spesies memang berisiko," komentarku. Fae memang memiliki susunan genetik yang berbeda dengan tiga ras besar lainnya seperti yang pernah Mischa bilang. Tidak heran kalau memaksakan adanya kopulasi akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

"Sifat pemalunya juga berasal dari sana. Jadi, jangan sekali-kali kau menyinggung perasaannya!" bentak Chloe.

Aku tersentak. "Mana ada aku berpikir seperti itu," belaku.

Mata Chloe menyipit, aku menirunya. "Awas saja," peringatnya. Dia lantas beralih ke orang-orang yang sedang terbang dengan skyboard di lapangan.

Ada keheningan di antara kami sebelum gadis badut itu angkat bicara lagi.

"Aku heran. Kenapa pihak panitia menyelenggarakan fase seperti ini? Bagaimana kalau ada yang akrofobia?" tanyanya sambil menumpu dagu.

Aku menjawab dengan nada senetral mungkin. "Mereka pastinya telah memperhitungkan ini matang-matang." Aku melihat ke arah lapangan. Tidak ada dari mereka yang terlihat takut ketinggian. Semua tampak menikmatinya. Aku? Entahlah. Kupalingkan kembali wajah ke arah Chloe. "Mereka memasukkan hal ini pasti karena telah tahu tentang kita sejak awal."

Gadis di sampingku menegakkan tubuh. Matanya membulat. "Mereka menggunakan data psikologis kita dari awal?"

Pertanyaan yang menarik. Aku jadi berpikir hal itu.

"Aku tidak yakin. Apa mungkin pihak sekolah mau-mau saja memberikan data kepribadian kita untuk hal seperti ini?" tanyaku balik. Jujur, ini terlalu rumit untuk dipikirkan. Untuk apa pihak penyelenggara membutuhkan data-data itu hanya untuk sekadar membuat perlombaan yang "menyenangkan"?

Chloe bungkam. Mungkin ia sama tidak tahunya seperti aku.

"Sepertinya mereka memang membuat perlombaan ini setelah tahu siapa saja peserta yang ikut," lanjutku.

"Itu membuatku takut." Gadis di sampingku memeluk kedua kakinya. "Mereka seperti menelanjangi isi otakku."

"Bisa jadi asumsi kita salah. Aku yakin pihak sekolah tetap menjaga kerahasiaan data murid-muridnya." Aku meyakinkannya, sekaligus meyakinkan diriku sendiri. Lalu hening melingkupi kami lagi.

Aku bangkit berdiri. Sudah terlalu lama aku duduk sampai kakiku kesemutan.

"Hei, kau mau ke mana?"

Aku mengerling. "Ambil minuman," sahutku tak acuh.

Aku mendekati peti pendingin yang penuh dengan botol dan es batu di pinggir lapangan. Kuambil satu botol, lantas kudekatkan benda itu ke pipi. Dingin langsung menjalar ke seluruh tubuh. Mataku melirik liar ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tidak ada lagi gangguan yang bisa menyebabkan aku mati tersedak. Aman. Semua orang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tidak ada tanda-tanda orang lain mendekat. Saatnya melegakan tenggorokkan setelah obrolan yang panjang.

Priiit!!!

Air seketika menyembur dari mulutku. Refleks, aku membersihkan cairan yang menetes dari bibir sambil meremas botol di tangan kiri. Kenapa gangguan selalu saja ada setiap aku ingin minum enak?!

"Semua, berkumpul kembali!" teriak Pak Ares sambil menyangga skyboard-nya di sisi tubuh.

Aku buru-buru menaruh botol minumku di tanah, lantas berbaris bersama dengan yang lain di depan sang pelatih. Anak-anak yang sedang sibuk melayang bahkan terburu-buru sampai ada yang hampir terjungkal karena gagal mengerem sempurna. Dengan sembarangan mereka menaruh papan pinjaman mereka di tanah.

"Bapak lihat kalian sudah cukup mahir," ujar Pak Ares setelah kami berkumpul semua. "Di antara kalian bahkan ada yang sudah bisa melayang diagonal dan terbang vertikal." Dia melirik Chloe yang ada di sebelah kiriku.

Gadis yang ditunjuk menegang. Kepalanya menunduk seolah ia telah berbuat salah.

"Oleh karena itu, kita akan mempelajari teknik tersebut dan yang lainnya."

Kepala Chloe kembali menegak. Aku kembali melihat ke depan.

Pak Ares menekan tombol di gelang pengendali, lalu menggerakkan tangannya dari samping, ke tengah, ke samping lagi. Skyboard-nya datang, lantas pelatih mirip tentara itu melompat ke atasnya. Dia terbang melingkar sebentar sebelum kembali.

"Kalian mungkin sudah bisa teknik itu," kata Pak Ares. "Tapi, ada kalanya kalian harus langsung menggapai langit."

Dia memiringkan papan ke belakang, kemudian memelesat vertikal ke angkasa. Riuh kekaguman mengudara.

Pelatih skyboard bak tentara itu lantas terbang berputar 360 derajat searah jarum jam, mengitari lapangan dengan gaya miring, berhenti di ujung lapangan kemudian berbalik tajam, dan berhenti di depan kami dengan pantat papan menghadap ke bawah.

Dia lalu turun dengan debum yang mengiringi.

"Kalian akan mempelajari teknik itu, lalu belajar untuk menghindari penghalang. Sekarang, ambil papan kalian!"

Kami langsung mengambil skyboard yang tercerai-berai. Skyboard-ku ada di pinggir lapangan di dekatku, jadi aku tidak perlu jauh-jauh bergerak. Chloe di sampingku pun sama.

"Aku tidak tahu harus senang atau takut," kata Chloe datar.

Aku tahu perasaannya. Mungkin gadis itu merasa bersalah karena dirinya semua siswa jadi harus mempelajari teknik yang belum tentu semua orang kuasai. Padahal, bisa saja itu memang pelajaran yang harus diajarkan.

"Oke, perhatikan baik-baik!" pinta Pak Ares ketika semua orang telah siap.

Dia lalu menjelaskan tentang penempatan kaki yang sesuai supaya keseimbangan tetap terjaga. Agar papan bisa diagonal sebelum memelesat, kaki belakang harus didorong sampai moncong papan terangkat. Gunakan tangan yang di depan untuk memegang moncong agar stabil dan tubuh tidak mudah jatuh. Untuk bergerak, dorong kaki depan untuk mengatur kecepatan. Badan pun harus dimajukan sedikit agar beban teralihkan dari belakang dan menghindari tubuh terjungkal.

"Sampai di sini mengerti?" tanya Pak Ares seraya memperhatikan kami satu per satu.

"Mengerti, Pak!" jawab kami.

"Kalau masih belum paham, tanya! Kalian tidak perlu takut karena ada sistem pertahanan. Jika kalian jatuh, gelembung pelindung otomatis akan muncul sebelum kalian menyentuh tanah. Jadi, berlatihlah sungguh-sungguh sampai kalian mahir!"

Kami menjawab serempak, "Baik, Pak!"

Aku mengaktifkan papan kembali. Skyboard-ku melayang setengah meter dari tanah. Kunaiki benda itu dan kuikuti petunjuk dari Pak Ares. Pantat papan terdorong mundur, moncong terangkat, pendorong aktif.

Aku gagal di percobaan pertama. Aku terus berlatih meskipun jatuh berkali-kali. Seperti kata Pak Ares, sistem pelindung selalu menjagaku sebelum aku bisa menyentuh tanah. Setelah percobaan ketiga, aku berhasil menguasainya.

Aku pun terbang ke angkasa.

Lingkungan terdistorsi seiring aku yang bergerak cepat. Mungkin terlalu cepat. Kulihat sekilas ke bawah. Orang-orang berteriak menyemangatiku. Beberapa dari mereka yang masih belum bisa naik dengan benar hanya terbengong-bengong.

Langit biru membentang saking tingginya aku mengangkasa. Benar-benar seperti namanya. Aku bagaikan menggapai langit. Orang-orang di bawah sana sudah seperti semut, sedangkan saat aku menatap lurus, bentang kota menyapaku. Bangunan-bangunan besar dan kecil tersebar merata. Bentuk-bentuk aneh dan filosofis ada di mana-mana. Siluet-siluet tinggi di kejauhan menjadi pemisah cakrawala.

Namun, kelihatannya sudah terlalu jauh. Aku harus segera turun.

"Oiii, Kesatria!" Chloe terbang menyusulku. "Kau harusnya tidak sampai setinggi ini!" Rambut kucir kudanya berkibar diterpa angin.

Aku terbang miring sebelum akhirnya bergerak berputar-putar bersama Chloe.

"Kau sendiri?" tudingku balik.

"Aku ke sini untuk memperingatkanmu! Pak Ben dan Pak Ares khawatir," ujarnya sambil terus menyeimbangkan diri.

Aku mengedikkan bahu. "Baiklah, lagi pula aku memang akan turun," balasku, lantas mendorong moncong skyboard ke bawah. Aku menukik turun.

Chloe menyusul di sampingku kemudian. "Dasar tukang pamer," sindirnya, lalu meninggalkanku.

Pak Ares bersedekap dengan kaki mengentak-entak saat aku tiba. "Jangan karena kau sudah jago jadi bisa pamer dan mengabaikan keselamatan! Zona terbang bagi skyboarder pemula adalah 100 meter di atas permukaan tanah! Tapi, kau sudah melewati atap stadion yang tingginya ratusan meter!" semburnya sambil menunjuk-nunjukku. "Kau bisa saja kehabisan oksigen dan mati kalau lebih tinggi lagi!" Pria tua berkumis lebat itu mendengkus. "Untungnya kau sudah jago."

Aku turun dari skyboard sambil menunduk. "Maaf, Pak," sesalku.

Pak Ben juga datang menasihatiku. "Jangan ulangi itu lagi," ingatnya. "Bapak tidak ingin ada yang terluka."

Aku menghela napas. "Baik, Pak," balasku yang kini sudah setengah malas. Berapa kali orang tua harus mengingatkan padahal anaknya sudah mengerti betul?

Sepeninggal Pak Ben, Chrys yang mendekatiku. "Kau keren sekali!" teriaknya. Kau harus ajari aku itu."

"Kau tidak dengar? Hal itu dilarang," balasku. Chrys cemberut.

Setelah insiden itu, kami diperbolehkan istirahat selama satu jam yang bertepatan dengan istirahat makan siang.

~~oOo~~

A/N

Saatnya menggapai langit! Aku harap bab panjang ini tidak membuat kalian bosan.

...

Diterbitkan: 26/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro