Angka Keramat (4)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cath berjalan menuju ke lemari berisikan koleksi-koleksi buku. Ia tersenyum kecil menghirup udara yang beraroma kertas dan debu. Ia sangat menyukai kedua aroma tersebut sebagai pecinta buku.

"Wah! Ada novel yang udah lama gue inginkan!" Cath berseru senang.

Dilihat satu persatu judul buku yang berjejer rapi di depan mata. Cath selalu tersenyum dan heboh kalau sudah menyangkut tetap buku.

"Ini dan ini. Gila sih lengkap banget koleksinya!"

Tanpa Cath sadari ada sepasang mata berwarna merah memperhatikan kegiatannya di ujung sudut kamar. Bagi yang melihat tatapan mata itu pasti akan berteriak ketakutan.

"Cath ...."

Sebuah suara memanggil nama Wanita itu membuat kegiatan melihat buku-buku terhenti. Cath mencari sumber suara tersebut.

"Perasaan gue ajah kali," gumam Cath.

Bukgedebuk!!

Salah satu buku terjatuh di samping kanan Cath. Cath pun mengambil buku bersampul merah delima, tampak buku itu sudah berdebu dan usang.

"Angka Keramat."

Cath bingung. Selama ia sebagi pecinta buku horor belum pernah ada judul yang ia pegang saat ini. Tak mau ambil pusing, Cath membuang buku tersebut begitu saja.

"Itu sangat menyakitkan sekali Cath."

Deg!

Cath terkejut. Ia merasa mendengar suara bisikan dari arah kanannya, tetapi tak menemukan siapapun selain dirinya sendiri di dalam kamar.

"Ini pasti Leon lagi isengin gue." Cath kesal.

"Cath ... aku merasa sakit sekali."

Suara bisikan itu kembali muncul. Cath mulai merasa ketakutan. Ia tak suka situasi horor seperti ini, padahal Cath pecinta berbau horor.

Cath berjalan pelan menuju ke arah pintu kamar. Ia ingin keluar dari kamar dan menceritakan kejadian aneh kepada teman-temannya.

Pintu kamar tak bisa dibuka. Cath berusaha membuka pintu, tetapi hasilnya sama saja. Rasa takut dan panik melanda dirinya.

"Siapapun tolong bukain pintu ini?!"

Cath memukul pintu kamar bercat cokelat terus-menerus. Ia tetap membuka pintu engsel walau tak terbuka juga.

"Leon! Raya! Gama! Tolongin gue ...."

Cath pun terduduk lemas di sandaran pintu. Air mata mengalir deras membasahi kedua pipinya. Ia sangat ketakutan.

Tiba-tiba ada sosok bayangan hitam melintas cepat di depan Cath. Cath mematung. Ia melihat sepasang mata merah menatap dirinya lekat.

Deg!

Deg!

Debaran di jantung Cath berpacu cepat. Cath tak bisa berkutik saat kedua tangan berwarna hitam dengan kulit yang mengelupas kemerahan, menarik kedua kakinya perlahan.

Cath berontak. Ia mencoba menghalau tangan-tangan itu menarik kakinya. "Jangan!"

Cath meringis kesakitan saat kuku-kuku tangan melukai kakinya. Bau anyir darah yang membusuk tercium di hidung.

"Awh... sakit," Cath meringis.

"Aaa!"

Kedua kaki Cath sukses ditarik tangan-tangan hitam itu. Tubuh Cath terseret sampai di dekat lemari tempat koleksi buku-buku berada.

"Tidak!"

__04__

Gama terbangun. Peluh keringat membasahi seluruh wajah tampannya.

"Aku di ... kamar?"

Beberapa pertanyaan di pikiran Gama seakan terus berdatangan. Ia ingat terakhir sedang berada di halaman belakang rumah, kini saat ia bangun malah berada di kamar.

"Aku harus memberitahu yang lain!" Gama berseru.

Saat Gama ingin bangun, ia meringis kesakitan di bagian kaki. Gama pun menyibak kasar selimut yang menutupi seluruh tubuh.

Kedua mata Gama membulat sempurna. Ia melihat bahwa kaki kanannya terdapat luka bakar dengan kulit melepuh merah kehitamanan.

"A-apa yang terjadi dengan kakiku?" Gama dilanda panik.

"Eh lo dah sadar bro."

Tiba-tiba Raya datang membawa segelas air putih obat untuk Gama. Gama menatap Raya bingung.

"Lo yang pindahin gue ke kamar, Ray?" Gama bertanya.

"Iya bro. Gue lagi mau ambil minum di dapur, eh dengar suara loe teriak-teriak gitu, pas gue samperin loe ya keburu pingsan gue bawa ajah ke kamar. Berat benar pas angkat loe kaya orang banyak dosa."

Raya menjelaskan secara detail. Gama masih bingung tak mengerti.

"Ini obat buat penghilang rasa nyeri di kaki loe," ujar Raya menyerahkan satu buah obat.

"Makasih bro," balas Gama.

"to be continue"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro