Memaafkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah seharian tak keluar rumah, pada sore harinya Hana memutuskan pergi ke rumah ayahnya. Hana menemukan ayahnya sedang duduk di teras rumahnya sambil minum kopi. Hana menghampiri ayahnya, wajah tuanya terlihat lelah dan pucat.

''Ayah sakit?'' tanya Hana perlahan setelah ikut duduk di sebelah ayahnya.

''Sakit termakan usia,'' jawab Harsono tersenyum bahagia.

Hubungan ayah dan anak itu memang lebih baik setelah Harsono merestui Hana menikah dengan Tanjung.

Sebagai seorang ayah, Harsono merasa bangga sekaligus menyesal pada Hana. Bangga karena anaknya sekarang menjadi orang yang sukses, menyesal karena dia dengan sadar tak peduli dengan anak-anaknya dulu. Dan rasa bersalahnya itu bertambah ketika Hana membalas sikap tak acuhnya dulu dengan kepedulian Hana yang begitu besar sekarang.

Sementara bagi Hana, butuh perjuangan besar. Selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian, seperti gagalnya jalinan kasih antara dia dan Annas. Dia menjadi gigih berjuang untuk taraf hidupnya agar lebih baik. Pun rasa dendam pada ayahnya, luntur termakan waktu. Walau retakan masih meninggalkan bekas samar, tapi darah tetap lebih kental dari pada air.

Hana harus berterima kasih pada orang-orang yang pernah memandang keluarganya sebelah mata, dia tak dendam apalagi benci, karena merekalah dia bisa seperti ini. Sekarang dia siap menikmati kebahagiaannya yang telah dicapai.

Bertemu dan berbicara dengan ayahnya membuat Hana berpikir ulang sekali lagi. Hidup dalam penyesalan itu menyakitkan, waktu tak bisa diputar ulang. Hana tersenyum miris mengingat dirinya telah meninggalkan Tanjung begitu saja. Berusaha mempertahankan memang selalu lebih sulit dari pada meraih.

*****

Tanjung menghentikan mobilnya di pelataran parkir dan melihat mobil Ube sudah terparkir disana. Sebenarnya bukan hal yang mengherankan mengingat ini adalah malam minggu, dan sudah pasti Ube akan mengajaknya bermain futsal. Namun malam ini Tanjung sedang tak punya semangat sama sekali.

''Hai. Baru datang?'' sapa Ube begitu Tanjung masuk ruangan.

Tanjung mengangguk sambil membuka kulkas.

''Oh ya. Malam ini rencananya mau lawan Urang Jaya FC. Berencana untuk bergabung?''

Tanjung menggeleng pelan dan menghabiskan air minumnya. ''Mungkin lain kali.''

Ube menatap Tanjung. ''Tidak ada lain kali. Kau butuh hiburan. Senggaknya kau bisa bersorak di pinggir lapangan.''

''Aku capek banget.'' keluh Tanjung sambil menghempaskan tubuhnya di sofa.

''Oh ayolah. Lupakan masalahmu sejenak.'' Ube berusaha keras membujuk sahabatnya.

Tanjung tampak berpikir sejenak sebelum tersenyum dan mengangguk setuju.

''Ayo kita turun makan dulu. Lapar.'' Ube berdiri dan mengampit lengan Tanjung. Sementara Tanjung hanya diam menuruti apa saja kemauan sahabatnya.

Ube sudah duduk sambil menyuir ayam bakarnya. Dihadapannya Tanjung juga melakukan hal yang sama.

''Apa Hana baik-baik saja?'' tanya Ube memecah keheningan.

''Dia masih marah, tentu saja. Semalam dia juga tidur di rumah Ibu.''

Ube mengangguk, kemudian mereka diam lagi.

''Seberapa sering Sawala kesini? Maksudku, setelah kau menikah.''

''Sekali. Saat Hana pergi ke Bekasi. Aku tak melakukan apa-apa. Foto itu aku tau kalau Dinda yang mengambilnya. Mereka memang sudah merencanakannya.''

Ube selalu menjadi pendengar yang baik, dia tahu Tanjung mengucapkan dengan sungguh-sungguh. ''Sawala memang kecentilan sekali.''

Tanjung menatap serius pada Ube. ''Tapi semua memang salahku. Kalau aku jujur pada Hana dan tak berusaha menyangkal. Hanya saja saat itu aku tak berpikir panjang.''

Tanjung menunduk dan menghabiskan sisa makanannya dan memaksakan diri untuk menelan ayam bakar yang tarasa pahit itu.

Malamnya mereka sudah berada di lapangan futsal. Dengan bersemangat Ube berganti pakaian, lain halnya Tanjung yang masih terlihat tak bersemangat walau akhirnya dia ikut bermain juga.

''Bukannya olah ragamu dua kali lipat dariku. Di lapangan hijau iya, di lapangan ... '' Ube tak melanjutkan ucapannya, dia tersenyum mengejek. ''Dan dimana perut six pack kamu? Lalu sejak kapan kamu punya tattoo?''

''Waktu liburan di Lombok.'' jawab Tanjung jujur.

''Kenapa kamu memilih tattoo ... Apa itu?'' tanya Ube. Tattoo di punggung Tanjung memang nama Hana dalam aksara jawa.

*****

Sawala menatap sekeliling Cafe dan pandangannya terhenti pada sosok Hana yang sedang duduk di seberang kursinya. Hana terlihat tenang. Sawala memejamkan matanya erat-erat, berusaha mengusir bayangan akan kekalahannya dulu.

Hana dengan baik hati menyodorkan buku menu, tapi bagi Sawala terasa bagai sebuah intimidasi.

''Aku pesan minuman yang sama seperti kamu,'' ucap Sawala. Hana mengangguk tanpa banyak komentar.

Waktu berlalu dalam keheningan, sampai pelayan mengantarkan minuman mereka.

''Apa yang ingin kau bicarakan?'' tanya Sawala setelah pelayan tersebut berlalu.

''Mulai sekarang jauhi Tanjung, jangan ganggu rumah tangga kami.''

''Yang jadi pengganggu siapa maksudmu?''

''Sudahlah Sawala. Kamu tak akan membuatku frustrasi,'' seru Hana.

''Aku tak akan macam-macam dengannya kalau dia yang tak memanggilku. Sudah menikah saja sikap playboy  Tanjung tak hilang,'' ucap Sawala berusaha memancing emosi Hana.

''Terima kasih pujiannya.'' Hana melirik sinis  Sawala.

Hening. Sawala menatap Hana tanpa mengatakan apapun. Dia mengepalkan kedua tangannya seerat mungkin, tak peduli telapak tangannya akan terluka.

''Aku tak bisa,'' lirih Sawala.

''Sebegitu gigihnya huh? Sebenarnya berapa kali aku harus memperingatkan kamu?'' ucap Hana masih berusaha mengontrol emosinya.

''Daripada kamu memperingatkan aku, kenapa kamu tak menyalahkan saja Tanjung. Bukankah dia laki-laki yang mudah tergoda,'' ucap Sawala tegas walau tangannya gemetar.

''Tentu. Dia sudah menerima akibatnya.'' Hana menatap adik tirinya tajam.

''Apa kau tak merasa lelah?''

''Apa maksudmu?'' Sawala memicingkan matanya, dia tak mengerti dengan ucapan Hana.

''Bukankah kita selalu bersaing? Kau tau, sejujurnya aku selalu merasa iri padamu?'' ucap Hana dengan senyum penuh arti.

Sawala tertawa keras melihat Hana begitu gigih.

''Egomu terluka karena kali ini aku mengalahkanmu. Kalau Ayah bisa terkena rayuan Ibumu, tapi itu tak akan pernah terjadi pada Tanjung.''

Hana meraih tangan Sawala, dan menggenggamnya pelan. ''Bisakah kita mengakhiri semuanya?'' tanya Hana lagi.

Sawala menghela napas kemudian mengangguk. Dia melirik kaus yang entah kenapa malam itu ingin dia kenakan.

''Terima kasih karena mau jadi adik perempuanku. Dan yaaah, kamu memang adikku dan Raka tentunya.'' Hana mulai mengurai senyum.

''Kata siapa aku mau jadi adikmu!''

''Kataku.''

Beban satu persatu lepas. Sesederhana itu. Mereka tertawa, tawa yang sama tentunya.

*****

Hana berlari masuk ke dalam Rumah Sakit dengan wajah pucat. Dia melihat Ube sedang berbicara dengan seorang perawat.

''Bagaimana keadaan Tanjung?'' tanya Hana dengan wajah berlinang air mata.

''Han, duduk dulu. Kamu terlihat pucat ... Tanjung sedang diperiksa oleh Dokter.'' Ube mencoba menjelaskan.

Hana menghapus air matanya dengan punggung tangannya, ''Apa aku boleh masuk? Aku harus melihatnya.''

Ube mengangguk, ''Tentu saja, tapi nanti setelah dokter selesai melakukan rontgen.''

-------------------------------------------------------------------

11:12 pm
Thursday, 14 January
Gempas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro