Abeoji 아버지

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

#Songfiction

BTOB - Father a.k.a Abeoji





- 아버지 -





"Ayah, Ayah! Aku mau es krim!"

Anak berusia tujuh tahun itu melompat-lompat dalam tuntunan sang ayah, menunjuk penjual ice cream yang tidak jauh dari posisinya sekarang.

"Lee Minhyuk ingin es krim? Tapi Minhyuk sedang sakit tenggorkan, nanti saja ya?"

"Kapan?" anak tersebut mulai cemberut, merajuk.

"Kalau Minhyuk sudah sembuh."

"Aaaahh! Aku maunya sekarang, Ayah. Sekarang!"

Minhyuk tersenyum kecut. Dirinya memang sudah keras kepala sejak dulu. Sejak dirinya bahkan masih kecil.

Melihat punggung lelaki yang tidak lagi muda itu membuat hatinya teriris.

Semoga ini belum terlambat....

Baru saja mulut terbuka, ingin menyebutkan kata 'ayah' yang sangat Minhyuk rindukan, bayangan lain memenuhi pikirannya. Bagaimana Minhyuk hanya sibuk pada pekerjaan. Terlebih setelah menikah, Minhyuk sangat jarang mengunjungi sang ayah.

Pasti Ayah merasa kesepian, kan?

Sebetulnya tidak perlu ditanyakan dalam hati, Minhyuk sudah tahu jawabannya. Apalagi sang ibu yang sudah lama meninggal, dan ayahnya tinggal sendiri. Minhyuk tidak bisa membayangkan seberapa besar rasa kesepian itu.

Tapi Ayah selalu memperlihatkan bahwa Ayah baik-baik saja padaku. Bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari Ayah.

Minhyuk tentu juga masih ingat, masa kecil yang selalu menyenangkan bersama sang ayah. Dia pria yang selalu menemaninya bermain, belajar, bahkan menemani ketika Minhyuk takut untuk masuk sekolah TK pertama kali. Sang ayah yang setia mendukungnya.

Tapi apa balasannya? Demi alasan untuk ayah Minhyuk bekerja tanpa henti, sampai mengabaikan ayahnya. Jarang pulang. Hanya memberikan uang setiap bulan, dan belum tentu uang yang diberikan bisa menggantikan rasa kesepian ayahnya. Lelaki paruh baya itu juga perlu seseorang untuk dirinya ajak bicara, kan?

Mestinya Minhyuk berpikir hal demikian sedari dulu. Dirinya seakan berada dalam dunianya sendiri. Melupakan ayahnya adalah hal paling mengerikan. Minhyuk sadar sekarang.

"Ayah...."

Berharap panggilan lirihnya terdengar oleh laki-laki tua yang membelakanginya, sedang menyiram tanaman yang terhias di halaman.

Rumah tanpa pagar ini membuat Minhyuk tidak bisa berpegangan untuk menyangga diri sendiri. Rasanya ia ingin sekali berteriak kencang, mengutuk bahwa dirinya sangat bodoh.

"Ayah...."

Sekali lagi, sebutan itu keluar dan berhasil membuat orang yang dipanggil menoleh.

Mata laki-laki paruh baya tersirat keterkejutan, tubuhnya membeku bersama alat penyiram tanaman jatuh ke rumput hijau yang terlihat segar.

"Min... Minhyuk?" dia hanya takut bahwa dirinya salah, mengira ini hanya ilusinya saja.

Minhyuk sudah tidak tahan lagi, ia berlari kecil menuju sang ayah dan merengkuh tubuh itu.

"Maafkan aku," ucapnya. Perkataan maaf yang keluar membuat hati Minhyuk pedih.

"Oh? Kenapa kau meminta maaf?"

Diselingi kebingungan karena lontaran maaf yang tiba-tiba, Tuan Lee tetap membalas pelukan Minhyuk yang entah... ia lupa kapan terakhir kali Minhyuk datang menemuinya. Sesekali tangan kanan Tuan Lee menepuk punggung putranya yang sudah bergetar. Minhyuk menangis?

Tidak ada jawaban dari Minhyuk atas pertanyaan sang ayah, ia hanya ingin mengeluarkan rasa pedihnya. Menangis dalam pelukan ayahnya membuat Minhyuk sedikit lebih tenang.

"Ayah... mengapa tubuh Ayah semakin kurus?"

Tuan Lee tertawa pelan, menyadari bahwa Minhyuk benar-benar menangis. Suaranya saja diselingi isak.

"Ayahmu ini hanya sudah tua," jawab Tuan Lee yang membuat air mata Minhyuk semakin deras keluar. Mengapa jawaban sederhana itu mampu menyakiti hatinya?

"Aku merindukan Ayah...."

"Ayah lebih merindukanmu, Nak."

Minhyuk rasa ibarat itu benar. Kasih sayang orang tua sepanjang masa, sedangkan kasih sayang anak hanya sebatas galah. Minhyuk percaya. Namun dirinya ingin lebih menyayangi ayahnya meski tidak bisa sama besar. Bagaimana juga, kasih sayang dan pengorbanan orang tua pada anak tidak akan pernah bisa terbalas. Minhyuk hanya akan berbakti sampai akhir.

Dahulu Minhyuk masih sangat muda, pemikirannya belum tetap, perasaannya pun sering berubah-ubah, tidak tahu bahwa ada hal yang lebih penting dari pekerjaan. Ayahnya. Sang ayah sangat penting baginya.

"Minhyuk, kau datang sendiri? Istri bersama cu—"

"Kakek!"

Kedua orang yang tengah berpelukan itu terdiam sebentar, setelahnya Minhyuk melepas pelukan pada sang ayah dan berbalik—mendapati anak kecil yang berlari riang menuju Tuan Lee.

"Lee Hyukjae...."

Tuan Lee menyambut Hyukjae, segera menggendong tubuh mungil cucunya itu. Dia bahkan melupakan usianya.

Tidak mengerti, Minhyuk beralih melihat Jieun. Istrinya terlihat melempar senyum singkat, lalu berbisik setelah berada di samping Minhyuk.

"Aku hanya mengajak Hyukjae bertemu kakeknya."

Minhyuk menanggapi dengan senyum tipis. Ia segera menghapus jejak air matanya yang tertinggal pada kedua pipi. Istrinya pasti tahu Minhyuk yang ke mari sendirian. Dia memang wanita yang bukan hanya ibu dari Lee Hyukjae, ia juga sangat pengertian. Jieun adalah satu-satunya orang yang menjadi saksi penyesalan Minhyuk pada sang ayah.

"Terimakasih,"

"Eh? Aku melakukan yang sudah semestinya. Lagipula... Hyukjae sangat merindukan kakeknya." sahut Jieun, menepuk sebentar pundak Minhyuk.

"Aku senang kalian datang. Rumah ini menjadi ramai." kata Tuan Lee, melihat sejenak putra bersama menantunya sebelum kembali fokus pada Hyukjae.

Minhyuk kembali pada rasa sesaknya, ia menatap lekat laki-laki paruh baya itu.

"Ayah... mulai sekarang aku akan menemani Ayah. Aku akan sering kemari. Atau, bagaimana kalau Ayah tinggal bersama kami di Seoul?"

"Yeay! Kakek tinggal sama Hyuk!"

Anak berusia lima tahun itu sudah kegirangan.

"Apa bisa... seperti itu?"

"Tentu saja. Kenapa tidak, Ayah?" Jieun yang menyahut. Menantunya tersenyum hangat.

"Baiklah, kalau begitu."

Tuan Lee berpikir, dirinya tidak boleh ragu lagi sekarang. Di sisa hidupnya, ia hanya ingin habiskan bersama mereka, tiga orang yang telah menjadi sumber kebahagiaan Tuan Lee.

Terpaku, Minhyuk memperhatikan Hyukjae sedang memeluk kakeknya, sesekali menciumi laki-laki yang sudah tidak lagi muda itu.

Minhyuk hanya berharap... suatu hari nanti, di masa depan, semoga Lee Hyukjae tidak seperti dirinya yang egois, keras kepala, sampai mengabaikan orang tuanya sendiri.

Minhyuk lega ini belum terlambat. Dirinya bisa meminta maaf pada sang ayah, meski ungkapan maafnya tadi sangat menyedihkan bagi diri sendiri.

Tahukah Ayah? Ada kalimat yang sangat ingin aku ucapkan.

Aku mencintaimu selamanya, Ayahku.

.
.
.

Selesai ~


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro