Accomplish (20a)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by verlitaisme

Kulempar pandangan ke luar jendela besar transparan yang sengaja dibuka gordennya. Dari sofa tempatku duduk, terlihat jelas jalanan yang mulai merayap di bawah sana. Jakarta yang tidak pernah sepi.

Suara langkah dari arah samping, membuatku menoleh. Menengadah, kutemukan Elara yang terbalut kebaya merah, sedang berdiri di ambang pintu.

Sejenak, seakan lupa cara bernapas, kutatap lekat pesona yang menguar memanjakan mata. Elara, dia sungguh berbeda hari ini.

"El." Aku memanggil dengan gentar yang tertahan. Bangkit berdiri, kulangkahkan kaki ke arahnya. Berhenti hanya selangkah di depan, menikmati cantik yang tersaji di depan mata. "Cantik," gumamku.

Elara tidak merespon beberapa detik, sebelum akhirnya senyum melebar di wajahnya yang bersemu.

"Terima kasih," sahutnya.

"Hmm," gumamku, sambil meraih tangan kanannya untuk kukaitkan ke lengan kiriku. Kemudian membimbing Elara menuju pintu keluar. Melewati sofa, kuraih jas berwarna krem yang tersampir di punggung sofa, tanpa menghentikan langkah.

"Jam berapa akadnya?"

"Jam sepuluh, Pak."

"By the way, saya kebayaan, kok Bapak malah pakai jas? Batiknya mana?" Elara bertanya dengan keheranan.

"Ck." Aku berdecak. "Enggak punya, enggak level."

💕💕💕

Kami memasuki pelataran gedung yang lumayan mewah. Sudah mulai ramai. Elara berjalan sedikit tergesa, namun tidak bisa terlalu cepat. Kain yang membalut bagian bawah tubuh sedikit menghalangi langkahnya.

Dengan sengaja aku berjalan di belakangnya. Mengamati lekuk tubuh yang lumayan juga dalam balutan kain dan kebaya. Pinggulnya melenggak-lenggok, sementara kakinya mau tidak mau harus berjalan lurus layaknya robot.

"Pelan-pelan saja," kataku ketika melihatnya nyaris tersandung kaki sendiri.

"Sudah nyaris terlambat, Pak. Mau ketemu Vivian dulu sebelum akadnya mulai." Elara berkata tanpa menoleh, sementara kakinya terus melangkah.

Aku hanya mengamati, memperhatikan langkahnya yang semakin cepat. Mau tidak mau aku juga melangkah lebih cepat, tetap di belakangnya, menikmati pinggul yang bergoyang-goyang.

Dan benar saja dugaanku, kakinya benar-benar tersandung kakinya yang lain. Tubuhnya condong ke depan. Usahaku meraih tubuh itu sia-sia, tapi sepertinya dia tidak benar-benar jatuh. Tubuhnya seakan melayang. Kutatap siapa yang menangkap tubuhnya, dan berdecak ketika mengetahui siapa orangnya.

"Kamu enggak apa-apa?"

Si sok perhatian.

"Enggak apa-apa."

Yang sok diperhatiin.

"Makasih," kata Elara lagi, lalu terlihat cepat melepaskan diri dari tangan Nathan. Dengan ragu dia menoleh ke belakang, menatapku yang sedang memperhatikan tindak-tanduknya.

"Rigel?" Nathan terlihat terkejut. Namun kuabaikan. Malas berbasa-basi dengan dia si tidak penting.

Aku melangkah maju, berdiri bersisian dengan Elara dan menekuk lengan di sebelahnya. "Ayo, El."

Thanks God, kali ini dia tidak membantah. Tangan kurusnya segera meraih lenganku, mengait dengan sempurna di sana. Kemudian kami melangkah bersisian, melewati Nathan yang terlihat memerah wajahnya.

Emosi? Rasakan!

💕💕💕

Proses akad berjalan khidmat. Kulihat beberapa kali Elara mengusap air matanya, ketika masing-masing mempelai mengucap janji setia.

"Kenapa nangis?" tanyaku berbisik.

"Terharu, Pak." Dia sedikit terisak.

Keningku berkerut. Apanya yang bikin terharu? Tidak ada jaminan bahwa mereka akan bersama sampai mati. Sudah banyak contohnya. Janji itu akan seperti sumpah serapah dalam beberapa tahun ke depan. Entah siapa yang akan memulai, tapi ... jangan percaya cinta.

"Cengeng!" umpatku tertahan.

Elara menatap ke arahku, matanya basah, terlihat tidak terima dengan apa yang didengarnya. Kurogoh saku jas, mengeluarkan sapu tangan dari sana, dan menyodorkan ke arahnya.

"Lain kali, pakai hitam-hitam di mata yang waterproof. Tuh, luber nyaris ke pipi."

Wajah Elara terlihat panik. Direbutnya sapu tangan dari tanganku, lalu dengan sigap mengambil kaca kecil dari dalam tasnya.

"Aduh! Beneran luntur maskaranya, Pak," keluhnya sambil menyeka pelan bagian bawah mata.

Aku hanya berdecak, kembali mengalihkan pandang ke arah pasangan yang sedang sungkem ke orangtua di tengah ruangan.

Ketika kulempar pandangan ke arah lain karena bosan, tanpa sengaja mataku bersirobok dengan Nathan. Dari kejauhan terlihat dia menatap dengan tidak suka. Membuatku dengan sengaja menggeser duduk lebih rapat ke Elara, sampai lengan kami bersentuhan. Membuat Nathan memalingkan wajah dengan sebal. Dengkus puas lolos dari bibirku.

"Saya harus ke toilet, Pak. Berantakan banget." Elara bangkit dari duduk, kemudian melangkah melewatiku. Kubiarkan saja. Aku masih menatap sepasang manusia di depan sana, yang terlihat sesenggukan sambil bersimpuh di hadapan Ibu si Vivian. Drama!

Ini benar-benar membosankan. Elara juga sepertinya sudah pergi terlalu lama ke toilet. Kuedarkan lagi pandangan, dengan sengaja menatap ke arah di mana Nathan seharusnya duduk. Dan dia ... tidak di sana!

Berengsek!

Seluruh kudukku meremang, berharap apa yang ada di benak saat ini tidak menjadi kenyataan.

Dengan gelisah aku bangkit, melangkah pelan keluar ruangan. Sesampainya di luar, kepalaku bergerak mencari. Menemukan palang yang menunjukkan lokasi toilet, kakiku bergerak sesuai petunjuk.

Tidak ada Elara di depan toilet. Kuputuskan untuk menunggu tidak jauh dari sana. Lima menit berlalu, tapi Elara tidak juga muncul. Kesal, langkahku mendekat.

Ternyata ada lorong tersembunyi yang membatasi toilet pria dan wanita. Kuperhatikan, koridor itu sepertinya tembus sampai ke halaman belakang.

Maka, kakiku bergerak membelah lorong itu. Sampai di ujungnya, telingaku langsung menangkap suara serak nyaris terisak. Menoleh ke arah kiri, Elara terlihat sedang berusaha menarik paksa tangannya dari genggaman Nathan.

Kutelengkan kepala, mencoba mencuri dengar lebih lekat topik pembicaraan mereka. Karena kupastikan Elara tidak terlihat nyaman, sementara Nathan terlihat sedikit memaksa. Mereka berdebat, aku yakin. Sangat serius. Sampai-sampai tidak menyadari aku yang melangkah semakin mendekat.

"Apa yang kamu lakuin sama Rigel, Elara?!"

Kuhentikan langkah saat pertanyaan terlontar dari mulut Nathan.

"Bukan urusan kamu, Nath!" Elara terlihat berkali-kali mencoba menarik tangan yang tercengkeram.

"Jangan jadi murahan, El!"

Kupejamkan mata erat. Mencoba menetralisir amarah yang mulai menjalar.

Sialan, Nathan! Beraninya memperlakukan Elara seperti itu.

Mataku pelan membuka. Bersamaan dengan Nathan yang terlihat mulai menyudutkan Elara rapat di dinding. Kedua tangan perempuan itu diangkatnya naik di atas kepala. Dikunci di sana.

Kakiku melangkah cepat, menarik pundak Nathan sebelum wajahnya rapat di wajah Elara.

Belum sempat rasa kejutnya hilang, satu bogeman keras sudah kulayangkan di wajahnya. Nathan terdorong mundur, untungnya tidak sampai jatuh. Elara menjerit di belakang punggung. Tidak kuhirau. Aku hanya terlalu marah.

"Sialan!" Nathan mengumpat sambil mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Ada sedikit yang menetes sampai ke kerah kemeja batiknya.

"Lo enggak pantes ada di sekitar gue dan orang-orang gue, Nath!" Napasku memburu.

Nathan tersenyum menghina. "Orang-orang lo?" Tawa nyaris lolos dari mulutnya. "Kenapa enggak lo ambil lagi aja perempuan sialan itu? Dia juga enggak pantas berada di sekitar gue dan Bapak gue, Berengsek!"

Tanpa bisa kucegah, satu lagi bogeman melayang di pipinya yang satu. Pas! Kedua ujung bibirnya terluka sekarang. Namun kali ini Nathan tidak diam, dia melawan. Satu hantaman juga melayang di hidungku. Sempat membuat mata berkunang sesaat saking kerasnya. Ada rasa hangat yang mengalir di atas bibir. Kuseka. Dan menemukan darah di telapak tangan.

Sialan!

Masih terhuyung ketika kudengar dia berkata, "Najis buat gue untuk jadi saudara lo, El!"

Tanpa ampun satu pukulan kulayangkan lagi ke hidungnya. Dia terkapar sekarang, jatuh kebelakang. Elara menjerit. Perempuan itu berlari menghampiri Nathan, bersimpuh di sebelahnya.

Sialan, Elara!

"Gue yang najis jadi sodara lo, Nath. Sampai kapan pun, kita enggak pernah bakal jadi sodara. Ambil aja perempuan sialan yang katanya udah jadi Ibu lo itu. Gue enggak terima barang bekas!" Kulempar pandangan ke arah Elara yang terlihat berusaha membangunkan Nathan yang kepayahan.

Berengsek, Elara!

Dengan denyut di dada, aku berbalik. Melangkah tergesa menyusuri lorong di antara toilet.

Ada yang salah dengan hati. Nyerinya sungguh terlalu. Mengetahui Elara lebih memilih bersimpuh di sisi Nathan, dan tidak berdiri di sebelahku. Ada ego yang terluka, hati yang menjerit.

Langkah terhenti ketika sebuah tangan menarik pergelangan tanganku. Menunduk, terlihat tangan kurus itu menggengam erat. Aku menoleh, Elara ada di sana. Hitam-hitam di matanya yang tadi luber akibat terharu saat akad Vivian, bertambah parah hancurnya.

"Biar saya obati luka Bapak," bilangnya dengan wajah cemas.

Aku terdiam. Mencoba menyimak apa maksud perkataannya. Menghela napas dalam-dalam, ada kelegaan menguar. Elara, dia ada bersamaku.

"Kamu belum bersihin hitam-hitam di mata kamu, El," kataku, lalu menyungging senyum di bibir.

Entah apa yang harus kulakukan padamu, Elara. Pantaskah kamu berada di sisiku? Atau ... pantaskah aku, berada di sisimu?

To be continued.

Author's speaking :

Hai! Terima kasih untuk kebaikan hati kamu yang mau membaca cerita ini sampai sekarang. Part depan, akan menjadi part terakhir yang bisa kamu baca di WP dan KBM. Lalu? Lalu ... bisa kamu lanjutkan di versi novelnya.

Aku dan Mbak Verlitaisme senang sekali bisa membagi cerita ini bersama kalian. Untuk semua votes, semua comments, dan semua shares ... kami sangat berterima kasih untuk dukungan yang kalian berikan.

Jangan lupa nabung untuk novel pasangan ini ya. Sebentar lagi mau Open PO soalnya. Masih panjang cerita tentang Rigel dan Elara yang akan kami bagi di sana.

Terima kasih! Sampai ketemu hari kamis!
💕

Love,
Verlitaisme

💕

By the way, kemarin ada yang baca part 21? Selamat buat kalian karena dapat spoiler versi novelnya.🤣 Semoga author next time bisa hati-hati biar enggak kejadian kayak gitu lagi, ya. Dan please, jangan ada yang spoiler ke yang lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro