Jin : Imagination

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dentingan piano dari Beethoven mengalun di sepenjuru rumah, seorang gadis dengan gaun putih selutut tampak asik menekan tuts-tuts piano di hadapannya menimbulkan nada-nada yang begitu indah.

Aku diam di ujung pintu tak berniat menginterupsi permainannya, begitu dia menyelesaikan permainannya aku hadiahi gadis itu dengan hujan tepuk tangan. Dia menoleh kaget, matanya membulat menatapku lalu beberapa detik kemudian berganti dengan senyuman manis.

"Kau sudah pulang?" tanyanya lembut. Hanna menghampiriku tangannya terulur meraih tas di tanganku sementara sebelahnya lagi menuntunku untuk duduk di kursi.

"Jin, kenapa kau tampak lebih kurus?" ujarnya sambil mengusap pipiku lembut, raut wajahnya tampak khawatir. Aku tersenyum lembut mencoba menghilangkan kekhawatirannya. "Aku baik-baik saja."

"Jin," panggilnya lagi. "Entah kenapa aku begitu merindukanmu. Padahal kita hanya berpisah sebentar, tapi rasanya sangat lama." Aku tersenyum kecil mendengar celotehnya, bagiku dia adalah candu. Andai dia tahu bagaimna aku juga merindukannya setiap hari.

"Aku juga merindukanmu, sebanyak kau merindukan aku." Hanna tersenyum lembut, begitu cantik. Aku merebahkan kepalaku di pahanya, menjadikannya bantal. Perlahan mataku mulai terpejam.

"Jangan tidur disini nanti badanmu sakit."

"Sebentar saja, sebelum aku mandi dan makan malam." Dengan lembut dia mengusap-usap rambutku, bibirnya tak berhenti menggumamkan nada dari lagu kesukaanku, hingga tanpa sadar aku terlelap dalam hangatnya dekap.

"Jin-ah, kenapa kau tidur di sini?"

"Jin-ah ayo bangun, ini sudah waktunya makan malam."

Aku mengerang menahan pusing, rasanya baru saja terlelap kini Hanna sudah membangunkanku lagi.

"Iya, Hanna aku bangun," ujarku acuh tanpa melihat siapa orang yang berada di hadapanku. Aku mengucek-ngucek mataku pelan.

"Hanna? Ini ibumu, bukan Hanna."

Ibuku? Aku membuka mataku menatap wanita paruh baya di hadapanku, matanya menyiratkan luka.

"Maaf Bu, aku tadi mimpi Hanna .... "

"Ini sudah setahun sejak kepergian Hanna, Jin-ah," aku menatap potret seorang gadis dengan gaun pengantin tengah tersenyum begitu lebar. "Tapi rasanya masih seperti kemarin, Ibu."

Mataku memerah menahan tangis, lagi ingatan tentang kecelakaan setahun lalu berdatangan dalam ingatan. Rasanya masih sepedih dan sesakit waktu itu. Rasa bersalah tak urung pergi dan berlalu. Malah diam dalam dada bergumul menjadi satu.

"Ikhlaskan dia Jin-ah, kau harus merelakannya agar dia bisa tenang." Aku menangkup wajahku yang sudah basah dengan air mata, jika saja aku tidak lalai dalam menjaganya kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi. Andai saja melupakan bisa semudah itu, mungkin bukan hal yang sulit untukku melakukannya.

"Kecelakaan itu salahku, Bu. Bagaimana aku bisa melupakannya semudah itu?"

"Apa yang terjadi adalah takdir Tuhan, termasuk kau yang tidak berjodoh dengannya, kumohon Jin-ah kau harus bangkit."

Ibuku pergi setelah mengucapkan nasehatnya. Ia sempat mengelus punggungku sekedar memberi semangat.

Aku tatap kembali potret Hanna, "Kau adalah takdirku, aku pastikan itu. Kau hanya perlu sabar menunggu." Tapi gadis dalam potret itu hanya tersenyum tanpa menjawab semua perkataanku, "Tunggu aku sebentar lagi saja. Aku akan datang padamu."

"Hanna, I miss you."

Karena yg bkin sakit itu kita rindu sama seseorang yang wujudnya sudah tidak ada 😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro