19. LDR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

H-2 sebelum pulang, Deli dan relawan lain harus mengerjakan laporan akhir mereka sampai tengah malam. Untungnya mereka bisa fokus pada hal tersebut karena kegiatan khusus mereka sudah berakhir di bidangnya masing-masing seperti Deli, dia sudah tidak mengajar lagi di balai desa.

Hal yang cukup berat dalam pembuatan laporan adalah mereka harus menulisnya dengan tangan dan membutuhkan waktu yang cukup lama.

"Del, pinjem penghapus dong," ucap Ara karena ada satu kata yang salah dia tulis.

"Nih." Deli menyerahkan penghapusnya tanpa melihat wajah Ara, perempuan itu begitu fokus untuk menulis laporannya tanpa peduli dengan sekitar.

"Udah sampe mana laporan kamu?" tanya Ara lagi setelah diabaikan oleh Deli.

Pertanyaan itu berhasil menyita perhatian Deli yang langsung mengangkat wajahnya. Sebelum menjawab, perempuan itu meregangkan tubuhnya karena terlalu lama membungkuk.

"Udah mau selesai nih," jawab Deli dengan perasaan sedikit lega, mata perempuan itu kemudian melirik pekerjaan Ara. "Punya kamu udah sampe mana?"

"Masih agak banyak sih punya aku. Kayanya malam ini belum selesai deh."

"Seriusan? Bukannya kemarin kata kamu tinggal kesimpulan?"

"Harusnya gitu, tapi kan ada tambahan gara-gara Ibu Aini datang kemarin malam."

Aini adalah perempuan paruh baya yang menjadi tetangga mereka. Beliau tiba-tiba datang kemarin karena merasa sakit di bagian perutnya. Ara hanya bisa memberi obat pereda rasa sakit dan menulis penyakit Aini di laporannya agar bisa ditindak lanjut nantinya.

Laporan yang mereka buat akan diberikan pada perusahaan tempat Sean bekerja dan nanti akan ditindaklanjuti, terutama laporan Ara mengenai kesehatan warga desa dadak.

"Ya udah, pelan-pelan aja bikinnya. Atau mau aku panggilan Ares buat bantuin?" tanya Deli dengan tujuan menggoda Ara. Kedua alis perempuan itu juga bergerak naik turun sembari tersenyum lucu.

"Apaan sih!" balas Ara sembari memukul pelan tubuh Deli. Wajahnya sedikit memerah mendengar ucapan temannya itu.

Selama ini, Deli sering kali menggodanya dan Ara terus bersemu akan tindakan tersebut.

Interaksi mereka membuat Sean yang baru saja datang penasaran, pria itu kemudian duduk di antara Deli dan Ara. "Lagi ngomongin apa sih? Kok kayanya seru banget?"

"Nih, pacar kamu. Suka banget godain aku," adu Ara dengan wajah cemberut.

Bukannya merasa bersalah, Deli malah tertawa menanggapi kekesalan Ara padanya.

Sean yang berada di antara mereka hanya bisa tersenyum tipis dan langsung memegang tangan Deli. "Udah, Yang. Jangan digodain terus," ucap Sean dan Deli langsung menghentikan tawanya.

"Ih apaan sih, kenapa manggil gitu di depan Ara," bisik Deli yang langsung membuat Sean menatap Ara.

"Dia-kan temen kamu, emangnya nggak boleh?"

Memotong pembicaraan Sean dan Deli, Ara berucap dengan wajah menggoda sama seperti yang Deli lakukan padanya. "Ciee, udah manggil sayang-sayangan."

"Enggak kok!" bantah Deli dengan cepat.

"Ya udah sih, nggak usah nge-gas gitu ngomongnya."

Setelah puas bertengkar, Deli dan Ara kembali menyelesaikan laporan mereka dibantu dengan Sean. Pria itu terlihat begitu fokus memberi arahan kepada kedua perempuan di sisinya walau harus menahan kekesalan di benaknya.

"Udah ngerti kan?" tanya Sean dengan penuh penekanan. Namun, tiba-tiba Deli menggeleng pelan. "Belum ngerti?"

"Belum hehe." Deli tertawa kikuk di akhir pembicaraannya karena tau Sean tengah kesal. Dia masih bingung dengan kesimpulan yang Sean maksud dan tidak mau mengerjakan jika masih belum paham.

"Ya udah, besok aja dilanjut. Kepala aku ikutan pusing."

"Ih kok gitu. Nanti nggak selesai lagi."

"Dahlah, gampang itu."

Tidak ingin kekesalan semakin meningkat dan tidak dapat dia tahan lagi, Sean memutuskan untuk keluar dari rumah dan duduk di teras.

Di sana, dia bertemu dengan Ares yang tengah asyik merokok sembari minum segelas kopi.

"Minum, Mas," tawar Ares sembari mengangkat gelas kopinya yang sudah tinggal setengah.

"Makasih tawarannya, tapi saya nggak bisa minum kopi."

Ares mengangguk-anggukan kepalanya pelan sembari kembali menyeruput kopi. Apa yang dilakukan pria itu tak luput dari perhatian Sean.

Pandangannya kemudian beralih pada rokok yang terjepit di antara telunjuk dan jari tengah Ares. "Saya baru tau, kamu ngerokok."

Mendengar ucapan Sean, Ares kemudian mengangkat rokoknya. "Iya nih, Mas. Kepala saya lagi mumet jadinya ngerokok, tapi nggak sering kok."

Sean yang paham jika Ares tengah memiliki masalah memutuskan untuk mengunci rapat mulutnya. Dia tidak ingin pria di sisinya itu semakin kesusahan.

Cukup lama keduanya terdiam dengan pikiran mereka masing+masing-masing, Ares yang sedikit gelisah kemudian mengalihkan pandangannya, melirik Sean yang asyik menatap jauh ke depan. "Mas," panggilnya dan Sean langsung menoleh.

"Iya, kenapa?"

"Bentar lagi kan kegiatan relawan kita selesai. Gimana hubungan Mas Sean sama Deli?"

Senyum Sean memudar setelah mendengar pertanyaan dari Ares dan melihat hal itu, Ares langsung menyadari kebodohannya. "Astaga, maaf Mas. Saya nggak ada maksud apa-apa kok."

Sean menghela napas pelan sebelum menjawab ucapan Ares. Sebenarnya dia tidak mau memikirkan hal ini, tetapi semakin lama dia sadar bahwa hal itu adalah suatu yang cukup besar.

"Nggak pa-pa kok, Res. Saya ngerti maksud kamu." Sean menjeda ucapannya untuk memikirkan jawaban yang tepat untuk dia sampaikan pada Ares. "Hmm, jujur sampai sekarang saya belum tau apa yang perlu saya lakuin."

"Gimana dengan Deli? Dia udah ada bicarain masalah ini?" tanya Ares lagi, pria itu seakan ingin mengetahui segalanya tentang hubungan Sean dan Deli.

"Nggak ada, Deli nggak ada bicarain masalah ini."

Ares mengangguk pelan, lalu mengalihkan pandangannya lurus ke depan. "Saya aja yang cuman beda kota pusing, Mas, mikirinnya. Gimana sama Mas dan Deli yang beda pulau."

Benar, benar kata Ares. Sean sendiri masih membingungkan hubungannya dengan Deli. Sebenarnya dia tidak masalah dengan hubungan jarak jauh, tetapi bagaimana dengan Deli? Sean tak sanggup untuk menanyakan hal itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro