4. Gotig

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah perjalanan yang sangat lama, mereka sampai di depan sebuah rumah besar. Satu persatu relawan kemudian keluar dari kendaraan tersebut.

Saat sudah keluar dari mobil, mereka serempak meregangkan badan bahkan beberapa orang juga asyik menguap tanpa peduli pada sekitar.

Di tengah kegiatan mereka, Rio tiba-tiba mengeluarkan suaranya. "Karena sekarang sudah gelap, kita harus menginap dulu dan besok pagi langsung pergi ke Desa Dadak."

"Loh, jadi tempat ini bukan Desa Dadak?" tanya relawan salah satu relawan yang bernama Wahyu dari balik tubuh Sean, pria berkacamata yang menguap tadi terlihat begitu lelah dan sangat terkejut dengan penjelasan Rio.

Rio mengangguk pelan walau sedikit berat. Dia tau para relawan begitu kelelahan, tetapi apa yang dia ucapkan adalah sebuah kebenaran. "Iya, kita belum sampai di Desa Dadak. Sebenarnya kita bisa saja pergi sekarang ke sana, tapi ... ."

"Tapi apa, Mas?" potong yang lain, pria bertubuh tambun bernama Ares.

"Kondisi cuaca sedang hujan dan kemungkinan jalanan berlumpur. Takutnya kalau kita paksakan ada masalah selama di perjalanan. Lagi pula kita harus berjalan kaki sampai ke sana."

"Hah! Jalan kaki!" pekik Oci terkejut. Tubuhnya benar-benar lelah sekarang dan jika dipaksa untuk berjalan kaki, dia yakin tidak akan sanggup. "Nggak, nggak. Aku nggak mau jalan kaki sekarang. Kita besok aja ke sananya. Aku capek."

Oci duduk di kursi panjang tepat di depan rumah yang akan mereka tinggali satu malam. Deli dan Ara juga ikut duduk sembari memperhatikan langit yang masih terus meneteskan air.

"Ya sudah, buat temen-temen yang sudah capek. Silakan masuk ya, istirahat. Tapi, buat yang pengen ngopi atau makan. Mari ikut saya ke warkop deket sini."

"Baik, Mas."

Beberapa orang terlihat mengikuti Rio dari belakang dan beberapa lainnya masuk ke dalam rumah untuk beristirahat. Deli dan Ara yang masih duduk di depan rumah saling bertatapan.

"Kamu mau ikut ke warkop atau mau tinggal di sini?" tanya Deli yang membuat Ara terdiam sejenak. Dia perlu memikirkan jawabannya.

"Kayanya aku istirahat aja deh, capek banget soalnya," jawab Ara yang langsung membuat Deli mengangguk pelan.

"Ya udah, kamu masuk gih. Aku ke warkop dulu ya, pengen beli makan. Kamu mau titip apa?"

"Hmm, apa ya. Roti deh kalau ada. Atau air mineral botol."

"Oke deh."

Deli beranjak dari tempat duduknya dan mengejar rombongan Rio dari belakang. Namun karena tidak memperhatikan jalan, tubuh perempuan itu nyaris terjatuh jika tidak ditahan oleh Sean yang berada di hadapannya.

"Ceroboh banget sih!" omel pria itu sembari memperbaiki posisi Deli berdiri.

Dengan senyum kikuknya, Deli menjawab, "hehe. Maaf Mas."

Hanya Deli satu-satunya perempuan yang ikut dalam rombongan Rio untuk pergi ke warkop, perempuan itu benar-benar lapar sekarang. Dia takut sakit magnya kambuh dan memutuskan untuk segera mengisi perutnya yang kosong.

"Pak, saya mau pesen mie kaldu ayam satu tambah telur rebus ya," ucap Deli memberitahu pesanannya.

Bergantian dengan Deli, teman-temannya yang lain ikut memesan termasuk Sean yang hanya memesan teh hangat untuk menghangatkan perutnya.

Deli dan Sean duduk berhadapan. Sayangnya, mereka tidak saling berbincang karena Deli tengah asyik mendengar pembicaraan teman-temannya termasuk Rio yang kini menjelaskan bagaimana kondisi Desa Dadak.

"Di sana, listriknya cuman beroperasi saat malam. Sekitar jam 6 sore sampai jam 12 malam. Kamar mandi dan wcnya juga di luar, jadi saya harap kalian saling membantu ya."

"Siap, Mas."

"Oh iya, satu lagi. Karena kita kekurangan tempat tinggal, jadi kalian harus tinggal satu rumah. Untuk 10 orang. Nggak pa-pa kan ya?"

Semuanya langsung terdiam mendengar ucapan Rio, bahkan mereka saling menatap satu sama lain karena bingung harus merespon apa.

"Tenang, rumahnya besar kok. Seperti lamin gitu. Nggak ada sekat di dalamnya. Kecuali dapur."

"Saya sih nggak masalah, Mas. Tapi nggak enak sama yang cewek-ceweknya."

Serempak tatapan mereka tertuju pada Deli karena dia satu-satunya perempuan yang ikut dalam rombongan tersebut.

Dengan sedikit gugup, perempuan itu pun menjawab. "Saya juga nggak masalah sih sebenernya, Mas. Lagipula, kita sudah dewasa, seharusnya tau bagaimana bertindak. Tau baik dan buruknya. Tapi, saya nggak tau gimana pendapat yang lain."

Rio mengangguk pelan sebagai jawaban. Dia memahami ucapan Deli yang tidak bisa menjawab atas nama teman-teman perempuannya. "Ya sudah, nanti kalau kita sudah kembali. Saya kasih tau mereka."

Satu persatu pesanan mereka datang termasuk mie kaldu milik Deli dan saat mangkuk mie tersebut ditaruh di hadapan Deli, Sean langsung menatap tajam ke arah perempuan di hadapannya tersebut.

"Sudah tau punya mag, masih aja makan mie," sindir Sean yang berhasil menyita perhatian Deli. Perempuan itu bingung bagaimana Sean tau tentang penyakitnya padahal pria itu jelas mendengar dari pembicaraan Deli dan Ara saat di mobil.

"Terserah saya dong, Mas," balas Deli sembari menyeruput kuah mie pesanannya. Mengabaikan Sean yang terus memperhatikannya.

"Kalau tambah sakit, jangan ngeluh ya," ucap Sean lagi.

Walau masih kesal dengan ucapan Sean, Deli tetap menyantap mie pesanannya sampai habis dan setelahnya mereka kembali ke rumah, tempat mereka istirahat.

Deli menjadi orang pertama yang masuk ke dalam rumah tersebut dan langsung mendatangi Ara yang ternyata sudah tidur dengan lelap.

Setelah meletakkan Roti dan sebotol air mineral yang Ara pesan, Deli langsung ikut tidur di sisi temannya itu.

Waktu berlalu cukup cepat, Deli yang masih mengantuk terpaksa bangun karena suara seseorang memanggilnya.

"Del, bangun, kita harus cepet ke Desa Dadak," ucap orang itu yang membuat mata Deli terbuka lebar.

"Emangnya udah jam berapa?" tanya Deli dengan panik.

Sean yang berada di sisinya kemudian menatap jam tangan di pergelangan tangannya dan menjawab, "jam delapan lewat 20 menit."

Deli menghela napas lega saat mendengar jawaban Sean. Namun seketika dia bingung saat melihat tidak ada orang lagi di sisinya, termasuk Ara.

"Loh, yang lain pada kemana?" tanya Deli lagi dengan tak kalah panik seperti sebelumnya.

"Udah pergi, tinggal kita yang terakhir."

"Kenapa baru ngasih tau sekarang, Mas!" bentak Deli sembari bersiap untuk membawa barangnya. Tapi sayang, kopernya sudah tidak ada di sisi perempuan itu. "Loh, kemana koper saya?"

"Udah dibawa sama yang lain. Kita tinggal pergi aja."

Walau sedikit heran, Deli tetap mengikuti Sean yang berjalan keluar dari rumah tempat mereka menginap semalam.

Di depan rumah sudah ada sebuah motor yang menyala dengan pria di atasnya. "Ayo, Mas, Mbak. Nanti kita telat sampe sana," ucap pria itu.

Dahi Deli mengerut bingung karena hanya satu motor dan masih ada Sean yang juga belum pergi.

Melihat raut wajah Deli, Sean yang paham kemudian menjelaskan dengan singkat. "Nggak usah bingung, motornya emang cuman satu. Biar nggak kelamaan, kita barengan naik motornya."

"Hah, gonceng tiga?" tanya Deli dan Sean langsing menganggukkan kepalanya.

Tidak ada pilihan yang bisa Deli ambil selain ikut naik ke atas motor yang sudah menunggu mereka. Setelah Deli naik, Sean juga ikut naik dan langsung memegang bahu pria yang membawa motor.

"Jalan, Pak."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro