Bab 20. Semoga Bahagia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Ara sudah sibuk bersiap untuk karya wisatanya hari ini. Papanya bahkan sudah diwanti-wanti sejak semalam untuk tidak bangun terlambat.

Arel tidak bisa menjemputnya. Ara tidak tahu kenapa, sahabatnya itu kemarin sudah pamit padanya ada urusan lain dulu.

"Udah siap semua?" tanya si Papa yang melihat Ara berdiri di ruang tamu dengan ransel di punggungnya.

"Udah, Pa. Aman pokoknya."

"Sayang, jangan lupa bekalnya. Nanti dibagi sama Rafael, Mama bikin porsi dobel untuk kalian," ucap sang Mama yang datang dengan paper bag di tangannya.

"Iya, Ma. Nanti aku bagi sama Rafael."

"Tumben nggak jemput? Rafael ikut, 'kan?"

"Ikut kok, Ma."

"Ya sudah, hati-hati ya."

"Siap, Ma. Aku berangkat ya." Ara mencium punggung tangan sang Mama sebelum berangkat diantar oleh Papa.

Ternyata teman-temannya yang lain pun terlihat antusias. Di halaman sekolah sudah berkumpul kelas XI-I sampai XI-III yang menunggu bus datang.

Ara turun dari mobil si Papa, berpamitan, lalu mencari keberadaan Rere dan Cindy.

"Ara! Sini!"

Kedua sahabatnya itu sedang duduk berteduh di bawah pohon Tabebuya yang saat ini sedang bermekaran, dengan bunga warna pink seperti Sakura.

"Loh, nggak sama Arel?" tanya Rere heran.

"Nggak. Katanya dia ada urusan jadi nggak bisa jemput."

"Owalah, tumben," jawab Cindy yang tersenyum canggung.

Apa karena omongan gue waktu itu?
Duh, jadi merasa bersalah gue - batin Cindy menyesal.

"Kalian udah ketemu Arel?" tanya Ara yang celingukan mencari.

"Belum lihat sih, belum datang kayaknya."

Sampai mereka dikumpulkan untuk masuk bus sesuai kelas masing-masing, Ara tidak kunjung melihat Arel.

Ara membuka ponselnya, mencari nama Arel, bermaksud mengiriminya pesan.

Namun, justru Ara dikejutkan oleh Arel yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.

"Arel! Dari mana aja sih? Dicariin, juga!" omel Ara kesal namun lega melihat keberadaan sahabatnya itu.

Sementara Arel hanya diam, duduk begitu saja sampai bus mulai berangkat.

Ara merasakan ada yang berbeda dari Arel hari ini. Sahabatnya itu lebih diam sejak tadi, entah apa sebabnya. Hingga setelah 15 menit mereka saling diam, Arel tiba-tiba melingkarkan tangannya di lengan Ara lalu menyandarkan kepalanya di bahu Ara.

"Arel—kamu, kenapa?"

"Ra, bisa nggak hari ini aja lo fokus ke gue? Hari ini aja lo habiskan waktu sama gue?" bisik Arel.

"Hah?"

Ara tentu saja bingung dengan ucapan Arel yang tiba-tiba tak seperti biasanya.

"Bisa nggak, kalau gue minta untuk seharian ini lo pura-pura jadi pacar gue."

Ara semakin bingung dan tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Ada apa dengan sahabatnya itu?

"Arel, kenapa?"

"Nggak ada apa-apa, Ra. Gue cuma mau mengenang masa kecil kita aja. Lo ... nggak lupa, 'kan?"

Karena nanti lo akan sibuk dengan kisah percintaan lo sendiri, Ra.

Ara hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia ingin bertanya lagi, namun Arel sudah memejamkan matanya.

Dari seberang bangkunya, Rere dan Cindy menatap Ara ingin tahu. Namun keduanya paham, ada sesuatu diantara dua sahabat itu. Untungnya mereka berempat berada di baris kursi yang sama, sehingga tak seorangpun bisa melihat berapa seorang Rafael Wisaka terlihat rapuh sekarang.

***

"Jalannya sama gue aja, ya?" ucap Arel yang sudah menggenggam jemari Ara begitu mereka turun dari bus.

"Kamu beneran nggak apa-apa? Nggak sakit, 'kan?" Ara justru menatap Arel cemas, karena perubahan sikap Arel hari ini.

"Nggak kok. Yuk, jalan."


Arel yang sekarang bersamanya lebih terasa seperti Rafaelnya dulu. Banyak diam, dan mengikutinya kemana-mana.

Ara rindu.

Rindu suasana seperti ini. Bahkan sejak dia tahu Arel adalah Rafaelnya. Dia ingin kembali seperti dulu, namun terlalu malu dan tak ingin memaksakan kenangan lama pada sosok Arel yang sekarang. Tetapi, ternyata Arel merasakan hal yang sama dengannya.

"Ra, kalau seandainya gue meminta lo berhenti menyukai Bintang, apa yang lo akan lakukan?"

"Kenapa nanya begitu tiba-tiba? Kamu beneran segitu nggak suka ya sama Kak Bintang? Bahkan dari awal kamu udah tunjukkin itu ke aku."

"Kelihatan, ya?"

"Iya dong, tapi apapun itu, aku nggak mau ikut campur antara urusan kamu sama Kak Bintang. Lalu, yang paling penting, Kak Bintang nggak jahat sama aku."

"Lo suka banget ya, sama dia?"

Ara menatap Arel lalu tersenyum, "Iya."

Dan demi apa pun, Arel tidak ingin senyuman itu hilang karena keegoisannya. Karenanya tanpa sadar tangannya mengusak kepala Ara dengan sayang.

"Kalo gitu, gue hanya bisa berharap lo bahagia, Ra. Dan yang perlu lo tahu, kapan pun lo butuh tempat untuk kembali, berbagi, apa pun itu, gue akan selalu ada buat lo. Selalu, Ra."

Ada rasa haru dan perasaan menghangat dalam diri Ara mendengar itu dari Arel, tatapan Arel saat ini entah kenapa membuatnya ingin menangis. Lalu diraihnya tubuh sahabatnya itu dalam sebuah pelukan.

"Thanks ya, Arel. Aku beruntung punya sahabat seperti kamu. Aku beruntung karena kita ketemu lagi, makasih karena tetap jadi Rafaelku," bisik Ara lembut.

"Sama-sama, Ra."

Arel melepaskan pelukan mereka dengan sebuah senyuman, "Jalan lagi yuk, yang lain udah sampai jauh tuh."

Ara mengangguk, keduanya sedikit berlari menyusul rombongan. Hari itu dilalui dengan kebersamaan yang indah oleh keduanya.

Sama seperti masa kecil mereka dulu.

Arel hari ini membawa sebuah kamera dan meminta Ara untuk mengambil pose di pinggir sungai.


"Lo aneh, kamera gue kenapa malah dijadikan properti, trus gue fotonya jadi pakai ponsel, sih?"

"Biar candid gitu, Arel. Sini gantian aku fotoin."


"Kok cakep sih?" gerutu Ara setelah mengambil foto Arel.

"Emang cakep. Sayangnya, lo nggak mau sama gue."

"Dih, apaan deh. Suka receh nih omongannya," cibir Ara yang kemudian kembali berjalan bersama teman-temannya.

Arel tahu, cinta pertamanya tidak berhasil. Namun, dia akan tetap menunggu dan berharap suatu hari nanti, cinta pertama itu yang akan jadi cinta terakhirnya.

***

Acara wisata berakhir sebelum terlalu malam, mereka sudah sampai kembali di sekolah.

"Ara!"

Satu panggilan dari suara yang kini akrab di telinga itu membuat Ara menoleh begitu turun dari bus.

"Kak Bintang!"

Ara tersenyum saat mendapati Bintang sudah menunggunya.


"Kok Kakak di sini?"

"Iya nih, mau jemput pacar. Kayaknya capek banget abis jalan-jalan," ucap Bintang tersenyum lalu menggandeng tangan Ara.

Tepat saat itu, Arel berjalan mendekat lalu berhenti di hadapan keduanya.

"Jagain dia buat gue, kalo lo bikin dia kecewa dan nangis, gue sendiri yang akan hajar lo sampe abis," bisiknya tepat di telinga Bintang.

Setelah mengucapkan hal itu Arel berlalu pergi, meninggalkan cinta pertamanya selesai di hari ini.
Juga tatapan Bintang yang sulit diartikan padanya.

"Kalian ngomongin apa?" Tanya Ara memecah lamunan Bintang.

"Eh? Nggak kok, dia cuma bilang kalau kamu kecapekan," jawab Bintang berbohong.

Untungnya Ara percaya dengan jawaban Bintang. Mereka masih menunggu Rere dan Cindy untuk pulang bersama.

.
.
.


Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro