Bab 29: Kubus Jawaban Arrum

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ah, ya, lebih keras, Ren. Lebih bertenaga. Ah, enak sekali ...."

Chrysan sialan.

Aku kalah taruhan. Seperti perjanjian, aku memijat Chrys. Anak itu terus merem melek keenakan sambil membuat suara-suara ambigu saat aku memijat pundak dan punggungnya. Sesekali aku menjitak atau menoyornya sampai mengaduh, tetapi dia tetap membuat hal serupa sampai aku lelah dan membiarkannya.

"Kau sedang baca apa, sih?" tanya Chrys masih menelungkup di kasur karena punggungnya sedang kupijat.

"Soal-soal riddle itu," jawabku tetap fokus pada ipapyria, meski tanganku terus bergerak.

Chrys mendesah lagi keenakan.

"Aw! Aw! Aw! Sakit, Ren!" Aku menekan keras belikatnya. "Pelan-pelan ...."

Aku tersenyum melihat anak itu. Rasakan.

"Kau sudah dapat petunjuk memangnya?" tanya anak itu lemas.

Aku menggeleng. "Aku masih memahami isinya, tapi ada beberapa yang belum aku mengerti."

"Sudahlah, Ren, lebih baik kita istirahat. Apalagi setelah latihan melelahkan tadi," saran Chrys. Dia memintaku berhenti memijatnya lantas duduk sambil memutar-mutar bahu. "Kau juga harus mengistirahatkan otak dan ototmu itu."

Aku mendesah. Kalau saja latihannya tidak sampai pukul tiga aku mungkin akan mendengarkannya. Namun, latihan lanjutan halang rintang itu bahkan berlangsung sampai sangat sore. Setelah istirahat makan siang, kami langsung dikumpulkan lagi di lapangan.

"Seperti yang Bapak bilang sebelumnya, kita akan latihan melewati penghalang. Halangannya akan bermacam-macam, dapat berupa balok-balok tinggi sebesar gedung, ataupun sebuah pohon cemara yang menjulang. Hal ini akan membiasakan kalian saat pertandingan di kota nanti," papar Pak Ares.

Pelatih tinggi besar dengan kaus hitam ketat itu lantas menyentuh sesuatu di telinganya. "Siapkan arenanya," pintanya.

Cahaya dari ujung dan beberapa sudut stadion bersinar. Cahaya putih yang membanjiri seluruh lapangan kemudian memunculkan beberapa struktur bangun ruang primitif; balok, kubus, bola, icosphere, limas berbagai bentuk, dan lain sebagainya, semua dalam bentuk raksasa.

"Tugas kalian adalah memutari lapangan sesuai jalur sambil menghindari halangan yang ada dalam waktu sesingkat mungkin. Untuk latihan kali ini, kita akan lakukan per tim, tetapi bergantian. Para ketua yang akan menentukan tim mana yang lebih dahulu mendapat giliran."

Setelah dirasa mengerti, aku, Alva, dan Saka berada di posisi. Aku di tengah, Alva di kanan, dan Saka di kiri.

"Siapa yang tercepat sampai ke garis awal dia yang menang," ucap Pak Ares.

Saat peluit dibunyikan, kami memelesat.

Halang rintang pertama berupa balok menjulang berwarna putih seperti gedung. Aku langsung berbelok ke kanan dan mendapati Alva di sisiku. Anak itu menambah kecepatan sambil mencondongkan tubuh ke depan. Aku menyusulnya.

"Jangan lupa kalau aku masih ada di sini," ingat Saka ketika aku kembali ke tengah setelah melewati halangan dan bersiap menghadapi rintangan lain berupa tiga donat kurus yang menyatu membentuk triquetra yang berputar searah jarum jam.

Aku akan memilih jalur tengah ketika Alva mendahului dan memaksaku untuk berganti jalur atau aku akan ditabraknya. "Woi!" teriakku memperingatkan. Seharusnya kuterima saja tantangannya untuk saling adu, tetapi aku malah refleks menghindar dan turun melewati sayap bawah. Untung saja perhitunganku tepat sehingga aku dapat lewat dengan selamat.

Aku memakai teknik terbang diagonal agar bisa menyusul mereka lewat jalur atas. Namun, rintangan berupa segitiga-segitiga runcing seperti stalaktit memperlambatku. Aku harus memiringkan tubuh saat melewatinya agar bisa menyusul dua orang itu lebih cepat.

Halang rintang berupa pilar-pilar berbagai ukuran pun menanti.

"Hoi, kau bisa gunakan cara yang lebih sportif tidak?" tanyaku pada Alva ketika aku berhasil terbang di sampingnya.

Anak itu malah mengeraskan wajahnya. Alva lalu terbang rendah lantas hilang di hutan pilar-pilar.

Aku terbang zig-zag tanpa memedulikan si Bocah Alafathe. Sekarang, lawanku tinggal Saka yang juga sibuk menghindari silinder-silinder besar bagai batang-batang pohon raksasa ini.

Aku memelesat ke atas untuk mengambil jalur yang tidak terhalang pilar, meskipun batas terbangnya menjadi rendah. Kupercepat laju skyboard, melewati pilar-pilar silinder yang masih berjajar sampai ke tikungan pertama.

Aku mencengkeram sisi salah satu pilar ketika berbelok untuk memaksimalkan kecepatan sekaligus dapat berbelok dengan stabil. Tinggal beberapa meter lagi dan hutan pilar silinder akan habis. Namun, tepat di ujung batas, Alva muncul dari bawah lebatnya pilar-pilar, menukik ke atas.

"Kejutan!" serunya membuatku mundur beberapa meter. Dia terbang laju dan menghindari Saka yang berniat menghalanginya.

"Sial!"

Aku memajukan tubuh untuk menambah kecepatan. Namun, halang rintang berbentuk pendulum berujung bola yang ditaruh di berbagai ketinggian memperlambatku. Sungguh konyol. Maksudku, di bagian kota mana di dunia ini yang memiliki bandul raksasa yang ditaruh di tengah jalan? Untungnya, aku dapat melewati itu semua dengan mudah. Berbeda dengan Saka yang harus berhenti terlebih dahulu.

Alva terbang di depanku. Anak itu melihat ke belakang sebelum akhirnya menghadap depan lagi. Dia membungkuk, lantas menambah kecepatan.

Saka ikut menyusul, terbang di sampingku. "Hei, Kawan-Lawan," sapanya. "Aku kagum dengan kemampuanmu, tapi aku tidak akan kalah!" Lelaki itu menjauh, dan aku baru sadar kalau dia menghindari sebuah pohon cemara yang tinggi. Untungnya aku pun cepat menghindar, lantas menambah kecepatan lagi.

Kami terus saling berkejaran, melewati berbagai macam penghalang, sampai akhirnya aku, Alva, dan Saka berada di jalur terakhir, tanpa ada penghalang lain. Alva di posisi pertama. Aku dan Saka di posisi kedua, hanya berbeda beberapa senti. Kami berdua terus saling mendahului sementara Alva hampir menyentuh garis finish.

Orang-orang di ujung menyoraki kami sambil melompat-lompat.

"Alva! Alva! Alva!"

"Ayo, Ren! Sedikit lagi!"

"Lebih cepat, Kesatria!"

"Saka, jangan kalah!"

"Saka, Bro, ayo!"

Kami bertiga saling menyusul. Jarak di antara kami semakin menipis. Aku bahkan sampai bisa melihat Alva yang memicing dan Saka yang tersenyum tidak mau kalah. Tinggal sedikit lagi. Sedikit lagi ....

"Whoooo!" Penonton bersorak.

Aku, Saka, dan Alva melewati garis akhir hampir bersamaan. Aku mengerem, lantas turun dari papan. Kuhampiri Pak Ares yang sedang melihat benda di tangannya setelah menonaktifkan skyboard.

Kami semua berdiri di hadapan pelatih itu, menunggu hasil diumumkan.

"Tim pertama yang berlatih adalah Prima Sophia!" ujar Pak Ares. "Dilanjutkan oleh Magna Prudentia, dan terakhir Scienta et Social!"

Olivia bersorak atas kemenangan Alva. Si Bocah Alafathe itu sendiri tersenyum penuh kemenangan sambil mengangkat dagu. Aryza menepuk bahu temannya itu, sedangkan Zea bertepuk tangan malas.

Chrys meninju bahuku pelan. "Tadi itu keren sekali! Meskipun kita jadi yang terakhir latihan, tapi tidak masalah. Tidak ada yang rugi juga."

"Ya, tidak apa-apa," timpal Chloe. "Lagi pula kau harus istirahat sejenak setelah terbang dan menghindari semua rintangan itu."

Aku mendelik. "Tumben kau peduli."

Chloe memalingkan mukanya sambil bersedekap. Pipinya memerah.

"Whooo, aku merasakan percikan cinta yang kian membara."

Aku memperingatkan Chrys setengah bercanda. "Jaga bicaramu," kataku sambil lalu menuju pinggir lapangan.

Anak pirang itu hanya tertawa.

Latihan kemudian dilakukan sampai sore, dilanjutkan dengan evaluasi seperti biasanya bersama Pak Ben di ruang kumpul tim.

"Kau benar-benar harus istirahat, Ren," mohon Chrys seraya menumpu dagu. Selimut kini sudah membalut setengah tubuhnya.

Aku mendesah, lantas beranjak dari kasur Chrys. Mungkin itu juga cara yang halus untuk mengusirku dari tempat tidurnya karena anak pirang itu ingin segera ke alam mimpi. "Baiklah—"

Pintu kamar berkeriut saat Pak Ben yang berpakaian tebal masuk dan membuat kami seketika terdiam. "Loh, kalian belum tidur?"

"Ren, tidak bisa tidur, Pak. Sibuk mencari jawaban dari riddle Bapak. Katanya susah," adu Chrys.

Aku mengerling. Tidak salah, tapi sepertinya lebih karena aku memijat anak itu dari setelah makan malam, diselingi obrolan acak ke mana-mana.

Pak Ben membuka mantel hitamnya; memperlihatkan kemeja putih dan dasi gelap. "Sudahlah, tidur dulu. Kesehatan lebih penting. Otak dan ototmu sudah lelah digunakan seharian ini. Kau bisa bangun pagi-pagi seperti biasa dan mengerjakannya sebelum sarapan." Dia membuka arloji di tangan kiri. "Lagi pula, sudah larut. Kau bisa saja sakit kalau jam tidurmu terganggu."

Aku mengangguk lemah. "Baiklah," jawabku, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ketika aku keluar, Pak Ben sedang duduk di pinggir ranjang sambil memainkan geniusphone. Dia mendongak, lantas berdiri.

"Selamat tidur, Pak," kataku.

"Selamat tidur juga, Arennga," balas Pak Ben sambil mengusap-usap kepalaku ketika dia melewatiku untuk ke kamar mandi.

Aku seketika mematung; mencerna apa yang baru saja terjadi. Refleks, aku memegang rambut. Inikah kepedulian yang sudah lama tak aku dapatkan? Aku memejam sambil tersenyum; merasakan kehangatan yang masih melekat.

Aku kembali ke bumi ketika suara kunci kamar mandi terdengar. Buru-buru aku ke ranjangku sebelum Pak Ben bertanya kenapa aku masih belum tidur juga. Chrys di sebelahku sudah mengorok seperti babi dengan tangan dan kaki yang keluar dari selimut.

Perlahan, mataku memberat.

...

Aku bangun pukul lima seperti biasa, lalu ke kamar mandi untuk mengurus sesuatu. Setelah semua beres yang memakan waktu hampir setengah jam, aku kembali menekuri soal. Kududukan bokong di sofa sambil meluruskan kaki melewati meja.

Sebenarnya soal yang telah kujawab sudah semua, tetapi rahasia yang ada di dalamnya yang belum kutemukan. Beberapa kali kulingkari semua jawaban yang ada dan kucoba menghubungkan keseluruhannya.

"Hai, Ren, rajin seperti biasanya." Chrys muncul dari dalam kamar. Muka bantalnya masih terasa. Beberapa kali dia menguap sambil menggaruk-garuk perut. Anak itu lantas berjalan sempoyongan ke kamar mandi dengan mata setengah terbuka.

Aku berpaling kembali pada soal. "Aku harus rajin agar tim kita menang," balasku.

Namun, tidak ada sahutan dari Chrys. Sebagai gantinya, suara air yang mengalir dari kamar mandi yang terdengar.

"Hah ... lega." Anak pirang itu muncul kembali dan langsung duduk di sampingku sambil menyalakan televisi. "Kau tidak lelah, Ren? Setidaknya nikmati dulu pagi hari ini sebelum latihan melelahkan lainnya dengan skyboard ...." Dia bergidik sambil memeluk tubuh. "Lagi pula, kita akan membahas riddle itu di latihan nanti kan?" lanjutnya sambil memindahkan saluran-saluran televisi.

"Jawaban sudah semua kutemukan. Aku mencari yang lain. Ada sesuatu yang tersembunyi di sini." Kutunjuk ipapyria dengan stylus. "Olivia juga berkata memang ada sesuatu, tetapi mereka belum menemukannya sama sepertiku," lanjutku sambil menyandarkan punggung ke sofa.

"Eh, Olivia? Kau bertemu dengannya? Kapan?"

"Dua hari lalu, waktu aku pamit untuk ke taman dan kau malah menonton kartun seperti sekarang."

"Eeeh? Enaknya. Harusnya aku ikut denganmu saja waktu itu kalau tahu." Chrys merebahkan dirinya ke samping. Bibirnya cemberut, tetapi matanya kembali fokus pada tontonan di televisi.

"Terkadang, kalau kita menemukan jalan buntu, kita hanya harus melihat ke arah yang berbeda, melalui perspektif yang lain." Seorang bocah detektif dengan kacamata bersinar berkata dari dalam tv.

Aku tidak sengaja mendengar kata-kata itu, dan hal tersebut memberiku ide. Perspektif yang lain, ya? Aku mencoba lagi mencerna kalimat-kalimat teka-teki. Kulingkari kata-kata dan istilah yang mencurigakan; tercetak tebal sendiri, bentuk huruf yang berbeda, atau ukuran yang mencolok. Kucoba sambung-sambungkan keseluruhan kata-kata itu menjadi teka-teki tersendiri.

"Mungkinkah?"

"Kau sudah menemukan sesuatu, Ren?"

"Aku tidak yakin, tapi ini bisa saja." Aku mengetuk-ngetukkan stylus ke dagu. "Chrys, nanti kau bantu aku. Sekarang ada yang harus kulakukan dulu."

Aku berdiri, lantas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuh sebelum sarapan.

...

Sebelum makan pagi, aku pergi ke kolam renang. Aku yakin tempat ini adalah yang dimaksud dalam soal. Beberapa kali kucocokkan deskripsi dengan petunjuk yang ada. "Telaga dalam ruangan"dan "riak air yang tenang" adalah hal yang sesuai dengan kolam renang. 

Namun, observasiku harus terhenti karena waktu sarapan telah tiba.

Aku, Chloe, Chrys, dan Mischa lantas sarapan bersama di satu meja seperi biasa. Pak Ben entah ke mana. Dari aku bangun tidur dia sudah hilang. Mungkin sedang melakukan misi rahasia.

Aku lantas memberitahukan penemuanku. "Aku sudah mengetahui rahasia tersembunyi dia dalam soal," laporku. "Tapi, aku tidak yakin apa itu benar atau tidak."

"Kenapa yakin sekali?" Chloe ragu. "Menurutku, itu terlalu berlebihan. Untuk apa pihak penyelenggara menyembunyikan benda di kolam renang hanya untuk bersenang-senang?"

"Mungkin itu untuk mengasah daya pikir kita dengan pertanyaan-pertanyaan tak terduga," balas Chrys. Anak itu tersenyum penuh arti kemudian sambil memiringkan tubuh ke arah lawan bicaranya. "Lagi pula, lihat sisi baiknya, Chlo, kau bisa melihat Arennga setengah telanjang di kolam renang."

"Ap—"

Pipiku panas. "Masih pagi otakmu sudah kotor!"

"Bukan kotor, itu namanya cuci mata!"

Aku dan Chloe melempari anak itu dengan kacang tanah yang seharusnya dijadikan kudapan. Chrys malah melindungi diri dengan tangan dan memakan sisanya yang tertangkap mulut.

"Haha, kalian sangat kompak!"

Setelah puas, kami melanjutkan obrolan dengan kepala dingin diiringi Chrys yang memakan kacang-kacang yang tercecer.

"Aku yakin itu karena Olivia juga memberitahuku," sambungku atas keraguan Chloe sebelumnya.

"Dan itu yang membuatku iri," timpal Chrys sambil memasukkan satu sendok nasi dengan daging ke mulut setelah selesai dengan kacang-kacangnya.

Aku mengerling. Anak itu masih saja mempermasalahkan hal tersebut. "Kau bisa berkencan dengan Olivia kalau kau mau," hiburku sambil menandaskan makanan.

"Benarkah?" Chrys seketika semringah.

"Itu pun kalau dia mau, Chrys." Chloe tertawa lepas.

"Intinya adalah, aku akan memeriksa kolam renang sebelum latihan. Kalau aku benar, aku mungkin akan menemukan sesuatu di dasarnya." Aku menatap si Anak Pirang. "Bawakan aku handuk dan baju ganti," kodeku pada Chrys. aku sengaja menekan pada kata itu karena bisa jadi para gadis malah merasa risi.

"Oke!" Chrys membulatkan telunjuk dan jempolnya.

"Bukannya itu terlalu mepet? Pak Ben akan marah kalau kita sampai telat," timpal Chloe.

"Akan kulakukan secepat mungkin. Itu pun kalau tidak ada gangguan." Aku mengerling pada meja Prima Sophia dan Magna Prudentia bergantian.

Setelah sarapan, aku dan Chrys pergi ke kolam renang. Tempat itu lumayan besar. Airnya berwarna biru pantulan langit. Kursi-kursi panjang kosong berjajar di tepi kolam. Sepi. Mungkin karena masih pagi, jadi tidak ada banyak orang yang ada selain kami.

Chloe dan Mischa menyusul kemudian. Katanya mereka penasaran dengan benda apa yang akan kutemukan, lalu Chloe akan tertawa keras saat aku gagal.

"Jahat sekali, Chlo," Chrys kecewa.

"Maaf, maaf, aku hanya bercanda," sahut si Gadis Badut sambil mengibas tangan.

Aku yakin itu bukan hanya sekadar gurauan.

Aku melepas pakaian dan hanya menyisakan celana boxer selutut. Seluruh pakaian yang kutanggalkan kutitipkan pada Chrys. Kulanjutkan dengan pemanasan sebentar sebelum masuk kolam agar tidak cedera.

Namun, fokusku buyar tatkala Alva di seberangku melakukan hal yang sama dengan celana renang selututnya. Anak itu menyapa dengan mengangkat dagu seraya menarik lengannya ke belakang.

Aku mempercepat pemanasan.

Jbur!

Alva masuk ke kolam terlebih dahulu. Aku menyusulnya. Air dingin seketika menyambutku. Kutahan napas kuat-kuat. Dalam dekapan air yang menusuk kulit, kupaksakan mataku membuka. Biru gelap menyapaku. Lingkar-lingkar putih bergoyang-goyang di permukaan batu di dasar kolam sebagai hasil dari sinar matahari yang menembus riak-riak air.

Mataku lantas menyapa dasar kolam dengan liar, mencari sesuatu di antara bebatuan gelap. Tak jauh dariku, Alva berenang mengitari kolam.

Aku berenang ke permukaan untuk mengambil napas. Teman-temanku bersorak.

"Kau sudah dapat, Ren?" tanya Chrys sambil memeluk handuk.

Aku menggeleng. "Belum." Kulihat sekeliling untuk menemukan petunjuk yang sesuai dengan riddle. Lalu, aku menyelam lagi.

Dalam pekatnya biru kolam, otakku terus berpikir, mencocokkan setiap pertanyaan dengan petunjuk satu sama lain. Aku bergerak ke kiri, meneliti setiap bebatuan apakah ada yang mencurigakan. Namun, tidak ada yang aneh. Alva di seberangku juga melakukan hal yang sama. Dia ke permukaan kemudian.

Sial. Hanya masalah waktu sampai semua ini berakhir dan aku gagal. Waktu tidak bisa menyembuhkan, tetapi membantu untuk menerima. Semua ada di dalam waktu. Waktu mengalir bagai air. Petunjuknya!

Aku ke permukaan kembali dan mencari keberadaan jam; mengabaikan teman-temanku yang berteriak. Kulihat sekeliling dan kutemukan benda itu bertengger di dinding luar, di atas pintu masuk-keluar antara kolam dan ruang makan.

Aku menyelam kembali, lantas berenang ke arah sana. Kuteliti setiap bebatuan yang berbeda dari yang lain.

Alva menyusul di belakangku, bersiap menghalangi.

Napasku semakin menipis seiring waktu yang terus kuhabiskan. Namun, aku belum bisa kembali ke permukaan karena sedikit lagi aku berhasil. Satu batu berbeda bentuk berhasil tertangkap oleh mataku. Bentuknya seperti bola dengan sisi segilima sama sisi. Kuambil benda itu sebelum Alva berhasil.

Aku menyembulkan kepala dari kolam sambil mengangkat benda yang ternyata dodekahedron itu tinggi-tinggi. "Aku menemukannya!" seruku.

Cepat-cepat aku keluar dari kolam.

"Ren, kau hebat!" puji Chrys sambil memberikan handuk.

Aku menyugar rambut basah yang menutupi mata. "Baru tahu?" Kuterima handuk dari Chrys, lalu menyerahkan dodekahedron-nya.

"Kesatria, kau ... wow." Chloe yang datang bersama Chrys termangu dengan mulut membulat.

"Kenapa?" tanyaku setelah mengeringkan rambut yang sekarang pasti sudah acak-acakan.

Chrys melirik gadis di sampingnya yang seketika memalingkan wajah dengan pipi merah. Anak pirang itu tersenyum. "Sepertinya ada yang terpana dengan tubuh seorang lelaki."

Alisku naik satu. Kulihat tubuhku yang memang sudah terbentuk dengan dada yang cukup bidang dan perut yang lumayan kencang. "Jangan bilang kau?" tudingku pada Chrys.

Anak itu bersiul. "Tentu saja bukan hanya aku," timpalnya sambil melihat Chloe yang masih berpaling dan Mischa yang telah menutup wajahnya dari tadi.

Aku mengerling. "Kemarikan," pintaku, tetapi Chrys menolak dan ingin memainkannya sebentar.

"Ini rubik yang sangat pelik," ucap anak pirang itu sambil melihat-lihat setiap sisi.

"Itu bukan rubrik." Alva menginterupsi masih setengah telanjang. Handuk bertengger di lehernya. Dia menengadah. "Bolehkah kupinjam sebentar? Aku lelah melihatmu tidak berhasil."

"Supaya kau bisa membawanya pergi, begitu?" sindirku sambil melipat tangan di depan dada.

Mata biru gelap Alva menyipit. "Hal itu hanya dilakukan oleh pengecut," sahutnya.

"Seperti yang sering kalian lakukan, kan?" Aku membalas tajam.

Keheningan menyelimuti kami, sampai Chrys bersuara.

"Aku masih belum bisa mengoperasikannya," bisik anak pirang itu.

Kuputar bola mata. "Kemarikan," suruhku. Chrys menurut.

Dodekahedron berbentuk seperti bola dengan dua belas sisi segilima sama sisi. (Termasuk dalam bangun ruang platonik solid. Bangun ruang yang keseluruhan bidangnya sama, dari luas sampai jumlah titik sudut.) Ukiran-ukiran mengular menghiasi setiap bidangnya. Ada beberapa tombol yang berurutan jumlahnya dari satu bidang ke bidang lain, kecuali di salah satu bagian.

Kuperhatikan ukiran-ukiran itu dengan saksama, lantas menekan tombol sesuai urutan.

Layar biru hologram muncul seketika dari bagian berwarna biru gelap yang tidak bertombol. Orang-orang di sekitarku termasuk Magna Prudentia yang datang semenjak aku dan Alva berdebat terpana. Mereka bergumam kagum.

"Ternyata aku tidak perlu bantuan orang lain," ujarku pada Alva.

Si Bocah Alafathe mendengkus lantas membuang muka. "Ingat ini, Arennga, aku hanya kalah di sini, tetapi tidak di fase berikutnya," janjinya, lalu melengos pergi. Olivia yang ada di dekatnya tersenyum miring padaku.

"Kau hebat, Kawan-Lawan!" Saka yang ada di belakang kami bertepuk tangan. "Kalian bisa sampai memikirkan hal itu. Kami saja tidak terpikirkan!"

"Bukannya kita malah lebih ke malas, ya? Dari pada tidak terpikirkan." Argen, lelaki berkulit gelap dengan rambut cepak itu berkomentar.

Saka menyimpan telunjuk di depan bibir. "Sssst! Jangan buka kartu!" bisiknya, tapi masih bisa terdengar oleh kami. "Omong-omong, selamat! Hal ini pastinya akan berpengaruh pada jalannya kompetisi. Semoga beruntung!" Keempat orang itu lalu kembali ke tempat mereka berasal.

Aku kembali pada layar hologram, lantas menggulirkannya. Isinya ternyata semua jawaban dari teka-teki yang Pak Ben beri. Totalnya ada tiga ratus teka-teki bersama penjelasannya.

"Jadi, secara teknis kita menang dalam latihan kali ini?" tanya Chloe sambil menempel padaku, berusaha melihat layar hologram.

Aku mengedik. "Sepertinya."

"Whooo, keren! Nilai tambah pengganti kegagalan kemarin—"

Aku berdeham. "Maaf saja ya, kalau aku mengecewakan kalian," potongku.

"E-Eh, bukan, bukan begitu maksudku! Aaah, maafkan aku, Ren!" Chrys menyatukan kedua tangannya di depan dada.

Aku tersenyum. "Iya, iya. Berdoa saja, latihan kali ini kita bisa lebih unggul dari yang lain."

"Astungkara."

Mischa berbisik dengan bahasa yang baru aku dengar, membuat kami seketika menatapnya penuh selidik.

~~oOo~~

A/N

Whohooo, bab panjang lainnya! Ada fanservice sedikit di sini, aku harap kalian menikmatinya. Sebenarnya aku punya visual Arennga yang telanjang *uhuk*, tapi karena gak ada/belum ada yang minta, akan aku simpan sendiri. Haha!

...

Diterbitkan: 29/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro