Accomplish (20b)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Written by verlitaisme

Aku duduk di tepian ranjang. Sementara Elara mengompres luka di hidungku, dengan es batu yang dibalut handuk kecil.

"Bapak nanti enggak usah ikut resepsinya. Istirahat saja di sini," katanya, melirik ke arahku.

Kuhela napas kasar, lalu meringis. Bahkan bernapas dengan lebih keras saja membuat hidung ini terasa nyeri. Elara mengulum senyum, membuat debar menari-nari. Kalau saja mau, aku bisa langsung membantingnya ke atas ranjang untuk dilumat habis. Namun, aku urung.

"Aku ikut resepsinya," ujarku datar.

Elara diam saja, dia menarik kompres es dari hidungku. Dipindainya hidung dengan seksama, sebelum mengangkat kepala menatapku.

Kami sempat terdiam beberapa saat, menyadari bahwa jarak wajah kami yang terlalu dekat. Sigap, Elara menarik wajahnya menjauh.

"Sudah enggak terlalu bengkak, Pak."

Aku mengangguk sembari menyentuh hidung, yang memang sudah tidak sesakit tadi.

"Bapak istirahat saja, ya." Elara bangkit berdiri.

"Kamu saja." Aku turut bangkit.

Lagi, kami berdua berdiri berhadapan dengan jengah. Tanpa dikomando, bersamaan menoleh ke arah ranjang ukuran king size yang terlihat nyaman untuk ditiduri.

"Ck." Aku berdecak. "Kenapa kamu enggak sewa satu kamar lagi sih, El?" keluhku, menyalahkan Elara yang hanya menyewa satu kamar hotel untuk kami berdua, pasca insiden adu jotos tadi.

"Saya enggak butuh istirahat. Bapak yang butuh. Abis perang, 'kan, tadi? Pasti lelah. Sudah Bapak tiduran saja."

Aku menoleh ke arahnya. Elara terlihat masih mengenakan kebaya merah, dan sepertinya tengah bersiap, entah mau ke mana. Yang pasti dia sedang sibuk dengan ponsel di tangan.

"Mau ketemu Nathan? Mau rawat dia juga?" tuduhku gusar.

Elara mendongak. "Mau pesan taksi online, Pak."

"Buat?"

"Ambil gaun buat resepsi nanti. Ketinggalan di apartemen." Dia menunduk lagi, berkutat lagi dengan si ponsel. Kurebut benda pipih itu dari tangannya.

Elara menatapku dengan bingung, sebelum tangannya menggapai-gapai, berusaha merebut ponsel dari genggamanku. Sengaja kuangkat tangan naik, dia bahkan tidak akan sanggup menggapai meski melompat-lompat tidak karuan.

"Akan kuminta Dean mengambilnya di apartemen." Toh, apartemen itu sudah tidak jadi rahasia lagi.

Elara berhenti melompat, hanya menatapku dengan bibir mengerucut. Kuserahkan ponsel kembali padanya. "Kamu tenang saja di sini. Terima kasih sudah mengobati lukaku, Elara Calista."

Terlihat matanya mengerjap sekali, bisa jadi dia tidak yakin dengan yang didengar barusan. Namun, tidak ada bantahan apa pun. Tenang.

💕💕💕

Akhirnya Elara keluar juga dari walking room yang memang tersedia di kamar yang kami tempati. Sejenak aku terkesiap. Pemandangan yang muncul kali ini, sepuluh kali luar biasa dari yang kulihat tadi pagi. Gaun maroon dengan kerah sabrina yang menggoda. Cantik yang elegan. Menggoda sesuai dengan porsinya.

Syukurlah tadi Dean langsung beranjak pergi setelah men-drop gaun. Jadi, aku tidak perlu berbagi keindahan ini dengannya.

Kupalingkan wajah, berpura-pura sibuk dengan jam tangan setelah sebelumnya membiarkan ke dua tanganku lolos dalam balutan jas abu-abu tua yang membalut kemeja magenta yang kukenakan.

"Sudah siap?" tanyaku, masih sibuk dengan jam tangan yang sebenarnya sudah terpasang dengan tepat.

"Belum," sahut Elara, membuatku menoleh. Apalagi yang kurang dari tampilan sempurnanya malam ini?

Elara beranjak ke arah meja kerja yang ada dalam kamar ini. Membuka lacinya dan mengeluarkan selembar benda tipis dari dalam sana. Kutilik, dan mendengkus. Itu plester luka transparan.

"Ini enggak bakal kelihatan, Pak. Dari pada nyeri terus menerus," ujarnya sambil menempel plester di hidungku.

Aku diam saja. Tidak membantah. Lebih berusaha mengontrol debar yang belakangan ini sulit terkendali.

"Sudah siap sekarang, Pak." Elara tersenyum.

Berdeham, kuraih kunci mobil di atas meja lalu melangkah mendahului Elara. Di belakang, terdengar derap stiletto, berusaha mengimbangi langkahku.

Apa yang harus kulakukan dengan kita, Elara? Rasa ini ... asing.

💕💕💕

"Thanks for coming, Elara. Thanks for being my bridesmaid!" Vivian, si pengantin, terlihat ekstra bahagia. Mereka saling mengecup di pipi. Sementara aku dan si mempelai pria saling berjabat tangan.

"Siapa?" Kudengar Vivian bertanya dengan berbisik. Namun tetap saja terdengar karena jarak kami yang dekat.

"Rigel Devara." Aku yang menyahut, mengulurkan tangan ke arah Vivian.

"Rigel? Devara Developer?" Vivian menjabat tanganku dengan antusias. Aku menjawab dengan senyum. "Wow!" katanya lagi sambil melirik ke arah Elara.

"Atasan gue." Elara terlihat kikuk. Senyum yang kupasang, segera pudar. Kutarik tangan dari Vivian, meminta izin pada keduanya untuk menuju ke stall minuman.

Berdiri di sisi stall sambil mengait segelas sampanye di tangan. Mataku menjelajah. Sesekali tersenyum pada orang-orang yang ternyata mengenaliku. Bisa jadi, karena beberapa kali wajahku memang muncul di berbagai majalah, sebagai salah satu dari lima puluh pengusaha muda sukses se-Indonesia.

Sampai tiba-tiba seorang perempuan mendekati. Aku ingat, meski tidak terlalu yakin. Itu Jessica, si pirang dengan contact lense biru yang dulu pernah Mama kirim ke rumahku. Lalu, untuk apa dia ada di sini?

"Rigel?" Dia menyapa dengan senyum mencemooh. "Long time no see ...." Diulurkannya tangan, tapi kuabaikan. Kupalingkan wajah sembari mencari sosok Elara. Mengabaikan tampang yang saat ini mungkin sedang mencibir karena kecewa.

"Nyari siapa?" tanyanya lagi mengambil tempat, berdiri bersisian denganku.

"Bukan urusanmu." Di mana Elara?

"Ahh ... aku tahu!" Jessica terdengar berisik. "Kamu mencari si perempuan murahan yang waktu itu kulihat di rumahmu, ya?"

Seketika aku meremang. Menoleh penuh peringatan ke arah si perempuan tanpa sopan santun.

"Kalian sudah tidak tinggal di rumahmu, ya? Karena aku sempat datang lagi, tapi kamu enggak ada." Dia bicara merajuk, sok manja, sok dekat-dekat, nempel-nempel. Menjijikkan.

"Kamu memang tidak pernah diundang, dan tidak akan pernah." Kuletakkan gelas pada meja, lalu meninggalkan Jessica begitu saja.

Aku mencari ke setiap sudut ruang. Mencari Elara. Tidak menemukannya di sudut mana pun. Sampai akhirnya ketika aku menyerah dan melangkah ke halaman, kudengar isak dari sisi gedung.

"Apa yang kamu lakukan dengan Rigel, Elara?!"

'Nathan.'

Aku mempercepat langkah, berbelok, dan menemukan Elara yang berdiri rapat pada tembok sambil menangkup wajah dengan ke dua tangan. Sementara Nathan berdiri di depannya sambil menunjuk-nunjuk layar ponsel.

Pada saat itulah aku sadar, foto yang kukirim kepada Nathan tempo hari, menjadi bumerang yang mempermalukan Elara sekarang.

Cepat kuhampiri Elara, mendorong Nathan menjauh, menarik tangan si kurus hingga perempuan itu mengikuti sambil tersuruk-suruk. Kuabaikan Nathan yang memaki di belakang.

'Kita akan selesaikan hari ini, Elara. Semua akan selesai malam ini juga.'

💕💕💕

"Anda membuat saya malu, Pak. Anda benar-benar menghancurkan harga diri saya. Saya tidak terima Bapak menyebar foto itu ke Nathan. Itu memalukan!"

Elara yang sudah duduk di sofa apartemen, terlihat hancur berantakan. Hitam-hitam pada mata yang disebutnya dengan maskara, luntur membanjiri pipi, bercampur dengan air mata.

Kurogoh saku jas, tapi tidak menemukan apa yang kucari. Kemudian teringat, kalau sapu tangan sudah kuberikan pada Elara pada saat akad tadi.

"Memalukan! Anda tidak bisa memperlakukan saya seperti ini, Pak!"

Hatiku teriris. Perasaan aneh ini lagi. Rasa sakit melihat dia yang menangis. Dia yang berkali-kali terluka karena aku.

Kutinggal Elara menuju kamar. Beranjak menuju meja kerja dan membuka laci paling atas. Selembar kertas yang pernah kami tandatangani ada di sana. Lama kutatap, sampai akhirnya teraih dengan mantap pada genggaman.

Dengan langkah seringan mungkin, aku kembali ke ruang depan. Tempat di mana Elara masih terisak sambil menangkup wajah.

Beberapa saat aku berdiri di hadapannya. Mengamati seseorang yang sudah kulukai, berderai dengan air mata dan isak kesakitan.

Luruh juga aku di hadapannya. Menekuk ke dua lutut di hadapan perempuan yang sering kusebut dengan bawahan. Menarik kedua tangan yang menutup wajah itu, menatap paras basah yang luntur riasannya.

"Elara," bisikku. "Sudah selesai." Kuangkat lembaran kontrak yang tadi kubawa. Merobeknya menjadi potongan kecil tanpa bentuk.

Elara tercengang. Menatap serpihan kontrak yang jatuh satu-satu di lantai. Matanya mengerjap berkali-kali, isak masih lolos satu-satu dari bibirnya.

"Kamu bebas. Pergilah malam ini juga, sebelum aku berubah pikiran." Perlahan aku bangkit. Melangkah menuju kamar tanpa berani menatap ke arah Elara lagi. Kututup pintu kamar, dan menguncinya.

💕💕💕

Aku bergeming lama di ujung ranjang. Menatap ke arah jendela besar yang gordennya sengaja kubuka lebar. Kerlap-kerlip Jakarta terhampar luas di depan mata.

Mataku spontan memejam erat, ketika ketukan di pintu kamar terdengar lantang.

"Saya pergi, Pak Rigel."

'Elara.'

Lalu hening. Tidak terdengar apa pun lagi. Kuhitung sampai sepuluh secara perlahan, sebelum akhirnya menghela napas dan membuka mata.

Bangkit dari duduk, langkahku merapat ke jendela. Kuletakkan ke dua tangan ke dalam saku celana. Mengamati jalan di bawah sana. Macet. Seperti biasa. Jakarta.

'Tahan Rigel. Nyeri pada hatimu, bukan cinta namanya. Panas pada matamu, bukanlah tangis yang menggantung.

Semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang namanya cinta. Tidak ada yang namanya patah hati. Kamu telah patah, hancur, sejak lama. Tidak ada lagi keping yang tersisa.

Jadi, tidak akan ada yang namanya tangis karena kehilangan. Karena sejak awal, kamu memang tidak pernah memiliki.'

-End-

Yeayy! Akhirnya cerita ini selesai. Enggak puas? Beli novelnya, ya. Sudah tersedia dalam bentuk cetak dan ebook

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro