Bab 2 Lamaran Muazzam Al Firdaus

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jika Allah berkehendak, kita akan dipersatukan dalam ikatan halal.
Karena laki-laki sejati itu yang langsung bertindak bukan dengan kata-kata puitis/gombalan."

Muazzam al Firdaus

Malam harinya seorang laki-laki sedang duduk di bangku cafe untuk menemui teman semasa kuliahnya dulu, seorang pelayan menghampirinya dengan membawa buku menu untuk para tamu yang datang ke restoran itu. Azka memasuki cafe dan menanyakan bangku yang dipesan atas nama seseorang itu, pelayan lain mengantarkannya menuju ruangan yang sudah di pesannya. Lelaki itu melambaikan tangannya ke arah Azka, dan mempersilahkannya untuk duduk.

"Maa Syaa Allah, Ka, akhirnya antum udah sukses juga yah, perasaan baru saja kemarin kita wisuda bareng ya," ujar lelaki itu.

"Alhamdulillah, ini juga berkat kerja keras dan ridho orang tua, seperti yang pernah kau katakan semasa kuliah dulu. Oh iya apakah sudah lama menunggu?"

"Tidak sama sekali, baru saja sampai. Oh iya antum mau pesan apa, biar ana yang mentraktir?" tanya lelaki itu sambil menyerahkan daftar menu pada Azka.

"Jangan bilang kalau antum mentraktir ana karena ingin mendengarkan kabar baik itu, tenang saja kok tidak harus dengan menghamburkan uang antum dengan mentraktir seperti ini." Keduanya pun akhirnya tertawa, pesenan mereka pun akhirnya sampai. Keduanya menikmati makanan itu dengan penuh kenikmatan, hanya denting sendok dan garpu yang memecahkan keheningan makan malam keduanya.

"Zam, apakah kamu serius ingin meminang Azzahra. apalagi dia adalah adik saya, bisakah kamu memberikan alasan yang kuat untuk meminangnya. Walau bagaimanapun juga saya harus tau terlebih dahulu lelaki yang akan meminangnya itu, apalagi kamu tahu sendiri kalau Ara itu dia pendiam," ucap Azka setelah menikmati makanan itu.

"Apakah dalam islam ada larang untuk menikahi adik dari sahabat saya sendiri?" Azzam mengambil tisu yang sudah tersedia untuk membersihkan sisa-sisa makanan yang ada di bibirnya, "bahkan cinta itu fitrah adanya Ka. Antum pasti tahu sendiri prinsip ana, jika sudah mencintai seseorang alangkah baiknya untuk segera mengkhitbahnya."

"Ana tahu maksud baik antum, tapi kenapa tidak mencari akhwat yang lebih baik dari adik ana?" Tanya azka.

"Kesempurnaan hanya milik Allah, manusia semuanya pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya. Yang ana lihat dari adik antum adalah sosok yang lemah lembut, walaupun Zahra itu pendiam tapi memiliki sifat yang penyayang dan keibuan yang tinggi, hatinya itu lemah lembut bagaikan kapas," ujar Azzam pada sahabatnya itu sekaligus kakak dari Az-Zahra

"Dia memang memiliki sifat keibuan dan lemah lembut, antum pasti tidak percaya jika selama ini yang mengasuh dan menjaga anak ana si Fika itu adalah Ara. Dia yang mengajarkan banyak hal terhadap Fika, bahkan Ara sangat menyayangi Fika seperti anaknya sendiri. Jika keputusan antum ingin menikahinya, alangkah baiknya antum tunggu saja jawaban khitbah nya 3 hari dari sekarang," ucap Azka sambil merapihkan jasnya sebelum berdiri dari tempat duduknya.

"Antum tenang saja, karena Ana akan tetap menunggu keputusan Ara apapun itu. jika dia menolak, Allah pasti sudah mempunyai skenario yang lebih indah untuk kehidupan kami masing-masing."

"Kalau begitu ana pamit dulu, Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumusalam."

Azka meninggalkan restoran itu, sudah lama Azzam dekat dengan keluarga Azka. Bahkan Umminya Azka sudah menganggap Azzam seperti putranya sendiri, sudah enam tahun Azzam memendam perasaannya terhadap Ara. Oleh sebab itu, Azzam akan menyegerakan untuk menikahinya.

"Jika Allah berkehendak untuk kita bersama dalam ikatan halal, maka tunggulah wahai calon ibu dari anak-anakku." monolog Azzam.

****

Ditempat lain, Ara sedang merapihkan mukena selepas melaksanakan sholat isya bersama dengan keponakannya. Dirinya merenungi ucapan Jiddah sewaktu siang untuk menetapkan pilihan hatinya, tetapi siapakah gerangan lelaki yang langsung berani melamarnya saat ini. Bahkan Ara saja tidak pernah dekat dengan lelaki manapun selain kakak kandungnya Azka dan Azzam sahabat dari kakaknya itu. Farida menghampiri adik iparnya itu, lalu duduk disampingnya tak lupa meraih tangan Ara. perempuan yang tengah melamun itu sontak terkejut saat kakak ipar menggenggam tangannya.

"Apakah kamu masih memikirkan tentang pinangan itu dek, ikuti saja kata hatimu dan jangan pernah ragu untuk bercerita kepada kakak yah. Karena kamu sudah kakak anggap seperti adik kandung kakak sendiri, seperti halnya Ummi yang sudah menerima kakak sebagai menantu kesayangannya itu," ucap Farida dengan senyuman merekah.

"Ara masih bingung kak, kenapa Allah secepat ini memberikan pilihan yang harus Ara pilih. Ara ingin sekali bisa membahagiakan Ummi dan Abi terlebih dahulu sebelum menikah nanti, Kak," Lirih Ara pada kakak iparnya.

"Kakak tahu kalau kamu masih meragukan tentang pilihanmu, dulu posisi Kakak pun sama sepertimu saat ingin meneruskan study S2 tapi harus menerima dua pinangan sekaligus antara Azka dan Alm. Hafiz teman seperjuangan saat duduk dibangku SMA dahulu. Dengan solat istikharah beberapa kali dan tahajjud Alhamdulillah, Allah­ memberikan petunjuk dan akhirnya Kakak bisa menerima pinangan dari Kakakmu. Allah sudah menakdirkan nabi Adam dan Hawa berpasangan,"

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Surah Ar-Rum Ayat 21.)," ucap Farida sambil mengusap rambut Ara yang tertutup khimar.

"Syukron, Kak, karena sudah memberikan nasihat untuk Ara. Insya Allah, Ara akan mengikuti ucapan Jiddah dan Kakak, tapi saat ini Ara butuh waktu untuk menetapkan pilihan hati terlebih dahulu," lirih Ara sambil menundukkan pandangannya.

"Baiklah kalau itu yang kamu mau, jika kau butuh tempat untuk bercerita jangan sungkan temui kakak yah." Farida mengusap pundak Ara lalu meninggalkan kamar adik iparnya itu.

Ara membereskan mukenanya dan beberapa pakaian yang akan dibawanya untuk kembali kediamannya di Bogor besok sore, Azka mengirim pesan bahwa dirinya akan langsung menjemput adik dan istrinya tepat saat pulang kerja nanti. Ara berjalan menuju tempat tidur lalu memejamkan matanya berharap mendapatkan petunjuk dari Allah.

****

Azka sampai dikediaman dari Jiddahnya, setelah memarkirkan kuda besi yang dibawanya. Lelaki itu turun dan langsung mengetuk pintu rumah berwarna putih gading itu, seorang wanita muda dengan menggendong anak semata wayangnya tersenyum menyambut kedatangan orang yang ditunggu-tunggu.

"Assalamu'alaikum, dimana Jiddah dan Ara?" Tanya Azka setelah memberikan tangan kanannya untuk dicium oleh istrinya lalu mengambil alih anak kesayangannya itu.

"Wa'alaikumusalam, Jiddah dan Ara ada di ruang tamu sudah menunggu kedatangan mu, Mas. Oh iya aku sudah membuatkan kopi kesukaanmu dan makan malam sebelum kita kembali ke rumah Ummi," ucap Farida berjalan disebelah suaminya menuju ruang tamu. Jiddah dan Ara tengah membahas mengenai masa kanak-kanak dirinya dan Azka, tanpa keduanya sadari yang menjadi topik pembahasan sudah ada di depannya saat ini tengah memangku Fika.

"Ternyata memang dari kecil ya Jiddah, bahwa Kak Azka itu memang tipikal lelaki yang dingin dan so ganteng. Kok ada yang mau ya, Jiddah sama Kak Azka? Apa sih yang dilihat sama Kak Farida dari sosok Kak Azka itu ya?" tanya Ara bertubi-tubi pada Jiddahnya.

"Cinta karena Allah, yang mempersatukan kita dalam ikatan halal. Memang benar yang diucapkan Ara dan Jiddah, kalau Mas Azka itu tipikal cowo yang dingin dan so ganteng tetapi akhlaknya selalu dia jaga. Dan Mas Azka itu selalu mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang," ujar Azka setelah mencium punggung tangan Jiddahnya itu.

"Ara paham kok, kalau cinta kalian itu murni karena adanya Allah. Oleh sebab itu Ara menginginkan seorang imam yang seperti Abi dan kak Azka selain sama-sama hafiz Qur'an, baik hati, bahkan sangat penyayang," ucap Ara sambil membayangkan calon imamnya nanti.

"Udah jangan dipikirkan Dek, nantinya malah jadi zina pikiran lagi. Lebih baik tetapkan pilihan hati kamu dulu dan memohon pada Allah dalam sujud sepertiga malammu untuk menghadirkan atau menjodohkanmu dengan ikhwan seperti itu. "

"Betul ucapan kakakmu Ara, bagaimana kabarmu, Nak?" Tanya Jiddah pada cucu sulungnya itu.

"Alhamdulillah, seperti yang Jiddah lihat bagaimana keadaan Azka. Oh iya, Azka mau pamit untuk pulang bersama Ara dan Farida. Karena besok pagi Azka ada pekerjaan lagi Jiddah, jadi Afwan engga bisa lama-lama untuk berada disini," lirih Azka sambil menundukkan pandangannya tidak enak hati pada neneknya itu.

"Tidak apa-apa Azka, Jiddah paham kesibukkanmu saat ini. Tetapi ingat pesan Jiddah hanya satu, bahagiakan istri dan anakmu itu. Berikan seluruh kasih sayang yang kamu miliki, jaga selalu keluarga kecilmu jangan sampai ada pihak ketiga yang datang untuk menghancurkan keharmonisan keluarga kalian," ucap Jiddah memberikan wejangan pada cucu pertamanya itu.

"Na'am Jiddah, kalau begitu Azka dan keluarga pamit ya, Assalamu'alaikum." Azka mencium punggung tangan Jiddah diikuti oleh Farida, Fika dan Ara yang sudah ada dibelakangnya.

"Wa'alaikumusalam, semoga Allah melindungi keluarga cucu-cucuku dan memberikan kebahagiaan yang berlimpah untuk mereka," lirih Jiddah lalu masuk ke dalam kamarnya setelah mengantarkan kepergian mereka berempat.

Disepanjang perjalanan Ara hanya diam sambil mendengarkan murotal dari ponsel pintarnya itu, matanya yang tertutup dan tak lupa tasbih ditangannya bahkan zikir selalu dia ucapkan dalam hatinya. Perjalanan Jakarta menuju Bogor yang memakan waktu tidak sedikit membuat mereka berempat kelelahan saat sampai tengah malam dikediamannya. Sesampainya Ara langsung memasuki kamarnya dilantai dua untuk mengistirahatkan tubuhnya sebelum besok mulai kembali beraktifitas, sementara keluarga kecil Azka memasuki kamar mereka yang ada dilantai satu.

****

Alarm telah berdering memenuhi sudut kamar seorang lelaki dewasa, Azzam bangun dan langsung berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Setelah mengganti pakaiannya Azzam melaksanakan sholat tahajjud untuk meminta petunjuk pada Allah, hati dan pikirannya sedang gundah gulana karena belum mendapatkan jawaban atas pinangannya terhadap gadis itu.

Lantunan kalamullah memenuhi penjuru kamar, surah Ar-Rahman menjadi pilihan bagi Azzam malam ini. Disepertiga malamnya, lelaki itu ingin sekali menyebut nama dari wanita yang dipinangnya. Lebih baik dirinya menyerahkan seluruh perjalan hidupnya pada alur yang telah Allah tuliskan, adzan subuh berkumandang Azzam selesai membaca kalamullah. Lelaki itu membuka knop pintu kamarnya dan langsung berjalan untuk menuju masjid yang tak jauh dari kediamannya.

"Zam," panggil Ummi Zahira saat melihat anaknya baru saja menuruni anak tangga.

"Na'am, Ummah, ada yang bisa Zam bantu?"

"Bagaimana dengan niat kamu untuk meminang seorang akhwat, Nak, atau perlu Ummah menjodohkan mu dengan partner bisnis Abimu?" tanya Ummah pada anak semata wayangnya.

"Afwan, Ummah, sebaiknya Zam pergi ke masjid dulu untuk sholat subuh baru kita bahas masalah ini yah. Karena sudah adzan subuh juga sebaiknya Ummah solat dirumah saja jangan ke masjid," ujar Azzam.

"Baiklah kalau begitu, nak, pergilah sana!" Azzam mencium punggung tangan Ummah Zahira lalu berangkat menuju masjid yang tak jauh dari kediamannya. Ummah Zahira sangat bangga pada putra semata wayangnya itu, selain menjadi hafidz qur'an bahkan Azzam sudah menjadi dosen di salah satu Universitas yang ada di Bogor.

****

Sementara ditempat lain seorang gadis baru saja terbangun dari tidurnya untuk melaksanakan solat 5 waktu yang sudah diperintahkan oleh Allah SWT dan Baginda nabi besar kita Muhammad Saw. Sudah tradisi setelah melaksanakan solat subuh, Ara pasti akan membaca Al-Qur'an terlebih dahulu sebelum membantu Ummi menyiapkan sarapan pagi.

Farida yang baru saja selesai melaksanakan solat fardhu langsung berjalan menuju lantai dua dimana kamar Az-Zahra berada. Saat tangannya baru saja memegang gagang knop pintu kamar Ara, suara lantunan ayat suci Al-Quran menggema. Senyum terukir dibibir Farida, betapa bahagianya dia memiliki adik ipar seorang hafizah seperti Az-Zahra. Alangkah bahagianya jika nanti seorang Ikhwan memiliki istri Sholeha seperti Ara.

"Shadaqallahul-’adzim," ucap Ara setelah menyelesaikan bacaan ayat suci Al-Quran. Perempuan itu langsung melepaskan mukenanya dan menaruh kembali Al-Qur'an di rak buku. Pintu kamar Ara tiba-tiba terbuka oleh kakak iparnya yang tengah berdiri di depan pintu dengan senyuman.


"Maa Syaa Allah, solehanya adik ipar mbak, ayo Ara waktunya kita membantu ummi untuk membuat sarapan. Eh iya bukannya hari ini kamu disuruh mengisi acara di masjid Al ikhlas untuk kajian ya?" Tanya Farida pada adik iparnya itu.

"Astaghfirullah al adzim, untung saja mbak Farida ingatkan. Ara saja sampai lupa kalau pas solat Dhuha nanti akan ada kajian di masjid itu, makasih banyak ya mbak karena sudah mengingatkan adik iparmu ini," ucap Ara sambil memeluk Farida.

"Sudah tugas mbak, untuk mengingatkan kamu jika ada salah ataupun lupa seperti saat ini. Karena kalau setelah menikah nanti kamulah yang harus mengingatkan suamimu, dan dialah yang akan membimbing kamu menjadi istri dan ibu yang lebih baik lagi."

Setelah keduanya berbincang, Ara memutuskan untuk ikut membantu ummi membuat sarapan pagi ini. Di dapur sudah ada ummi dengan bahan masakan yang akan dibuat oleh mereka bertiga untuk menu sarapan pagi ini.

Abi Argan memasuki dapur bersama dengan Azka setelah keduanya menuntaskan solat subuh di masjid dan mengikuti kajian subuh setiap hari. Tidak membutuhkan waktu yang lama hanya dengan membuat menu sarapan pagi yang simple, ummi, Ara, dan Farida mulai menyajikannya di meja makan. Farida dan ummi mulai menuangkan makanan di piring suaminya masing-masing, sementara Ara menuangkan air kedalam gelas yang kosong dan menyajikannya.

"Ara, bagaimana jawabanmu untuk pinangan itu?" tanya Abi Argan pada putrinya itu.

"Bismillahirrahmanirrahim, Ara sudah siap untuk menerima  pinangan dari Ikhwan tersebut, Bi."

"Alhamdulillah, jika Ara sudah mempunyai jawabannya. Hari ini juga biarkan kakakmu yang akan menghubungi Ikhwan tersebut, dan semoga Allah senantiasa meridhoi niat baik kalian berdua setelah khitbah ini yah," ucap Abi Argan sebelum memulai sarapannya pagi ini.

Semua yang ada di meja makan tersenyum bahagia atas kabar bahagia dari Ara, ini adalah langkah awal untuk menuju bahtera rumah tangga dengan menerima pinangan Ikhwan yang belum sama sekali tidak dia kenal. Setelah memantapkan pilihan karena Allah dan memikirkan ucapan dari Jiddan tak lupa kakak iparnya, akhirnya Ara sudah mempunyai jawaban yang tepat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro