Bab 25 : Pemanasan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

UAS tinggal menunggu hari, lebih tepatnya dua minggu lagi. Jadi, kuputuskan melatih diri lebih giat lagi agar siap nanti.

"Kita mulai pemanasan," Rama memberi instruksi. Aku mengikuti semua gerakan lelaki itu. Mulai dari peregangan statis sampai pergerakan dinamis. Setengah jam kemudian, tubuhku mulai panas.

"Aku tidak mengganggumu, 'kan?" tanyaku di sela-sela peregangan tangan.

"Menurutmu?"

Aku sebal. Sejak kapan dia jadi seperti ini? Pasti karena bergaul dengan Arennga dia jadi ketularan. "Tenang, aku orang yang tahu diri. Aku akan membantumu belajar."

"Tak apa, Chloe. Aku senang membantu."

Setelah dirasa cukup, kami menghentikan sesi pemanasan. "Sekarang apa lagi, Pelatih?"

"Kau yang butuh, kenapa tanya aku?"

"Aku mana tahu tentang olahraga! Makanya aku minta bantuanmu!"

"Oke, oke, tenang." Rama berusaha menenangkanku seperti seorang pelatih singa yang mengamuk. "Kau mau meningkatkan apa? Kekuatan? Fleksibilitas? Stamina?" tanyanya seperti seorang pedagang yang sedang merayu pembeli.

Aku tidak langsung menjawab. Beberapa kali mulutku terbuka-tertutup hendak bicara tetapi selalu kuurungkan karena berpikir ulang apa yang ingin kutingkatkan. Apa yang benar-benar aku butuhkan?

Butuh waktu setengah jam bagiku untuk berpikir. Selama menunggu, Rama melakukan "peregangan" lanjutan. Push up, sit up, lompat bintang.

"Aku ingin lebih lentur," cetusku. Rama yang sedang memutar pinggangnya melihat padaku.

"Oke," jawabnya.

...

Selain latihan fisik, aku juga melatih otakku lebih keras. Seringnya aku belajar di perpustakaan bersama Anastasia. Di lain waktu Rama juga ikut belajar bersama kami. Sebagai ganti dia melatihku, aku memberikannya trik menghafal dan memahami seperti yang kubilang tempo hari. Anastasia juga sesekali membantunya.

"Ini harusnya dipangkatkan dulu baru dikali," ajarku. Rama merengut. Otaknya terbakar.

"Jangan terlalu keras padanya, Chloe," kata Anastasia berbisik. "Kau tidak lihat asap dari telinganya?"

"Ha ha. Lucu sekali, Gadis-gadis," timpal Rama dengan suara pelan.

Kami sedang di perpustakaan, makanya dari tadi kami berbisik. Aku dan Anastasia memutuskan untuk belajar bersama dan mengajak Rama sekalian.

"Arennga tidak marah kau belajar dengan kami?" tanyaku. Tangan Rama sesaat diam ketika mendengarnya. Stylus miliknya kembali menari kemudian.

"Tidak."

"Kenapa harus marah?" Anastasia ikut bertanya.

"Kau ingat pertengkaranku dengan Arennga waktu itu di kantin?" ingatku. Gadis itu mengangguk. "Arennga tidak suka Rama bergaul dengan kita."

"Anastasia benar, Chloe. Lagi pula, dia tidak akan membantuku," Rama membela.

"Aku hanya tidak ingin dia menyebut kalau kami memanfaatkanmu lagi."

"Itu tidak akan terjadi lagi," Rama meyakinkan.

"Kau ketinggalan satu." Anastasia menunjuk satu soal.

...

Saat kuminta Rama untuk mengajariku agar lebih fleksibel, aku tidak menyangka latihannya akan sesakit dan seintens ini. Tidak tahu aku yang kurang olahraga atau memang Rama melatihku dengan agak keras.

"Terus regangkan, Chloe!" teriak Rama sambil mengangkat tangan; memberi contoh. "Kau tidak akan mampu mengalahkan Arennga kalau hal kecil seperti ini saja tidak bisa."

Otot-ototku rasanya ditarik. Tulang punggungku rasanya mau patah. Seakan mau mati. Oh, aku hanya bersikap dramatis.

Setelah selesai peregangan dasar yang menyakitkan, kami berlanjut ke sesi kedua. Rama mengajariku bagaimana roll depan yang benar, berguling ke samping, meroda seperti bintang.

"Begitu caranya," kata Rama setelah memberi contoh bagaimana meroda. Aku mengikuti arahannya, tetapi selalu gagal. Lelaki itu mengajariku sampai lelah sendiri. "Jadikan tangan pertamamu sebagai tumpuan, kemudian dorong dengan kaki terakhir yang menginjak tanah." Sekali lagi, dia mencontohkan.

"Aaah, susah!" Aku frustrasi. Beberapa kali aku terus gagal, tanpa ada satu percobaan pun yang berhasil.

"Kalau kau terus merengek, mana bisa berhasil. Ayo, coba terus!"

"Bisa kita ganti latihannya? Yang lebih mudah bagi orang jarang olahraga sepertiku."

Rama mendesah. "Ya, sudah, kalau itu maumu," katanya pasrah. Lelaki itu berpikir.

Lama aku menunggu sampai akhirnya dia bersuara lagi. "Kita lihat apa kau bisa mencium lututmu sendiri."

Aku bingung mendengarnya. Memang "mencium lutut" bisa dijadikan tolok ukur sebuah kelenturan?

"Ayo, Chloe!" Rama berusaha memberiku semangat. Namun, sepertinya itu semua percuma.

Coba bayangkan dan rasakan. Duduklah dan luruskan kaki. Pegang jari kaki dengan kedua tangan kemudian cium lutut kalian dengan masih meluruskan kaki. Rasakanlah sensasinya! Sakit, tahu tidak?! Aku bahkan meringis beberapa kali saat Rama menekan punggungku agar aku bisa melakukan itu semua.

"Kenapa semua ini harus menyakitkan, sih?!"

"Itu karena kau jarang olahraga, makanya tubuhmu kaku."

"Ya, maaf, ya," aku menjawab diiringi jeritan karena punggungku ditekan tiba-tiba.

...

Malam harinya setelah latihan, aku memutuskan untuk tidur lebih cepat. Otot-ototku benar-benar tersiksa. Rasa nyut-nyutan terasa di sekujur tubuh. Kalau ada waktu, aku sangat ingin ke spa dan mendapat pemijatan.

Aku baru akan terlelap ketika sebuah ketukan terdengar. Aku sangat malas bergerak. Saking tidak inginnya beranjak dari kasur, aku menyuruh Clowny untuk membuka pintu. Makhluk digital itu melompat meraih kenop diiringi gemerincing lonceng yang berisik.

Pintu terbuka, raungan mengikuti. "Chloe—Oh, hai, Clowny." Anastasia masuk sambil memangku Clowny. Pintu di belakangnya ia tutup dengan satu kaki. "Bagaimana keadaanmu, Say? Maaf kau jadi hanya berdua dengan Rama."

Aku bangkit sambil menahan pegal. "A ... nas ... ta ... sia ...," rengekku. Gadis itu bingung. "Tolong, pijat aku." Permintaan itu berhasil membuahkan sebuah jitakan di kepalaku.

"Aku kira kau kenapa!"

"Tubuhku sakit semua."

"Itu mungkin karena jarang olahraga."

"Rama juga bilang begitu."

Ada jeda beberapa saat sebelum topik yang baru muncul.

"Omong-omong, ada apa?" tanyaku.

"Ah, aku mengganggumu, ya?" Anastasia bertanya balik. Haruskah kujawab dengan jujur? "Masa bodo. Aku tetap akan mengganggumu lagi pula." Pertanyaanku sudah terjawab.

"Katakan."

"Aku hanya ingin mengecek keadaanmu," kata gadis itu sambil duduk.

"Kau bisa meneleponku kalau mau. Pasti ada yang lainnya, 'kan?"

"Kamar kita berseberangan, Chloe. Untuk apa aku susah-susah menelepon?"

"Jujur?" Aku memicingkan mata.

"Okey, aku hanya butuh teman belajar. Aku bosan di kamar sendirian. Kau mau, 'kan, menemaniku?"

Aku memberikan tatapan malas. Akhirnya kutemani Anastasia sampai aku terlelap sendiri mendengar ocehannya.

...

Semakin dekat dengan UAS, aku meminta porsi latihanku dengan Rama ditambah. Bukannya aku "sok" atau apa, aku hanya orang malas yang sulit bergerak. Makanya aku butuh dorongan meskipun itu adalah suatu paksaan. Kupikir bila paksaan itu datangnya dari dalam diri akan lebih mudah dilakukan. Namun, nyatanya tidak. Aku masih tetap malas walaupun itu adalah keinginan sendiri. Makanya, aku menyuruh Anastasia untuk memaksaku bergerak agar aku lebih termotivasi.

Karena tidak mungkin memakai gimnasium pada malam hari, aku memutuskan untuk memakai lapangan di depan asrama sebagai tempat latihan. Kenapa malam? Ya, karena hanya itu waktu luang yang kupunya selain hari Sabtu dan Minggu. Sore hari setelah pulang sekolah, kan, aku harus bersih-bersih, belum lagi ada pertemuan klub. Gimnasium tidak boleh digunakan pada saat malam kecuali ada acara tertentu.

"Ayo, Chloe! Aku tahu kau bisa lebih cepat dari ini!" Anastasia mencoba menyemangati. "Bahkan siput di film yang kutonton lebih cepat darimu yang sekarang!"

"Itu, kan, cuma film!" timpalku tidak mau kalah.

Aku berlari berputar. Mungkin sudah ada lima putaran yang telah kulewati. Aku tidak tahu pastinya.

"Sepertinya pemanasannya sudah cukup ...." Aku berusaha mengambil napas sebanyak yang kubisa sambil menumpu lutut. Keringat membanjiri. Padahal malam hari biasanya dingin, tetapi tubuhku panas luar biasa. Angin yang berembus bahkan tidak bisa menetralkannya.

"Siap lanjut?" tanya Rama.

"Sebentar ...." Aku ambruk.

Lima menit aku terbaring sambil menatap langit malam. Bintang bertaburan di atas sana. Saat ini sangat cocok jika ingin memulai star gazing

"Sampai kapan kau akan berbaring?" Anastasia menginterupsi. Tidak bisa ya, sebentar saja aku jadi agak mellow?

Aku mengerling. "Iya, iya."

Aku dan Rama memulai pemanasan. Anastasia tidak ikut karena merasa tidak butuh olahraga yang berlebihan sepertiku. Sebagai gantinya, ia menjadi pemandu sorak yang sesekali menyemangati dan lebih banyak mengejekku.

"Nenekku saja bisa lebih lentur dari itu!" Seperti itu. Atau, "Anak ADHD saja punya lebih banyak stamina darimu, Chloe!" Dan akan diakhiri dengan sahutan.

"OY! JANGAN BERISIK! INI SUDAH MALAM!" Dari penghuni asrama yang berani bersuara.

Lalu gadis itu akan menimpali, "Maaf!"

Semua itu kami lakukan sampai menjelang UAS.

-oOo-

A/N

Dibuat sebagai transisi sebelum klimaks.

Semoga menghibur!

Diterbitkan: 6-3-2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro