Bab 28. Tanya dan Jawabnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kadang manusia itu buta meski dia melihat, kadang dia tuli meski mendengar.

Mungkin aku melihat tanda yang kau berikan, mungkin aku mendengar sinyal yang kau berikan.

Namun aku terlalu bodoh untuk mengerti dan menyadarinya.

.
.
.

Sudah terlalu lama dari waktu yang dia pikirkan. Terlalu lama baginya untuk menunggu penjelasan yang tak kunjung dia dapatkan.

Ara bergerak gelisah di atas kasurnya. Pikirannya tidak tenang sejak pulang dari rumah sakit tadi.

Ini semua tentang Arel.

Sahabatnya itu masih dengan alasan yang tak dimengerti oleh Ara, mendiamkannya.

Bahkan tadi, Arel tak menatapnya dengan cara yang biasanya. Sorot mata Arel padanya begitu dingin, juga terlihat sekali bahwa Arel menghindarinya.

Pertanyaan paling besar yang ada di kepala Ara adalah, kenapa?

Baru saja dia mengirimkan pesan pada Arel, cukup panjang. Berharap mendapatkan respon yang sama dari Arel. Namun, dia hanya membalas dengan beberapa kata saja. Ara sudah tidak tahan jika Arel mendiamkannya seperti ini.

Kalaupun dia melakukan kesalahan, harusnya Arel membicarakannya alih-alih diam seperti ini, 'kan?

Sekarang pukul 8 malam. Sedikit ragu, namun Ara memutuskan untuk bangun dari posisi rebahannya lalu menyambar jaketnya.

"Mau kemana, Ra?" Tanya sang Mama saat melihatnya buru-buru menuruni tangga. Kedua orang tuanys sedang berada di ruang tengah, menonton tv seperti biasa.

"Ma, Pa, boleh nggak, Ara keluar sebentar?"

"Mau kemana malam-malam begini?"

"Ara ke rumah Rafael sebentar, boleh?"

"Tumben, malam begini mau ke sana. Ada keperluan sekolah?"

"Hm? Iya, ada yang mau Ara tanyakan, tetapi Rafael nggak bisa dihubungi. Makanya Ara mau kesana," jawab Ara terpaksa berbohong, karena tidak mungkin dia mengatakan hal yang sebenarnya pada orang tuanya, 'kan?

"Mau Mama tanyakan ke Tante Ninis dulu? Ini sudah malam, takutnya kedatangan kamu mengganggu istirahat mereka," usul Mama.

Ara tampak berpikir sebentar sebelum kemudian mengangguk, "Iya deh, Ma, Ara minta tolong, ya?"

Sang Mama kemudian meraih ponselnya untuk menghubungi Tante Ninis sementara Ara duduk menunggu di samping sang Papa.

"Oh, oke, Nis. Makasih ya, nanti aku sampaikan ke Ara." Kemudian Mama Ara menutup panggilannya, dan menoleh pada Ara.

"Sayang, Tante Ninis bilang kalau Rafael hari ini tidak pulang. Dia izin menginap di rumah temannya."

Rasa kecewa langsung menghampiri saat Ara mendengar ucapan Mamanya. Dia harus menyelesaikan ini sekarang, dia tidak bisa menunggu besok.
Lalu sebuah pemikiran muncul di benaknya, merasa tahu dimana Arel berada.

"Eh, Ma, Pa, kalau gitu Ara ke MiniMart dulu, ya? Mau beli cemilan buat temen belajar," ucapnya kemudian.

Maaf ya, Ma, Pa...
Ara harus bohong karena Ara nggak tenang sebelum ketemu Arel.

"Mau Papa antar?" Tawar sang Papa.

"Nggak usah, Ara pesen ojek online aja. Ara pergi dulu ya, daripada nanti kemalaman."

Setelah berpamitan, Ara berjalan keluar menuju halaman untuk menunggu abang ojek pesanannya datang. Tak sampai 5 menit, abang ojeknya datang. Lalu Ara meminta untuk diantar ke rumah sakit, tempatnya berpisah dengan Arel tadi sore.

Begitu memasuki lobi, Ara segera menyusuri lorong ke arah paviliun Bougenvile, tempat teman Arel dirawat.

Dan benar, sosok yang dicarinya ada di sana. Duduk bersandar di kursi tunggu dengan dua tangan bersilang di depan dada.

Ara berjalan mendekat, berusaha tidak menimbulkan suara langkah yang mengganggu. Dia menghentikan langkahnya tepat di hadapan Arel, menatap lekat-lekat wajah penuh luka lebam yang kelelahan itu.

"... Arel," panggilnya begitu lirih serupa bisikan. Namun, suaranya tetap berhasil membuat Arel mengerjap lalu membuka matanya.

"Ara?"

"Iya, ini aku."

Arel menegakkan duduknya, membuka matanya lebar, menghalau sisa kantuknya untuk memastikan apakah Ara benar-benar di hadapannya.

"Lo ngapain di sini?"

"Aku mau ketemu kamu."

Tentu saja ada kebingungan yang dirasakan Arel, namun dia memilih untuk mempersilakan Ara untuk duduk di sampingnya.

Keduanya tak langsung bicara, melainkan saling diam, membiarkan desau angin sesekali terdengar lewat daun-daun yang bergesekan.

"Arel, kamu nggak apa-apa?" Tanya Ara pada akhirnya dengan lirih. Dia bingung harus memulai dari mana untuk mengungkapkan isi kepalanya.

"Yah, seperti yang lo liat. Gue baik tapi juga nggak," jawab Arel tersenyum kecut. "Lo nggak datang jauh-jauh cuma untuk nanya itu, 'kan?"

Ara menghela, mengatur dirinya agar bisa mengatakan semuanya dengan mudah pada Arel.

"Aku datang untuk ketemu kamu, juga pertanyaan yang mau aku sampaikan ke kamu."

Arel tidak menjawab, hanya diam menatap lurus ke depan.

"Kamu, kenapa bersikap kayak gini ke aku? Apa aku ada salah sama kamu? Tolong jelasin sama aku, kenapa kamu menghindar dan diemin aku kayak gini?"

Mendengar itu, Arel menunduk dan tersenyum kecut. Menautkan jari-jarinya, lalu menghela.

"Gue nggak akan membela diri atau beralasan karena gue emang ngelakuin itu ke lo."

"Kenapa? Aku melakukan kesalahan sama kamu?"

"Karena gue nggak suka liat lo sama Bintang. Bukan kesalahan lo, kok, Ra. Seperti yang lo tau, gue nggak suka sama dia sejak lama. Jadi gue perlu menyesuaikan diri, liat lo sama dia."

Bohong.
Karena sebenernya gue cemburu, Ra.

Ara diam mendengar jawaban Arel yang menurutnya kurang memuaskan. Ada hal yang disembunyikan oleh Arel darinya. Alasan yang sebenarnya.

"Kamu sebegitu nggak sukanya sama Kak Bintang?".

"Bisa dikatakan begitu."

"Kenapa? Kak Bintang orangnya baik, Rel."

"Dia baik sama lo, Ra. Tapi seperti yang lo liat tadi, gue sama dia nggak bisa bersikap baik satu sama lain."

Ara hanya diam, "Kalau itu alasan kamu, oke, kamu bisa benci Kak Bintang, tapi kenapa aku?"

"Karena lo pacarnya Bintang."

"Rel—"

"Udah, Ra, berhenti. Lo udah denger alasan gue, jadi sebaiknya lo pulang. Udah malam, gue nggak bisa anterin lo sekarang."

"Nggak, aku nggak mau pulang. Aku mau denger jawaban kamu."

"Lo udah denger jawaban gue tadi.".

"Bukan. Bukan itu yang mau aku denger. Aku nggak mau kamu jauhin aku dan diemin aku kayak begini," jawab Ara lirih. Dia menunduk, menahan air yang siap meluncur dari sudut matanya. Rasanya sesak saat ini.

Arel yang melihat itu merasa tidak tega, diusapnya pelan kepala Ara.

"Maaf, Ra."

"Oke, aku nggak akan maksa kamu untuk menyukai Kak Bintang. Tapi jangan marah sama aku," ucap Ara dengan suara bergetar, "Jangan begini sama aku, bikin aku bingung. Harusnya kamu nggak perku bersikap akrab sama aku sejak awal kalau akhirnya asing. Harusnya kamu pura-pura nggak kenal aku kalau akhirnya kamu nggak mau jadi sahabat aku lagi, harusnya—"

Ucapan Ara terhenti saat tiba-tiba Arel menariknya dalam pelukan.

"Harusnya gue nggak bikin lo sedih, Ra," lanjut Arel mendekap erat Ara, sementara Ara tidak bisa menahan air matanya lagi.

"Udah, jangan nangis, nanti gue dikira ngapa-ngapain lo lagi," ucap Arel berusaha melucu agar Ara tidak menangis lagi.

"Jangan pergi ninggalin aku, Rel. Aku nggak punya sahabat selain kamu."

"Ada Rere sama Cindy."

Ara memukul pelan bahu Arel, "Itu beda! Mereka juga sahabat aku tapi nggak sama kayak kamu," jawabnya disela isak.

"Aku spesial?"

Ara mengangguk.

"Pake karet dua apa telur dua?"

"Arel, ihh!" Rajuk Ara mendengar candaan Arel yang berhasil membuatnya tersenyum.

"Udah, jangan nangis. Makin jelek lo." Arel melepas pelukan mereka lalu mengusap jejak air mata di pipi Ara.

"Jangan marah sama aku, ya?"

"Iya."

"Janji? Nggak boleh diemin aku."

"Iya."

"Jangan menghindari aku lagi."

"Iyaaa, bawel deh."

Arel kembali mengusap puncak kepala Ara, "Udah, balik sana. Udah malam ini, aku pesenin ojek mobil ya?" Tawarnya pada Ara.

Tepat saat itu Gala muncul bersama Asgaf, membuat keduanya kaget karena melihat Ara di sana.

"Lo balik aja, deh, Rel! Gue sama Asgaf yang nunggu di sini."

"Iya, bener kata Gala. Lagian, lo besok lomba ya, sebaiknya lo pulang dan istirahat.

Arel sempat bingung dan menolak, hingga akhirnya dia pulang bersama Ara. Menunggu sebentar di pelataran rumah sakit sampai masuk ke ojek mobil, Ara tidak melepas genggaman tangannya pada Arel.

Sudah ada tawa.
Sudah ada canda.
Setidaknya luka itu sudah sedikit tertutup.

Entah akan kembali terbuka atau justru sembuh.

Hanya mereka yang tahu.

.
.
.
Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro