4. Medsos Impian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semuanya berada dalam genggaman

Itulah faktanya. Kamu dapat melakukan apa pun di sini. Berubah menjadi apa pun dan menghadirkan apa pun yang berasal dari ketiadaan.

Semua semudah membalikkan telapak tangan. Tak terduga, aplikasi yang semula hanya bisa digunakan untuk sekadar mencari informasi atau bertukar kabar dapat melakukan hal yang tak mungkin.

Berterima kasihlah kepada penciptanya. Almendaz Grindel. Berkat penemuannyalah semua manusia di dunia bisa merasakan kemajuan teknologi yang sangat pesat ini.

Kuhembuskan napas sembari mematikan televisi. Di mana-mana ada saja berita tentang aplikasi yang dapat mengabulkan apa pun yang kalian butuhkan.

Manfaatnya memang besar sih, cuman kan kita akan menjadi malas jika terlalu banyak kemudahan. Apa gunanya jika kita punya segalanya tapi tak berinteraksi secara nyata lagi? Manusia itu makhluk sosial.

“Yah, tak ada gunanya juga aku berbicara begini ....” gumamku. Kulangkahkan kaki menuju meja makan. Mengambil gelas dan mengarahkannya ke mulutku. Rasa dingin menjalar, melegakan haus yang sempat melanda. Kulirik jam di samping kananku. Gawat! Aku bisa telat kalau tetap santai begini!

***

“Selalu telat seperti biasanya ya, Calis.” Aku hanya tertawa tak enak mendengar perkataannya. Gadis di hadapanku itu memandang sinis sebelum berjalan mendahului. “Ayo, kita tak punya banyak waktu.” Dan dengan patuhnya, aku berjalan mengikutinya di belakang.

“Vio, tempatnya memang di sini ya?” kupandang gadis sinis di sampingku dengan sangsi. Gadis itu hanya melirik sejenak sebelum kembali menghadap ke depan. Memandang tembok tinggi perbatasan Kota.

“Tentu saja memang di sini, koordinatnya pas kok,” ujarnya sembari memandang titik koordinat dari jam tangannya. Kuikuti arah pandangannya. Memang sih, koordinatnya pas. Tapi masa sih, di perbatasan kota yang jelas-jelas di larang oleh pemerintah.

“Ya sudah, ayo kita pergi saja sekarang.” Vio segera ambil ancang-ancang. Saat jaraknya cukup jauh, ia berlari sekuat tenaga berusaha menembus tembok itu. Namun, bukannya menembus, Vio malah menyakiti tubuhnya sendiri. Aku meringis pelan melihat kejadian itu.

“Sudah kubilang kan, tidak mungkin pintunya ada di sini.” Kujulurkan tangan, gadis itu menyambutnya dan bangkit sembari meringis. Tangannya segera menepuk-nepuk bajunya pelan, menyingkirkan debu yang mungkin saja tersangkut di sana.

“Harus berapa kali kukatakan, tak ada gunanya mencari pintunya dengan bantuan dari aplikasi impian,” ucapku sembari melirik jam tangan yang sebenarnya adalah aplikasi yang dimaksud.

Vio mendengus kesal. Sudah tertipu sebanyak tiga kali oleh alat itu. “Yah, mungkin saja kan. Kita menemukannya karena benda ini,” ujarnya kemudian. Hah, inilah kelemahannya. Sifat optimis yang tak pikir tempat.

“Ayolah, mana mungkin mereka akan membiarkan kita menemukannya,” tukasku kemudian berjalan keluar dari lorong itu. Vio mengikuti dari belakang. Masih dapat kudengar sesekali ia menggerutu pelan.

***

Tik, tik, tik....

Entah sudah jam berapa sekarang. Aku tak tahu. Yang kutahu, aku hanya terbangun dan memandang langut kamar cukup lama. Memikirkan bagaimana cara yang paling cepat agar kami kembali.

Entah sudah berapa kali aku mengacak rambut kesal, tak mendapatkan cara apa pun. Apakah ini akhirnya, tak dapat ke mana-mana? Terjebak dalam lingkaran setan tak berujung. Aku tak ingin! Ini membosankan!

“Aku ingin pulang ....” gumamku sembari memandang langit kamar. Mataku tiba-tiba berkabut kala mengingat bagaimana nasibku jika tak menemukan pintunya. Aku ... sudah mencapai batas.

Bersamaan dengan air yang mengalir di sisi mata, aku terlelap. Membawa asa ke dalam mimpi. Berharap bisa bertemu dengannya. Menanyakan semua pertanyaan yang bersarang di otak.

***

“Vio, jangan bilang kamu dapat koordinat tempatnya dari aplikasi itu lagi?” kulirik Vio. Gadis itu tersenyum canggung. Ah, dugaanku benar rupanya. “Berapa kali harus kukatakan. Jangan. Percaya. Benda. Itu. Tidakkah kamu mengerti maksudnya, Tuan putri?”

“Tapi ....”

“Tak ada tapi-tapian. Sudah cukup kamu tertipu sebanyak tiga kali. Waktu kita tak banyak Vio! Kau tahu kan berapa lama tubuh kita dapat bertahan di luar sana!” perasaanku bergejolak. Membayangkan aku tak dapat pulang lagi membuatku putus asa.

Apakah tak ada harapan lagi pulang ke dunia nyata? Kenapa hal ini harus terjadi kepada kami? Kenapa! Kenapa kami yang terpilih dari seluruh manusia di muka bumi ini! Dan kenapa pula aku harus mengikuti dengannya pada hari itu!

Aku kesal, aku marah. Namun, aku tak bisa menyalurkan perasaanku ke gadis ini. Dia juga korban, sama sepertiku. Korban yang di lemparkan dari dunia nyata ke dunia buatan miliknya.

Saat kami sedang saling adu argumen. Mataku menangkap bayangan seseorang. Kepala hewan dengan badan manusia. Gawat! Itu kan petugas keamanan.

“Vio! Kita kabur sekarang, ada petugas keamanan!” langsung saja, aku tancap gas. Berlari meninggalkan Vio yang berlari di belakangku. Kami tak boleh tertangkap. Bisa-bisa mereka menuntaskan kami di sini tanpa bisa pulang. Sebuah teriakan memecah konsentrasiku. Vio terjatuh dan kakinya terkilir. Yang benar saja!

Aku berlari ke arahnya. “Vio, bisa berdiri?” gadis itu menggeleng. Sial! Kenapa pula di saat begini malah ada petugas.

Kupandang sekeliling, kami terkepung. Sekarang, bukan cuman satu petugas lagi. Banyak petugas di sini. Bagaimana ini? Aku tak bisa mengalahkan semuanya sekaligus. Di tengah kebingungan, manik gelap milikku menangkap jam tangan Vio. Ah ya! Aplikasi impian, katanya ia bisa memunculkan apa pun yang tidak ada.

“Vio! Pinjamkan aku jam tanganmu dulu!” perintahku padanya. Ia langsung mematuhi, di berikannya jam tangan itu. Tak memakan waktu lama, aku telah memakai jam tangan itu. Sebenarnya aku tak sudi memakai benda ini, tapi ... nyawa kami dalam bahaya. Bukankah kalian akan melakukan apa pun jika sudah di ujung tanduk?

“Bagaimana cara memakainya, Vio!” Gadis itu tersentak kala aku bernada seperti itu. Tapi ia segera mengendalikan emosinya.

“Bayangkan apa pun yang kamu inginkan. Kuncinya ... imajinasi.” Langsung saja, kupejamkan mata, mengabaikan petugas yang hampir mendekati kami, mengabaikan teriakan Vio yang ketakutan. Fokus, hanya itu yang kubutuhkan untuk selamat.

Lingkaran cahaya mulai mengelilingi kami, bagus. Aku bisa melakukannya. Dan ketika tangan salah satu petugas akan menyentuhku, kami menghilang.

***

“Gila! Kenapa bisa ada petugas di sana!”

“Entahlah, yang pasti. Waktu kita tak banyak,” ujarku membalas ucapan gadis surai cerah itu.

Segera, kulepaskan jam tangan itu dan memberikannya ke Vio. Gadis itu menerimanya dan segera memasangnya lagi.

“Lebih baik kamu pulang sekarang, bisa-bisa mereka melacak kita di sini,” ujarku sembari melangkah dari lorong gelap. Meninggalkan Vio sendirian.

***

“Siapa pun, tolong aku ....” gumaman itu membangunkanku dari lelap. Siapa yang bergumam? Turun dari kasur dengan hati-hati, aku mencari suara itu. Namun, nihil. Tak ada apa pun di bawah kecuali kaca gantung di ruang tamu.

Semuanya tampak biasa saja, jika kamu mengabaikan cahaya yang keluar dari kaca itu. Dengan rasa penasaran tak terbendung, aku mendekat. Berdiri di hadapan cermin cahaya itu. Menerka apakah ini nyata.

Saat tanganku menyentuh permukaan kaca, tubuhku langsung limbung. Aku terseret ke dalam, bukannya langsung memijak tanah seperti novel-novel fantasi aku malah terjebak di ruang tak berujung yang abstrak. Aku mengapung, sebelum tertarik ke bawah oleh sesuatu yang tak ada wujud. Takut, kututup kedua mata.

Saat membuka mata, pemandangan lorong bergaya klasik. Ah, ini kan lorong rumahku. Apa aku sudah pulang?

Namun, semuanya tak benar. Kala kulihat dua orang di lorong itu.

“Calis, kemari,” perintahnya. Aku berjalan mendekat, bertanya-tanya kenapa ia memanggilku dengan tiba-tiba. Biasanya ia akan mengacuhkanku, kenapa sekarang ia malah memanggilku?

“Ya, ada apa, Yah?” ketika diriku berada di hadapannya ia tiba-tiba mengelus kepalaku pelan. Aneh, ada apa dengannya hari ini. Apa ia salah makan? Atau ... Ia salah minum obat?

Hening. Aku tak berani bertanya kenapa ia tiba-tiba melakukan hal begini kepadaku. Dan dirinya tampaknya tak ingin mengatakan apa pun.

“Maaf, Calis.” Hanya itu ucapannya sebelum mendorongku ke arah kapsul yang entah sejak kapan ada di sana. Gedor kaca kapsul itu, tapi tak menimbulkan apa pun, sia-sia.

Ayah yang melihatku dari luar kapsul tersenyum kecil. Ia mengucapkan sesuatu, tapi aku tak ingat apa yang ia katakan.

Asap tiba-tiba memenuhi kapsul ini semakin pekat asap, semakin sayu pandanganku. Dan tak lama setelah itu, aku terlelap.

***

Dan, aku di sini. Bersama Vio. Berdua saja. Semua yang kudengar, semua yang kulihat. Itu palsu, tak ada apa pun di sini. Semuanya telah di atur oleh pikiranku. Ah, pasti kalian bingung.

Ya, itulah kenyataannya. Sebenarnya aku pun ... palsu. Hei, tak ada satu pun yang asli di sini. Semuanya hanya permainan otakku.

Ya, semua yang tersisa dariku hanyalah otakku. Jantung dari aplikasi medsos yang bisa mengabulkan apa pun. Aku ... hanyalah sebuah aplikasi medsos. Berterima kasilah kepada Almendaz, sang pembuat aplikasi ini. Ia bahkan dengan tega menjadikan anaknya sebagai otak dari aplikasinya.

Haha, sungguh. Lucu sekali.

END

A/N
Ya, satu kata. Aku nggak tau nulis cerita apa kali ini wkwkwk

WRITTEN BY Catrella2

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro