Cerpen Karya Mey

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

HarianiMey
Akun Wattpad: harianimey
Gen: GEN 6

***

Suara malam telah terdengar, alam bernyanyi dan desir rerumputan bergerisik ketika matanya terbuka. Tak hanya suara alam yang berkumandang, tapi suara lain yang membuat wanita itu mendesah dalam baringnya. Tangannya meraih sesuatu ke samping, pada arloji tanpa pengikatnya. Detiknya terdengar letih, sama letihnya dengan tubuhnya saat ini.

Matanya melirik ke arah pintu, di mana ada derap langkah dan tawa manja, suara seorang wanita. Indi menyibak selimut yang mulai menipis dan berlubang di bagian ujungnya, karena terlalu sering menjadi alat untuk mengusap air mata dan ingusnya. Tangannya kembali meraih, tapi bukan pada meja berlaci tiga yang berpelitur. Pada botol air mineral terletak di bawah ranjang, hanya ada satu tegukan untuk anak kecil, sedikit sekali, tak mampu mengusir cantik dahaganya.

Indi makin mendesah, mengutuk kantuknya, mengapa datang lebih dulu sebelum dia pulang. Kini, ia harus keluar dan melihat perihnya disiram air jeruk yang segar. Tapi, jika dirinya tak keluar mengambil air minum, dirinya harus menahan haus hingga berjam-jam berikutnya, bahkan sampai pagi.

"Apa yang bisa diharapkan dari sebongkah roti lapis kadaluarsa? Tentu saja dibuang dan dicampakkan." Indi berkata lirih sebelum benar-benar bangun.

Indi mengikat rambutnya dengan tangan, kemudian diikat dengan karet bermanik batu safir yang cantik. Akan tetapi, itu mainan bukan batu mahal berharga ratusan juta rupiah. Simponi yang ia dengar ketika pintu kamarnya dibuka adalah nada yang tak ingin didengar oleh isteri mana pun.

Indi abaikan, langkahnya tetap menapaki lantai marmer oren terang yang mengkilap dan dingin. Ada benda-benda milik wanita yang tak pada tempatnya, termasuk celana dalam dan bra tergeletak tak terurus di lantai, bukan miliknya.

"Hei, kau sudah makan?" Pertanyaan itu terlontar untuknya tanpa ia inginkan.

Indi menghentikan langkahnya, tapi tak ingin menoleh, sekadar meliriknya dari samping.

"Ada pizza dan ayam goreng, bawa ke kamarmu." Pria bertelanjang dada memeluk wanita yang hanya berselimut kulit itu berkata lagi.

"Terima kasih, aku hanya haus." Indi menjawab.

"Bawakan semua untuknya, siapa tahu nanti Isterimu itu lapar, Yos." Wanita itu terkekeh pelan dan manja di pelukan Yos.

Indi abaikan, melangkah lagi ke dapur dan mengambil air mineral dari galon dengan cara memiringkannya ke samping pelan-pelan. Indi meneguknya hingga kandas, merasakan getir perasaannya saat ini, antara kelabu dan kelam berlomba beradu panco.

Suara dari perutnya kembali bergema, meminta tambahan tenaga yang tak ingin dipenuhinya saat ini. Indi berbalik, tapi aroma dari makanan yang dibawa Yos tercium harum. Indi ingin mengambil sebagian kecil, berharap bisa mengunyahnya cepat enggan air mata menggenang.

"Kau mau?" tanya Yos tepat di belakang Indi.

"Tidak," jawab Indi yang akan bergerak ke kamarnya lagi.

Yos menggerakkan lengannya, menahan langkah Indi. Sementara tangan kanannya mengambil potongan makanan berkeju banyak itu, mengunyahnya dan menatap Indi dengan senyuman merekah.

"Ini enak, cobalah." Yos mengedikkan matanya pada Indi dan makanan yang ada di atas meja.

Indi menelan salivanya, mengingat terakhir kali makan roti dengan banyak sosis dan keju itu entah kapan. Tangan Indi bergerak maju, terulur pada kotak tak seberapa tebal namun lebar itu. Sayangnya, ulurannya dicegah oleh tangan lain. Yos tersenyum padanya.

"Makan ini saja, aku tak habis." Yos menarik tangan Indi dan memberikan sepotong pizza yang hanya tinggal satu suap.

Yos membawa kotak besar berisi pizza yang masih banyak ke ruang tengah, pada wanita yang tersenyum manja tanpa urat malu itu. Indi melihat potongan kecil pizza pemberian Yos, sedikit basah di ujungnya dan makin basah ketika air matanya menetes mengenai potongan kecil itu.

"Mau lagi? Aaa, buka mulutmu kusuapi," pinta Yos pada wanita itu.

"Aaa, Yos! Nakal deh," rengek manja Trisna pada Yos yang tak jadi menyuapinya, namun hanya menggodanya karena ketika makanan itu masuk mulutnya, disusul oleh ciuman Yos yang hangat.

Indi tersenyum pahit. Ia mengusap potongan kecil makanan di tangannya dengan ujung jari, memakannya cepat dan mendorongnya dengan segelas air.

Bukan hal yang pertama, Indi. Kau lupa ya? Ingat ini, jika kau lupa.

Indi menaruh gelas itu dan meninggalkannya di atas meja dapur. Kakinya melangkah kembali ke kamar, tempat ternyaman dan terenak selama di sana terasa hangat, tak kehujanan maupun lembab. Berharap banyak jika pagi jangan datang terlalu cepat, karena tubuhnya masih terlalu lelah untuk dipekerjakan lagi, membersihkan sedemikian luasnya rumah Yos, suaminya.

Aku tak tahu kapan terakhir kali merasakan hangatnya sebuah pelukan, ciuman dan senyuman tulus. Pria yang bersumpah atas nama Tuhan mencintaiku, kini hanya bisa kulihat tanpa bisa kusentuh seujung kukunya.

Indi membuka matanya perih, melihat sebuah tangan merengkuh melingkari perutnya, dan embusan napas meniup tengkuknya yang jenjang. Yos memeluk dan menciuminya.

"Sssttt," bisik Yos di telinga Indi.

"Lepas," kata Indi mengalihkan tangan Yos.

"Aku masih suamimu, berhak melakukan ini, bukan?" Yos tak mau kalah.

"Setelah apa yang semuanya kaukatakan, kau masih mau dianggap demikian?" tanya Indi sambil menahan tubuh Yos yang besar.

"Huh, jangan sok jual mahal. Kau kubeli untuk memuaskanku, untuk mengerjakan apa yang kuperintah, bukan membantah dengan omongan murahanmu." Yos menyerang Indi dan menjambak rambutnya.

Indi mengelak, sekuat tenaga yang tersisa menghentikan tindakan kasar Yos. Lelaki itu menyakar, memukul, menjambak dan meremas semua bagian tubuh Indi, tak peduli wanita itu merintih dan menolak diperlakukan tak berperasaan. Indi tak lagi bergerak melawan, pasrah karena seinci lagi ia pasti akan bertemu dengan malaikat maut.

Yos berhenti berlaku kasar ketika merasa puas, meninggalkan Indi tak mau tahu apa yang dirasakannya saat ini. Indi terengah, meratap pada Tuhan dan bergerak pelan membungkus tubuhnya dengan kain yang kancingnya telah lepas beberapa, kemudian meringkuk di bawah temaram lampu kamarnya.

~***~

Indi tergagap ketika mendapatkan napasnya terasa terputus, terengah dan bangun dengan tubuh basah kuyup. Netranya mengerjap dan tangannya meraup agar bisa melihat jelas. Ia melihat Trisna berjongkok kemudian berdiri angkuh melempar baki plastik yang terjatuh begitu saja di lantai.

"Bangun, ikut aku." Trisna memerintah.

"Ke mana?" tanya Indi. "Aku harus membereskan rumah, bukan bersenang-senang di luar menghabiskan uang."

Trisna berhenti melangkah dan berbalik, melangkah mendekat pada Indi lalu mencengkeram rahangnya. "Yos mau masakan rumahan, dan bahan makanan habis. Kau belanja di pasar."

Trisna berbalik sebelum Indi sempat menolak. "Enggak usah pakai ganti baju segala, walau pakai gaun tetap saja kucel. Jelek."

Trisna menarik lengan Indi, mendorong-dorong tubuhnya dari belakang agar berjalan cepat. Trisna memprotes mengapa Indi berjalan pelan sekali. Tanpa diketahui olehnya, semalam Yos telah membuatnya terluka luar dalam. Indi melihat sosok Yos di ruang tamu, membaca koran masih dengan pakaian yang semalam ia lihat.

Trisna mendorong tubuh Indi masuk ke dalam mobil dengan paksa hingga terjerembab di jok belakang. Sementara dirinya di depan menyetir mobil yang dulunya diberikan Yos sebagai hadiah pernikahan. Trisna melempar gulungan kertas apa yang harus dibelinya di pasar, disusul dengan lembaran uang yang dilempar begitu saja dari depan. Indi memunguti lembaran uang kertas berwarna merah itu menghitungnya dan menunggu hingga sampai di tempat tujuan.

"Turun! Belanja sendiri sana, kutunggu di mobil. Empat puluh menit waktumu, kalau tidak kembali dalam waktu itu, kutinggal dan kautahu apa yang akan terjadi di rumah, 'kan?" ancam Trisna.

"Kau kira aku robot? Dan aku tidak bawa sandal karena kauseret tadi." Indi memelas.

"Aku tidak peduli. Waktumu sudah terpakai hampir dua menit." Trisna melihat ke arah arlojinya. "Kaburlah, dan kau akan diberi hukuman istimewa lagi, Indi."

Indi berjalan pelan, kakinya telanjang menapaki pasar tradisional, dan semua mata orang yang ada di sana melihatnya sambil meremehkan.

Ambil saja nyawaku, Tuhan.

Indi melihat gulungan kertas di tangannya dan mengusap air matanya, merasakan lara di hatinya sedemikian perihnya, berjalan tertatih merasakan perih di dalamnya hingga menabrak seseorang.

"Maaf, saya tidak melihat, maaf." Indi meminta maaf sambil menunduk mengusap air matanya.

"Tidak apa," jawab lelaki berkemeja merah hati itu.

Indi tersenyum tipis dan berlalu membeli apa yang terlihat di dalam list. Tak butuh waktu lama, beberapa kantung kresek berjejal di tangannya, berisi bahan belanjaan yang tiap menit makin bertambah dan berat. Tapi, masih harus berjalan meski napasnya terasa putus. Ia harus mengendurkan punggungnya sambil berjalan menenteng belanjaan berat ke mobil di mana Trisna menunggu, memasukkan barang belanjaan ke bagasi dan menghampiri Trisna yang mengulurkan tangannya, meminta uang lebih.

"Kau telat lima menit," kata Trisna mengingatkan Indi.

"Kakiku sakit." Indi bergerak pelan ke arah pintu belakang mobil, tapi mobil yang disetir Trisna bergerak pergi.

Indi melongo, meremas ujung kemejanya yang dikancingkan dengan peniti-peniti kecil. Remasan itu seolah bisa dirasakan hatinya saat ini, bisa dipastikan butuh waktu lama agar sampai di rumah dengan jalan kaki, ditambah lagi tanpa alas kaki. Kulit telapak kaki Indi terasa mengeras, kasar karena menginjak aspal dan lecet karena jalanan itu dipanasi sinar matahari yang mulai meninggi.

Indi meletakkan pinggulnya di bangku putih sebuah halte bus. Tiga orang melirik ke arahnya, bahkan ada yang mengulanginya sekali lagi, memastikan Indi bukanlah wanita gila yang kabur dari RSJ. Mereka menggeser pantat mereka sambil menunggu bus datang. Bus itu datang, tapi tak akan lama dan kondekturnya turun.

"Itu orang gila?" tanya seorang kernet bus pada orang yang akan naik.

"Enggak tahu, Mas. Orang waras tapi pandangannya kosong, enggak pakai alas kaki." Wanita itu berkata sebelum naik ke bus.

Indi menunduk, mendengar dirinya diperbincangkan hanya diam membisu, merasakan perihnya telapak kakinya karena dibuat berjalan sekian jauhnya. Kernet bus memukul bus tanda siap berangkat, tapi kondektur masih belum menginjak pedal gas.

"Mbak itu enggak naik?" tanya kondektur bus.

"Enggak yakin kalau dia mau naik, enggak yakin bisa bayar. Ayo berangkat!" Kernet bus itu meminta.

Indi hanya melihat bus itu berlalu tanpa bisa menaikinya pulang. Percakapan kernet dan kondektur bus itu benar adanya, bahwa tak bisa ia membayar ongkos bus karena jangankan mempunyai uang, alas kaki saja tak ada. Indi mendesah pada langit yang kian terang benderang karena matahari telah meninggi. Dipastikan Trisna sudah sampai rumah dan mengatakan yang tidak-tidak tentangnya pada Yos.

Indi mengusap peluhnya, melihat pada telapak kakinya yang diangkat. Luka lecet itu memerah bercampur debu dan tanah jalanan, dahaga yang bersarang di tenggorokan hanya bisa diabaikan tanpa bisa diusir dengan segelas air mineral. Seorang pria datang di halte, berdiri dan duduk di sisi Indi tanpa rasa risih karena tubuh kotor dan dekil.

Sebuah botol mineral terulur pada Indi, dari pria yang duduk di sebelahnya. Indi melirik ke samping, ke botol kemudian pada lelaki yang duduk tersenyum tipis padanya.

"Kau haus sepertinya, ambil saja." Lelaki itu menggoyangkan botol di tangannya sedikit dan menaruhnya di sisi Indi.

Indi menelan salivanya susah karena kering, kemudian meraih botol itu dan membukanya. Ia baru meneguk satu tegukan ketika seseorang datang bertampang garang menghampiri Indi, langsung merengkuh kasar lengannya hingga berdiri dan botol di tangannya tumpah.

"Kau mau kabur, hmm?" tanya Yos yang terasa seperti tusukan jarum.

Indi ingin sampaikan terima kasih sebelum ia pergi pada lelaki yang memberinya minum. Akan tetapi, tak ada siapa pun di bangku halte, hanya ada angin berdesir di sana. Yos barulah datang dan tak ada bus yang berhenti di halte karena mobil Yos menghalangi.

"Ayo, masuk!" Yos mendorong Indi masuk ke dalam mobil. Indi masih melihat ke arah bangku halte, sungguh tak ada siapa pun di sana kecuali dirinya.

Indi tertegun, botol yang dipegangnya nyata dan bukan hayalan seperti pertemuan dengan lelaki itu sedangkan di depan, Yos mengomel memaki Indi yang mengira dirinya akan kabur. Indi menulikan telinganya sampai di rumah besar itu, tak menjawab sekiranya tak ingin dijawab semua tuduhan Yos.

"Kau tak mau menjawabnya? Baik, jangan ada yang berikan dia makanan ataupun minuman!" Yos berkata bak petir menyambar.

Indi terduduk lemas di lantai kamarnya, yang berantakan karena amarah Yos. "Mengapa kau masih menahanku di sini, bahkan aku bukan pembantu yang menyediakan makanan, hanya wanita yang kau 'gunakan' seenakmu?"

Yos berbalik, tak menanggapi perkataan Indi. Sementara wanita itu masih setia duduk di lantai, tak lama bergerak ke kamar mandi setelah sekian lama duduk di sana. Air kran yang turun seperti hujan buatan membasuh seluruh raganya, memijat seluruh laranya. Melihat dan merasakan apa yang sudah Yos lakukan padanya. Perih sekali ia rasakan ketika sabun cair itu membersihkan telapak kakinya hingga berdesis.

Indi membalut tubuhnya dengan handuk hingga kering dan mengenakan pakaiannya. Rasa lapar yang mendera ia adukan pada Tuhan, karena hanya Dia Yang Maha Tahu tentang segalanya. Ia membuka pintu kamar mandi, tapi bukan kamarnya yang didapati, melainkan rumah lain. Seorang pria menaruh piring makanan di meja persegi dan berbalik, melempar senyum pada Indi.

"Silakan duduk," ajak lelaki yang berstelan hitam itu pada Indi.

Indi tertegun, memundurkan langkahnya untuk menutup pintu kamar mandi yang dipegangnya. Tapi, tak berubah, dan dirinya masih ada di tempat yang sama. Lelaki itu masih di sana, lelaki yang memberinya sebotol air mineral di halte.

"Duduklah, ini masih hangat." Lelaki tua itu berkata lagi.

Indi melangkah pelan sambil terus berpikir, bagaimana bisa dirinya berpindah tempat tanpa disadari dan ia tak bermimpi, cubitan di tangannya terasa sakit.

"Aku di mana? Bagaimana bisa?" tanya Indi, keningnya masih mengerut karena tak mengerti dengan apa yang terjadi.

"Panggil saja aku Juan, dan kau di rumah majikanku. Dia tak pernah keberatan rumahnya dikunjungi seseorang yang butuh sandaran." Pak Juan berkata tenang.

"Apa sebenarnya Bapak ini?" tanya Indi tanpa ekspresi.

Pak Juan tersenyum. "Hanya membantumu sedikit, terkadang lari sejenak dari segala kerumitan dunia itu perlu."

"Apa sebenarnya Bapak ini?" tanya Indi kukuh.

"Makanlah, dan akan kuobati luka di kakimu." Pak Juan mempersilakan Indi untuk makan.

Indi menatap hidangan yang disajikan Pak Juan di meja makan dari kaca itu, makanan yang tercium lezat dan harum. Indi menatap Pak Juan, pria tua setengah abad lebih itu mengangguk mengiyakan dan barulah ia mulai menyendokkan makanan ke dalam mulutnya, lezat seperti masakan ayahnya dulu. Pak Juan berjongkok di kaki Indi meraihnya dan mengoles salep pada telapak kakinya.

~***~

Yos mengerutkan kening dan berteriak mencari sosok Indi di kamarnya, bahkan sampai di kolong ranjang pun tak ada. Trisna jengah tak suka dengan Yos yang mencari Indi, pun hanya berdiri melipat tangan di dada.

"Paling juga kabur lagi, biarin saja, Yos." Trisna berkata enteng.

"Awas saja sampai aku menemukanmu, tak akan kubiarkan kau duduk manis!" Yos bersumpah.

Yos keluar membanting pintu kamar Indi, tak mengerti ke mana wanita itu pergi karena satpam benar-benar bersumpah tak melihatnya keluar dari gerbang.

~***~

Apa yang dikatakan oleh Pak Juan tentang makna kehidupan dan semangat hidup membuai Indi hingga berjam-jam, tak merasa lelah sedikit pun dan justru membuat sesuatu dalam dirinya berontak, bahwa ia seharusnya sudah pergi jauh dari Yos berbulan-bulan lalu, bukan jadi bulanan perasaan luka berperisa harapan semu tak berujung.

"Bagaimana cara aku kembali ke sana? Aku perlu mengambil liontin Ibu jika benar pergi." Indi berkata pada dirinya sendiri.

Indi masih mondar mandir memikirkan cara kembali tanpa sepengetahuan Yos. Akhirnya dia lelah, membuka lemari pakaian di kamar baru yang ditempatinya saat ini, guna mengambil selimut pengantar mimpi indahnya.

Alangkah terkejutnya saat pintu terbuka menampilkan kamar dulunya itu. Awalnya Indi hanya ingin istirahat dan mencari selimut yang berada di lemari pakaian saja, tapi saat dibuka melainkan menampilkan kamarnya dulu. Indi melangkah mendekat terasa rasa sejuk menyapanya.

Indi melangkah keluar dari lemari pakaiannya, membiarkan pintu lemari itu tetap terbuka. Kini dia berada di dalam kamar yang gelap dan melihat sosok Yos tertidur di sofa ruang tengah, terlihat jelas dari tempatnya berdiri. Indi membuka laci meja setengah berderit karena termakan usia ketika ditarik keluar. Kotak perhiasan berwarna biru dari kain beludru itu ia raih, liontin milik ibunya bersemayam di sana sejak hari kematian ibunya tiga tahun lalu.

"Dari mana saja kau, huh?!" bentak Yos sambil menjambak rambut Indi.

Indi bernapas tenang meski kepalanya mendongak paksa. "Ada apa? Bukankah aku adalah sampah, tak perlu mencari sampah sepertiku, Yos."

Yos mencengkeram rahang Indi kencang. "Jawab aku. Bukan mengguruiku!"

"Pernahkah kau tanya pada dirimu sendiri, apakah kau benar menginginkanku? Karena sikapmu semua tak ada yang bisa diartikan baik padaku." Indi menatap manik Yos.

Jambakan pada Indi melonggar, Indi menepis lengan besar milik Yos. Perlahan Indi memundurkan diri.

Yos terdiam, alisnya bertautan dan menatap Indi tajam. "Aku tak akan biarkan kau pergi, Indi. Apa pun alasanmu."

"Renungkan perkataanku, Yos. Terima kasih untuk semua laramu padaku." Indi memundurkan langkahnya kembali ke dalam lemari pakaiannya.

Indi menutup lemari itu, sementara Yos tertawa memukul udara dan menatap tingkah Indi yang aneh dan berani.

"Indi, keluarlah. Jangan berkata aneh yang membuat kepalaku pusing, ayo keluarlah." Yos membujuk.

Yos membuka pintu lemari pakaian Indi, hanya ada beberapa helai gaun, tumpukan kemeja dan celana panjang, tak sampai benar bisa menenggelamkan Indi hingga tak terlihat. Yos membongkar semua isi lemari, dan heran karena Indi hilang di dalam lemari, tak kembali.

"Indi!" teriakan Yos menggema dalam ruangan.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro