Kepulan asap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng









dulu, ketika aku membawa sekotak cairan ini kehadapanya, lalu menghisapnya dan mengunakan fungsinya dengan semestinya di hadapan adji, ekpresinya datar.

tahu sekali pria itu soal ekpresi yang paling aku benci darinya, membuatku harus menerka nerka soal responnya.

aku menaruh kotak itu karena frustasi tidak bisa tahu responya : suka atau tidak. Lebih baik beri aku kejelasan jika ia tidak suka aku merokok elektrik, atau opini lainya, ia tidak keberatan.

jariku terangkat untuk membenahi posisi rambut ku yang ikatanya semakin mengendur, hanya dengan seperkian detik aku sudah mencepolnya asal dan kembali bertatap tatapan dengan adji.

kondisi apartcos milik adji kala itu sedikit berantakan, karena aku datang tepat sebelum teman teman kuliahnya mengerjakan tugas kelompok di apartnya berhari hari. Ada banyak sampah bergeletakan, sampah ciki, tisu, kertas berhamburan, toples toples makanan ringan tidak bersusun, kabel stopkontak menghalangi jalan, dan satu barang terkahir yang membuatku terdiam adalah :

bekas kondom di kamarnya.

kamar seorang pandji Ariga Sankaras, tempat paling privasi yang ia selalu jaga dengan seluruh jiwanya. aku tidak pernah lupa soal ia yang masih risih aku berbaring tampa perizinan di kasurnya, atau aku yang mengambil kertas dalam kamarnya karena kaus kakiku sedikit kotor, atau soal farhan ( teman kampusnya) yang adji tonjok karena sembarangan masuk ke kamarnya.

Aku tidak melihatnya lama karena tangan adji lebih dulu menarik lenganku menjauh dari bibir pintu dan menutup rapat rapat kamar nya.

aku tidak mau tanya, tidak mau melihatnya lama lama, dan mengurungkan niatku untuk membantunya membereskan semua kekacauan ini. Sambil berjalan ke arah ruang tengah, aku baru sadar beberapa hal yang tidak aku tangkap sebelumnya, botol hijau di tong sampah dapur dengan bau menusuk ala alkohol, serta bungkus bungkus rokok di meja balkon.

hal ini juga yang membuatku secara percaya diri mengeluarkan sekotak rokok elektrik dan memakainya di hadapan adji.

kami imbang, punya dua hal yang tidak seharusnya di lihat kini kami saling perlihatkan. aku tidak akan menjelaskanya lebih dulu soal rokok elektrik ini jika ia tidak menjelaskan soal kondom dan botol botol itu, soal putung rokok aku tidak terlalu tertarik.

Adji bukan perokok, namun sesekali ia merokok jika mau. lagi pula aku bisa berpositif thinking soal abu rokok dalam asbak itu, mungkin salah satu bekas temanya.

mata kami bertautan cukup lama, ia duduk dengan sedikit bersandar pada pungung kursi santai yang menghadap ke jendela luar dari balik pintu kaca. Arah badanya menyerong pada kursiku, begitupun aku.

aku tidak memberikan ekpresi datar miliku, melainkan ekpresi seolah tidak pernah terjadi apa-apa. bibirku tersenyum, mataku menyipit akibat tekanan pada pipiku yang mengembang, tanganku bersilang depan dada. ayo adji, bilang itu bekas teman mu yang bermabuk cinta dengan mengunakan kamarmu, ayo bilang itu dan segala emosiku semakin mereda.

namun sepertinya, sore hari aku bermain ke apartcosnya tidak mendapat penjelasan apapun oleh adji.

alih alih ia membuka suaranya dan menjelaskan, ia bangkit dari duduknya seraya bilang : "kayak nya kamu harus pulang, sebelum jalanan padat"

ia mengusirku.

kala itu di perjalanan pulang, sambil menikmati lagu santai di radio, aku mengetuk ngetukan jariku pada stir mobil.

apakah ini akhir dari hubungan kami?

seperti cezka dan ajun?

sambil menimang nimang apakah aku dan adji benar benar putus atau tidak, aku jadi teringat perkataan abim saat ia tahu aku dan adji dalam sebuah ikatan cinta. ia mencibir, jangan jatuh cinta kalau secircle goblok.

ya benar, seharusnya aku sudah tahu seperti apa nanti hubunganku dengan adji jika kami putus : orang asing yang menyimpan begitu banyak kenangan.

secara spontan aku mengarahkan mobilku pada daerah pantai indah kapuk, walau cukup jauh sepertinya aku menyetir mobil dengan kalut, menaikan kecepatan dan menyalip walau pikiranku sedang terombang ambing. sampai di sana, aku memakirkan mobilku pada pinggiran pembatas jalanan dan lautan jakarta yang biru kehitaman.

mematikan mesin, menurunkan kaca jendela, mengatur lagu lawas kesukaanku. dalam keheningan itu aku menangis tampa ada suara,

tidak sudi jika harus berkawan semakin dalam pada kesepian.

Teman baruku itu sedikit menguras emosiku secara berskala besar, aku tidak bisa berteman denganya selama itu.

entah karena kelelahan atau terlalu pasrah, aku malah tertidur disana.

setidaknya ombak dan angin menemaniku menuju malam, oh jangan lupakan  ocehan ricuh burung burung camar putih.



______

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro