Bab 19. Hati Yang Patah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Halaman belakang yang penuh bunga hias cantik, tertata rapi di pinggiran kolam ikan kecil. Keindahan yang sengaja dibuat oleh Papa Cindy supaya terkesan alami. Begitu pun gazebo beratap jerami yang kini di tempati Cindy dan Arel, menikmati silir angin sore dalam diam.

"Lo kenapa nggak barengan sama mereka aja, sih?" tanya Cindy setelah hampir 10 menit hanya saling diam.

Arel tersenyum miring, masih menatap ke arah kolam ikan. Ada sedikit sendu yang tersirat dari mata Arel, tak seperti biasanya.

"Gue 'kan nggak keliatan, kalo dia udah sama si benda luar angkasa."

Cindy tersenyum, ikut menunduk menatap tanaman hias milik Ibunya di pinggir kolam.

"Lo tuh, suka banget ya sama Ara? tanya Cindy pelan, dengan senyuman sama getirnya dengan milik Arel.

"Ya, seperti yang lo liat. Perasaan gue ke dia nggak boleh jadi beban, karena itu gue nggak mau menamai perasaan apa ini. Tapi jujur, gue nggak mau Ara terluka, sedih, atau apa pun yang nggak bikin dia nyaman. Gue pengen melindungi dia, jagain dia, dan I really want her for myself."

"Ya kalau menurut gue, itu namanya cinta sih. Lo jangan terlalu denial, karena itu akan menyakiti lo sendiri," tutur Cindy.

Sekalipun mereka sering ribut karena masalah ringan, tapi pertemanan Cindy dan Arel cukup dekat. Cindy mengenal kepribadian Arel dengan baik, dia tahu temannya itu menaruh hati pada Ara.

Dulu sekali Arel pernah bercerita bahwa dia memiliki cinta pertama yang tidak tersampaikan karena mereka putus kontak. Dan Arel masih berharap bisa bertemu lagi, hingga cinta pertamanya itu benar-benar kembali.

Ya, cinta pertama Rafael Wisaka adalah Jenara Izumi. Sahabat kecilnya.

Arel mengatakan semua itu saat awal pertemanan mereka. Saat Cindy diam-diam mengagumi sosok Arel dan harus rela berhenti berharap, karena Arel hanya menyukai Ara.

Cindy mengesah pelan, seulas senyum terukir di bibirnya. Kisah cinta diam-diam mereka benar-benar drama.
Menyukai seseorang yang menyukai orang lain.

Dia pada Arel, lalu Arel pada Ara, lalu Ara pada Bintang.

"Terus lo mau gimana? Gue yakin lo juga sakit hari setiap lihat Ara sama Kak Bintang."

"Gue nggak tahu. Tapi emang bener, perasaan gue nggak baik-baik saja melihat mereka. Gue nggak mau Ara pergi kalau dia tahu kenyataan perasaan gue. Dan gue, masih akan berusaha kembali menjadi sosok sahabat yang bisa dia andalkan. Gue akan selalu ada kapan pun Ara butuh gue. Gue janjikan itu sebagai refleksi cinta gue ke Ara."

"Beruntung ya jadi Ara," ucap Cindy sambil tersenyum. "Dia punya sahabat yang sayang dan cinta sama dia, lalu ada gebetan seperti Kak Bintang yang juga sayang sama dia."

"Ara juga beruntung punya sahabat kayak lo, Cinderella. Thanks ya, lo juga udah jagain Ara buat gue."

"Dih, apaan sih lo? Terdengar nggak seperti Arel, agak geli di telinga gue," ejek Cindy yang disambut kekehan oleh Arel, kemudian keduanya tertawa bersama.

"Wait—ini artinya lo rela, ya, Ara jadian sama Kak Bintang? Soalnya tinggal nunggu official nembak doang nih, mereka berdua."

"Rela nggak rela, apa pun yang bikin Ara bahagia bakalan gue lakukan. Meskipun gue benci banget sama si benda luar angkasa, tuh," jawab Arel menggerutu.

"Lagian kalo gue maksa Ara untuk membenci dia, yang ada gue keliatan jelek di mata Ara. So, biar waktu yang membuktikan gimana Bintang sebenernya. Gue hanya akan melihat dan menjaga Ara dari jauh. Gue akan ambil sikap kalau si Bintang macam-macam ke Ara."

Sore itu, senja menjadi saksi bisu dimana dua hati yang diam-diam patah itu duduk bersama. Ada harapan yang diucapkan dalam hati, berusaha menjaga agar hati yang patah itu tidak terulang lagi.

***

"Ra, kamu ikut karya wisata besok?" tanya Bintang saat mereka duduk bersama melihat pertandingan voli di lapangan.

"Iya, dong. Aku belum pernah yang kayak gitu selain pas SMP dulu. Kata Rere dan Cindy, seru! Dulu pas Kakak kelas XI juga begitu?"

Bintang tersenyum melihat ekspresi Ara yang antusias. Ara selalu menggemaskan di matanya.

"Iya, dulu ikut juga. Seru sih, meski cuma sehari tapi menyenangkan. Yah, aku jadi pengen ikutan lagi sama kamu."

"Nggak boleh, ih! Kan Kakak udah pernah, sekarang giliran aku."

Keduanya tersenyum, kembali fokus pada pertandingan. Namun, Ara melewatkan tatapan Bintang padanya.

"Ra."

"Iya, Kak?"

"Kalau aku bilang, aku suka sama kamu. Kamu mau nggak jadian sama aku?" bisik Bintang tepat di telinga Ara. Sontak membuat gadis itu menoleh cepat dengan mata membola.

"Kakak barusan bilang apa? Jangan bercanda deh, Kak." Ara menutup mulutnya karena kaget. Tentu saja, siapa yang menyangka di tengah pertandingan yang ramai orang ini, Bintang justru mengungkapkan perasaannya?

"Yah, masa harus diulang, Ra? Aku nggak bercanda, kok."

Debar jantung Ara tak lagi bisa disembunyikan, dia mendengar ucapan Bintang dengan jelas. Hanya tidak yakin bagaimana harus meresponnya.

"Gimana, Ra? Mau jadi pacar aku?"

"Kak ... ini beneran?"

Bintang menatap Ara dengan lembut, mengangguk lalu tersenyum.

"Kenapa aku, Kak? Maksudku, aku bukan seseorang yang istimewa. Hanya anak baru yang sering nabrak Kakak tanpa sengaja. Kenapa?"

"Karena itu kamu, Ra. Aku juga nggak tahu alasannya apa. Karena ketidaksengajaan itu justru bikin aku penasaran dan kepikiran kamu. Mencari tahu tentang kamu, sampai aku memutuskan untuk mendekati kamu."

Ara menunduk, menyembunyikan rona merah di wajahnya. Dia tidak menyangka perasaannya pada Bintang berbalas.

"Jadi, apa jawaban kamu, Ra?"

Ara mengangkat wajahnya perlahan sebelum akhirnya mengangguk.

"Iya, Kak. Aku mau jadi pacarnya Kak Bintang."

Mendengar itu, senyuman di bibir Bintang melebar. Binar di matanya menunjukkan bahwa dia sangat senang, hingga tanpa sadar diraihnya tangan Ara dan mengecupnya sekilas.

"Thanks, Ra. Aku seneng banget, dengernya," bisiknya lagi penuh kegembiraan. Ingin dipeluknya Ara, tetapi mereka sedang berada di tengah keramaian. Pada akhirnya hanya jemari yang saling bertaut, diiringi senyuman yang menghiasi bibir mereka.

***

"Arel."

Panggilan dengan nada terburu itu menghentikan Arel yang baru akan melewati pintu belakang untuk membolos.

"Eh, Cinderella. Ngapain lo ke sini? Mau mergokin gue bolos?" jawab Arel yang cukup heran, karena Cindy berkeliaran di belakang sekolah.

"Gue mau ngomong bentaran, bisa?"

"Penting?"

"Tentang Ara."

Satu kalimat yang berhasil menghentikan niat Arel untuk segera menyusul teman-temannya.

"Ara kenapa? Sakit? Terluka, atau apa?"

"Dia jadian sama Kak Bintang."

Arel diam. Tidak yakin dengan apa yang didengarnya barusan.

"Oh, lo tau dari mana?"

"Dia barusan cerita ke gue, dan dia seneng banget. Maaf, tapi gue ngerasa perlu kasih tau lo sebelum Ara," ucap Cindy yang kemudian menunduk.

Arel hanya diam sebelum akhirnya tersenyum pahit, "It's okay, gue nggak apa-apa. Sakit sih, dikit. Thanks ya, udah bilang. Paling nggak gue nggak akan sesakit itu kalau nanti Ara cerita."

Kemudian tanpa mengatakan apa pun lagi, Arel melangkah pergi menerobos pintu belakang. Meninggalkan Cindy yang hanya diam menatap kepergiannya.

Ternyata, harapan iti tidak terkabul.
Hati yang patah itu semakin patah.
Berkeping-keping dan melukai pemiliknya.

.
.
.
Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro