Bab 21. Berubah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

.
.
.

Hari-hari menjelang olimpiade semakin dekat. Para siswa yang akan menjadi perwakilan sekolah, nampak semakin sibuk.

Cindy juga semakin jarang ada waktu di sekolah, sibuk berlatih bahkan kadang tidak ikut kelas karena jadwal latihannya yang memang mendapat dispensasi.

Arel juga seperti itu. Bahkan dia hampir tidak pernah ada di kelas. Hanya terlihat di pagi hari atau di jam istirahat, kemudian menghilang sampai jam sekolah berakhir. Dia bahkan sudah tidak lagi menjemput Ara untuk berangkat sekolah bersama.

Tentu saja hal ini membuat Ara sedikit kecewa. Tetapi dia paham karena Arel sibuk mempersiapkan diri untuk olimpiade yang semakin dekat.

Lain halnya dengan Bintang. Sebagai sesama peserta olimpiade, dia juga sama sibuknya seperti Arel. Tetapi, dia masih bisa meluangkan waktu bersama Ara. Apalagi kini status mereka adalah pacaran.

Seperti halnya siang itu, Ara bersama Rere sedang menunggu mie ayam bakso pesanan mereka di kantin. Tiba-tiba saja Bintang datang untuk bergabung di meja yang sama dengan mereka.

"Loh, kok Kakak di sini?" Tanya Ara kaget melihat kehadiran Bintang.

"Kenapa, nggak boleh, nih?"

"Nggak, bukan gitu. Emang Kakak nggak sibuk persiapan olimpiade? Kayak yang lain?"

Bintang tersenyum mendengar pertanyaan Ara, kemudian mengusap pelan puncak kepala Ara dengan gemas. "Sibuk sih, tapi menyempatkan diri untuk ketemu kamu. Kangen soalnya."

Seketika rona merah menghiasi wajah Ara karena jawaban Bintang yang tiba-tiba.

"Aduh, kayaknya aku pindah meja aja, ya? Nggak tahan banget jadi nyamuk di sini," gerutu Rere yang sudah siap mengangkat gelas esnya.

"Jangan! Rere di sini aja!" Tahan Ara yang menangkap lengan Rere agar sahabatnya itu tidak pergi meninggalkannya.

"Nggak mau jadi nyamuk, ih. Lagian ada Kak Bintang yang nemenin kamu."

Bintang tersenyum melihat dua sahabat itu, "Duduk aja di sini, Re. Lagian saya nggak lama kok."

"Kak Bintang kalau ngegombal sama Ara, bikin iri deh, kasian dikit napa sama sahabatnya yang jomblo ini." Rere kemudian kembali duduk sementara satu lengannya masih dipegangi oleh Ara.

"Ya, abisnya Ara lucu banget kalau digombalin. Wajahnya merah, bibirnya cemberut, malu-malu tapi gemes," jawab Bintang yang membuat Ara semakin malu dan memukul pelan lengan Bintang yang ada di hadapannya.

"Diem deh, Kak! Aku malu!"

Bintang dan Rere tertawa melihat Ara yang kini wajahnya memerah malu dan mengipasi wajahnya dengan tangan. Sementara beberapa murid di dekat meja mereka menatap dengan iri karena melihat kedekatan Ara dan Bintang.

Oh, iya. Meskipun keduanya sudah berstatus pacaran, tetapi tidak ada yang tahu hal itu selain Cindy, Rere, dan Arel. Keduanya sepakat untuk tidak mengumbar status mereka yang bisa menimbulkan kehebohan di sekolah, mengingat betapa populernya Bintang. Dan lagi, Ara tidak ingin fokus Bintang terpecah jika mendengar gosip tidak jelas. Bintang harus fokus pada olimpiade dan persiapannya menjelang ujian kelulusan.

"Kakak udah makan? kok nggak pesen makan?" Tanya Ara setelah menyadari Bintang tidak memesan apapun.

"Tadi udah makan, dapat nasi kotak dari bimbingan. Kamu tuh, makan yang banyak."

"Ini kan lagi nungguin mie ayamnya," ucap Ara yang bertepatan dengan ibu kantin datang mengantar pesanannya. "Pas banget ini datang, udah lapar."

Bintang tertawa kecil mendengar Ara, diperhatikannya gadis yang kini mengisi hatinya itu. Mungkin apa yang dilakukan Bintang terlihat berlebihan di mata orang lain, namun kenyataannya Bintang selalu kagum setiap kali melihat Ara.

"Kakak beneran nggak makan?"

Sekali lagi Bintang menggeleng, masih dengan senyum yang manis dan tatap memuja pada Ara. Dia sendiri tidak pernah merasa sampai seperti ini sebelumnya. Pernah menyukai seseorang, tetapi rasanya berbeda. Ara menggemaskan, membuatnya selalu ingin melindungi gadis itu, menjaganya, ya perasaan seperti itu yang Bintang rasakan. Manis dan menyenangkan karena selalu menggelitik hatinya.

"Kakak nggak capek belajar terus? Maksudku, buat ujian kelulusan terus ditambah olimpiade."

"Gimana ya, kalau dibilang capek sih, iya. Tetapi udah jadi kebiasaan juga, jadi ya nggak apa-apa. Lagian, sekarang udah punya moodbooster sendiri, jadi lebih semangat deh."

"Hah? Emang apa moodboosternya, Kak?"

"Kamu."

"Uhuk!" Ara yang baru menyeruput kuah mie ayam, tersedak saat mendengar ucapan Bintang. Sementara Bintang dengan paniknya segera menyodorkan segelas air pada Ara, sementara Rere menepuk-nepuk pelan punggung Ara.

"Kamu nggak apa-apa, Ra? Pelan-pelan makannya," ucap Rere khawatir.

"Nggak apa-apa, cuma kaget dikit." Lalu tatapannya beralih pada Bintang, "Kak, jangan gombal pas aku makan! Kalau aku keselek begini, sakit tau!" omelnya pada Bintang yang kini tampak menyesal.

"Maaf, Ra. Aku nggak bermaksud gitu, soalnya gemes banget kamu tuh kalo digombalin."

"Tuh, 'kan ...."

"Iya, iya, sorry." Bintang kemudian mengusap singkat kepala Ara sebelum kemudian beranjak. "Maaf ya, tapi udah waktunya aku balik ke bimbingan. Kamu aku tinggal dulu, ya?"

"Iya, yang semangat ya belajarnya. Biar menang olimpiade nanti."

"Tentu aja, asal kamu semangatin terus kayak gini, aku pasti semangat."

"Mulai lagi ..."

Bintang tertawa melihat protesan Ara pada gombalan recehnya, kemudian setelah melampai pada Ara dan rere, Bintang kembali ke kelas bimbingannya. Meninggalkan ramainya kantin tanpa menyadari bahwa apa yang dilakukannya barusan memantik sebuah api di hati seseorang.

Iya, seseorang yang sejak tadi memperhatikan interaksi Ara dan Bintang dari ujung meja terjauh di kantin.

Seseorang yang keberadaannya dicari namun lebih suka menyembunyikan diri. Setidaknya untuk sekarang. Untuk beberapa saat.

Seperti sebuah bayangan, dia hanya akan melihat semuanya dari kejauhan. Memastikan seseorang yang disayanginya bahagia dan tak terluka.

Getar ponsel di atas meja yang sedari tadi dia abaikan kini menarik perhatiannya saat nama seseorang muncul pada notifikasi pesannya.

'Kamu, kemana?'

'Masuk sekolah, 'kan?'

'Aku nggak liat kamu beberapa hari ini, kenapa nggak kasih kabar sama sekali, sih?'

'Arel? Kamu liat pesanku nggak, sih?'

Rentetan pesan itu masuk dan hanya dibaca oleh Arel dari jendela notifikasi tanpa membuka room chatnya.

Dia tidak ingin membalasnya.
Dia masih belum terbiasa.
Dia masih merasakan luka dan kecewa.
Dia masih butuh waktu.

Lalu satu pesan lagi muncul di ponselnya, kali ini dari Juna, salah satu temannya yang juga mengikuti olimpiade bersamanya.

'Lo dimana? Buruan balik, anak-anak yang lain udah pada balik ke kelas bimbingan, nih.'

Menghembuskan napasnya kasar, Arel meraih ponselnya lalu memasukkannya kembali dalam saku sebelum beranjak meninggalkan kantin untuk segera kembali ke kelas bimbingannya. Lebih baik dia fokus dan menyibukkan diri dengan kelasnya daripada sakit kepala memikirkan patah di hatinya.

Saat dia berjalan melintasi lapangan basket, Arel melupakan konsep tak terlihat yang sejak kemarin dilakukannya. Konsep menjadi bayang-bayang tanpa terlihat oleh Ara atau teman-temannya. Tanpa sadar dia melangkah sampai sebuah suara yang sangat dihapalnya itu memanggilnya.

"Arel! Tunggu!"

Itu suara Ara.

Memejamkan matanya karena merasa bodoh telah menampakkan diri, Arel menahan kepalanya untuk menoleh. Dia justru mempercepat langkahnya, berpura-pura seolah tak mendengar teriakan Ara.

"Arel! Kamu denger aku nggak, sih?"

Sorry, Ra.
Gue nggak mau denger suara lo saat ini.

Lalu langkah terburu itu akhirnya sampai di ruangan tempat kelas bimbingannya diadakan. Terburu mengetuk pintu dan masuk setelah mendapatkan izin, Arel menyelamatkan dirinya dengan bersembunyi dengan kesibukannya.

Sementara Ara yang sejak tadi melihat Arel, berusaha untuk mengejarnya. Sayangnya, Arel tidak mau berhenti. Entah dia bermaksud melakukannya atau memang tidak mendengar suaranya?

Rasanya Ara kecewa.

Dia merasa ini salah. Bukan seperti ini seharusnya yang terjadi.

Kenapa Arel terkesan menjauhinya?

.
.
.

Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro