Stunned(19b)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kaki mengarah pada satu sudut ruang yang di lantainya terdapat tiga matras yoga. Ada dua bola gym juga. Kupandangi dua jenis benda itu bergantian. Lalu menatap diri dari pantulan dinding kaca di hadapan. Kupegangi lengan, pinggang, serta paha. Sepertinya lemak enggan menempel di tubuh. Senyumku terkembang, tapi langsung terhenti saat melihat Rigel dari kaca, berdiri di belakangku. Entah sejak kapan dia di sana.

Malas. Kupalingkan wajah, lalu berbaring pada matras. Berniat untuk melakukan gerakan abdominal crunch. Namun, mata membelalak saat mendapati Rigel berdiri begitu dekat denganku. Dan semakin terkejut saat dia tiba-tiba merangkak perlahan di atasku.

"Ba-Bapak mau apa?!"

Kepalaku menoleh ke kanan dan kiri. Rigel meletakkan kedua tangannya di sisi lenganku, sekaligus untuk menumpu tubuh. Lagi, kutatap wajahnya yang sekarang tepat berada di atasku.

"Aku mau push up, El."

"Tapi tidak perlu dengan posisi kayak gini, Pak!"

Demi apa pun, aku bergetar! Gugup sekali saat melihatnya dari bawah sini, sekaligus benci. Mengingatkanku pada malam terkutuk yang pernah kami lalui. Mengingatkanku pada tangis dan perih tertahan malam itu.

Rigel tak memedulikan ucapanku. Dia bahkan sudah mulai push up, hingga saat tangannya tertekuk, wajah kami benar-benar dekat. Bibir kami mungkin hanya berjarak dua sentimeter saja.

Kupukul dadanya, tapi dia tetap melanjutkan aktivitas disertai seringai menjengkelkan itu. Menyerah. Kuletakkan kedua tangan di sisi tubuh.

"Memang kenapa kalau posisinya seperti ini, El?"

Si tidak peka! Masih juga dia bertanya.

"Bikin malu tahu enggak, Pak?!"

Kesal. Kumajukan bibir dan menutup mata. Namun, refleks terbuka saat Rigel mengecup sekilas bibirku.

"Mesum," desisku seraya memukul dadanya lagi.

Dia terkekeh dan tetap asyik dengan push up-nya. Seakan berpikir kalau ini adalah ruang pribadinya. Ckckck.

"Kenapa seharian ini kamu menghindariku?"

"Hanya perasaan Bapak saja."

Wajahku terasa panas. Tak tahan menatap mata tajamnya, kubuang wajah ke sisi kanan. Tapi kembali kami bertatapan ketika satu tangan Rigel memegang dan menggerakkan daguku. Dia kini bertumpu hanya dengan satu tangan.

"Sudah dua bulan," katanya dengan embusan pelan. Matanya tertutup sejenak, sebelum kembali menatapku. Sebuah tatapan yang tak bisa kuartikan apa maksudnya.

Benar. Tak lama lagi semua akan selesai. Aku akan mendapatkan kebebasan penuh. Tidak ada lagi Rigel Devara.

"Seperti apa rasanya disayangi dan menyayangi dengan sepenuh hati, El?"

Kutarik napas dalam dan mengembuskan pelan. Meresapi kerinduan yang tiba-tiba menyeruak. Ayah, Bunda, dan Bams. Dengan sepenuh hati aku menyayangi mereka. Namun, pada akhirnya tetap saja tak bisa melawan takdir.

"Rasanya menyenangkan, Pak. Bapak akan semangat untuk pulang ke rumah karena ada seseorang yang nunggu dan siapin makanan yang sudah dibuat dengan penuh sayang."

Mata Rigel menyipit, tapi tak lama kemudian, senyumnya terbit. Seakan baru saja menemukan sesuatu.

"Berarti kamu sayang aku sepenuh hati?" Lalu, daguku dia kecup. Sementara aku, tertegun.

"Eh? Maksud Bapak?"

Keningku mengerut. Tidak paham ucapan si menyebalkan.

"Aku kayaknya selalu semangat pulang, karena kamu nungguin aku dan siapin aku makan malam. Bukannya itu tanda kamu sayang aku sepenuh hati?"

Gubrak! Manusia penuh percaya diri ini datang dari mana, sih? Kenapa dia bisa mampir di hidupku? Duh!

"Pak Rigel, Anda sepertinya perlu ke dokter. Penyakit gede rasa Anda sangat parah."

Kembali dia menekuk kedua tangan, hingga wajah kami berdekatan. Embusan napasnya menjalari wajah. Wangi mint dari mulutnya sungguh segar.

"Aku yang gede rasa atau kamu yang enggak mau mengakui kebenarannya?" Rigel berbisik, lalu terkekeh.

Tolong! Jantung tak tahu diri ini kenapa tiba-tiba berdetak sangat cepat? Rigel ... kenapa selalu saja berhasil menggodaku?

"Enggak lucu candaannya, Pak!"

"Kamu mau yang serius? Oke."

Jawaban Rigel barusan seakan terhapus dari otak saat bibir kami menyatu. Dia menciumku lagi? Astaga! Maka dengan kekesalan yang memuncak, kugigit kuat bibirnya, hingga lumatan Rigel terhenti. Tubuhnya kembali terangkat seraya mengerang.

"Sial, Elara!"

Dia berdiri dengan ekspresi marah yang tak bisa disembunyikan. Tangannya memegangi bibir yang merah. Dan aku menyeringai ke arahnya.

"Siapa suruh Bapak mesum?"

Cepat, dia menarik tanganku dan mengajak keluar dari gym. Genggamannya sangat erat, hingga aku terus saja gagal menyentak.

"Pak!"

Aku memekik ketika dipaksa untuk mengikuti langkahnya yang lebar. Dia berjalan cepat, sampai aku berulangkali berada di posisi belakang dengan tangan yang masih dalam kendalinya.

Kesal, aku kesal padamu, Rigel!

"Kamu harus dihukum karena sudah menggigitku!" ucapnya penuh penekanan.

Mendadak aku jadi kaku. Hukuman. Beberapa kali mendapat balasan atas perbuatanku padanya, itu pasti bukan hal yang baik. Yang ada malah aku tertindas habis-habisan. Dan kali ini, apa yang akan dilakukannya padaku? Argh!

🌺🌺🌺

Kali ini dia berbeda. Entah mengapa. Tak ada hal mesum yang terjadi setelah kami sampai di ruang tamu. Tak ada Rigel yang menyentuh tubuhku seenaknya saja. Dia memintaku untuk mengolesi bibirnya dengan madu. Hanya itu saja.

"Aku bos-mu, bebas memintamu melakukan apa saja." Begitu katanya saat kulayangkan protes, karena merasa dia terlalu manja. Mengoles madu saja harus dilayani.

Aku sedang duduk di sofa, menekuk kedua lutut dan melingkarkan tangan di betis. Menatap malam melalui gorden jendela yang terbuka, sembari memikirkan banyak hal. Lalu, kudengar derit pintu dari kamar Rigel. Disusul derap langkah yang mendekat.

Tak ada minat untuk mengarahkan pandangan padanya. Jadi, aku tetap melihat lurus.

"Belum tidur?" tanyanya.

Kutoleh Rigel sebentar. Dia duduk di sofa single dekat tempatku. Tubuhnya bersandar, sedangkan kaki kanannya bertumpu pada paha kiri.

Apa dia tidak bisa bertanya sesuatu yang lebih berbobot? Melihat mataku terbuka begini, perlukah dia tanyakan lagi?

"Belum, Pak Rigel. Kalau sudah tidur, pasti saya tidak bisa menjawab pertanyaan Bapak."

Senyumku tertahan saat dia mendengkus.

"Tidurlah secepatnya. Aku tidak ingin menunggumu lama dan datang terlambat. "

Tunggu, tunggu. Apa ini? Rigel ingat tentang acara besok? Dia sungguh-sungguh ingin pergi bersamaku?

Segera, aku mengambil posisi menghadap Rigel. Aku mengerjap cepat sembari menatapnya.

"Kenapa melihatku seperti itu?"

Ah! Kepalaku menggeleng cepat, membuyarkan hal mustahil yang barusan sempat terpikir.

"Besok Bapak tidak serius pergi dengan saya, 'kan?"

"Aku bos-mu. Aku berhak ikut denganmu ke mana saja," jawabnya ketus. Kemudian, menatap layar televisi yang baru saja dinyalakan.

Ya, ya, aku tahu dia bos. Tidak perlu diulang terus. Membuat telinga sakit saja. Harusnya jika dia ingin menegaskan kedudukan setiap saat, buat saja tulisan di kening. AKU BOS ELARA.

Aku berdecak, kemudian melipat tangan di dada. Menatap Rigel lagi, karena masih merasa kesal. Tapi, saat wajahnya beralih dari TV, hingga pandangan kami bertemu, aku malah jengah. Kututup wajah dengan bantal kecil yang tadi berada di sebelah kiri.

Tadi, kenapa gerakan Rigel seperti slow motion? Sebuah gerakan pelan yang menimbulkan debar di dada. Lalu, debarnya semakin keras ketika dua manik cokelat itu tertuju padaku.

🌺🌺🌺

Headpiece sudah kupasang pada bagian belakang. Kembali kutatap diri di cermin dengan wajah semringah. Hari pernikahan Vivian tiba, mana mungkin aku tak bahagia?

Sekali lagi kuusap-usap kebaya merah berhiaskan payet batu hitam di tubuh. Semua sudah rapi.

Kuambil sling bag, lalu melangkah keluar kamar. Akan tetapi, aku terpaku ketika mendapati seorang laki-laki berpakaian formal tengah duduk di sofa dengan wajah menengadah.

Langkahku terhenti di ambang pintu demi melihat wajah yang perlahan bergerak tegak.

Rigel, dia yang duduk di sana. Dia memakai kemeja biru langit dipadu dasi dark gray. Pakaiannya tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hanya saja ... pesona Rigel kenapa sekarang sangat terasa?

Tiba-tiba dia melihatku. Bibirnya lantas tertarik ke belakang, seraya bangkit. Aura positif seakan memancar dari dirinya.

"El ...," panggilnya pelan.

Dia mendekat. Dadaku mendadak penuh.

Aku tak bisa memikirkan apa pun. Pandangan hanya terfokus pada Rigel yang kini sudah berdiri di depanku. Wangi parfumnya menguar. Menggugah hasrat untuk selalu berdekatan dengannya.

Penglihatanku bagai penuh oleh bunga warna-warni. Bersamaan dengan Rigel yang masih tersenyum, waktu seperti berhenti sejenak. Hanya agar senyumannya tetap bertahan. Dan akhirnya aku menyadari sesuatu.

Aku terpana.
Aku terpesona.

Cupid telah melepaskan anak panahnya dan tepat mengenai hatiku.

Aku terpanah oleh Rigel.

TBC

Next verlitaisme

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro