Bab 29. Sebuah Perhatian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Yes, I look happy, happy all the time
But you don't see me,
see me when I cry.

- Closed Doors -
.
.
.

Ara sudah sibuk sejak pagi, membuat lumpia beef dan kornet yang rencananya mau dia berikan untuk Bintang sebelum sang kekasih pergi berlomba.

"Kamu ndak bikin buat Rafael juga, Sayang?" Tanya sang Mama yang membantu Ara menyusun dalam kotak makan.

"Nggak sempet, Ma. Tadi Ara tidur lagi abis subuh jadinya kesiangan. Ini aja untung bisa jadi," jawab Ara sambil mematikan kompor setelah satu gotengan terakhirnya.

"Kamu tuh ndak kasihan sama Rafael, pilih kasih. Kalo Tante Ninis tahu, pasti kecewa karena kamu nggak baik sama anaknya. Wong Tante Ninis tuh sering bawain kue buat kamu sama Mama," gerutu Mama Ara lagi, membuat Ara jadi merasa bersalah.

Padahal semalam dia mencari Arel sampai ke rumah sakit, tetapi justru sekarang dia mengabaikan sahabatnya itu lagi.

"Ah, Mama bikin aku pusing. Trus ini gimana? Ara harus segera berangkat."

"Ya, terserah kamu. Lha wong kamu buru-buru begitu. Bikin lagi nggak sempat.

Tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari sang Mama, dengan perasaan bimbang dan menyesal, Ara pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian.

Dia tidak ingin terlambat datang, dan melewatkan waktu untuk memberikan kudapan buatannya pada Bintang.

"Ma, Ara berangkat dulu, ya!" Pamitnya setelah siap dan menyambar kotak bekal di atas meja. Mamanya yang berada di kamar mandi hanya menjawan seadanya sampai Ara keluar rumah.

***

"Rere! Cindy!"

Keduanya menoleh serentak saat mendengar panggilan dari Ara dari halaman. Hari ini mereka datang untuk menjadi tim semangat bagi tim olimpiade, yang juga akan diadakan di aula Universitas Bumi Dirgantara . Acara dimulai pukul 10 pagi.

"Hah, capek banget lari-larian di pagi hari," ucap Ara yang kini mengatur napasnya yang tersengal.

"Kamu ngapain lari-larian? Kita berangkat jam 9, masih ada 30 menitan," ujar Rere terkikik melihat Ara yang mengipasi wajahnya dengan tangan.

"Takut ketinggalan, lagian aku mau ketemu Kak Bintang dulu."

Cindy menatap Ara sambil menggeleng, "Udah bucin ya pagi-pagi."

Ara hanya meringis mendengar ucapan Cindy, "Kalian udah sarapan?"

"Udah, tadi aku sama Cindy beli nasi pecel deket pasar."

"Wah, enak, jadi kepengen," Ara memajukan bibirnya mendengar ucapan Rere.

"Yah, lain kali kita bilang deh, kalau beli sarapan. Siapa tau kamu nitip."

"Iya harusnya, tadi aku nggak sempet sarapan soalnya kesiangan bikin bekal buat Kak Bintang."

"Pacar nomor satu, diri sendiri urusan kesekian ya? Sampe rela nggak sarapan demi pujaan hati," sibdir Rere kemudian tertawa bersama Cindy sementara Ara meringis malu.

"Ih, Rere mah gitu! Udah ah, aku mau ke kelasnya Kak Bintang dulu, ya! Nanti jangan tinggalin aku naik bis nya!"

"Iya-iya, udah sana pergi dulu. Kita tungguin di kelas ya!"

Setelahnya Rere dan Cindy hanya bisa geleng kepala melihat tingkah menggemaskan Ara yang terlihat seperti anak SMP padahal udah SMA.

Ara baru sampai di lorong menuju kelas Bintang saat melihat sang pacar berdiri di depan kelasnya, bercanda dengan teman-temannya. Namun, saat melihat kedatangan Ara, Bintang tersenyum lalu menghampiri gadis itu.

"Kamu baru datang?"

"Iya, tadi agak kesiangan. Kakak nggak siap-siap?"

"Apanya?"

"Ya untuk lombanya nanti, ngapain gitu."

Bintang tersenyum mendengar pertanyaan Ara, lalu mencubit hidung Ara gemas. "Ya, nggak ada. Kan udah banyak latihan kemarin. Nanti tinggal jawab-jawab pertanyaan sama debat aja."

"Oalah, begitu. Kukira perlu ngapain lagi sebelum tanding."

"Kakak udah sarapan? Ini tadi aku bikin lumpia beef sama kornet buat camilan. Dimakan ya, Kak."

Ara menyerahkan kotak makanannya pada Bintang dengan senang. Bintang yang tidak menyangka akan dibawakan makanan oleh Ara, menerimanya dengan penuh senyum senang.

"Jadi gini ya, rasanya dibawain bekal sama pacar? Kayaknya aku bakal ketagihan deh," ucap Bintang, kali ini tangan kanannya terulur untuk mengusap kepala Ara dengan sayang.

"Makasih banyak ya, pacar gemesku. Jadi tambah semangat nanti lombanya." Ucap Bintang masih dengan senyum hangatnya yang menular pada Ara. Keduanya saling tertawa dengan rasa senang yang menjadi candu, yang membuat mereka lupa pada hal lainnya. Hanya fokus pada satu sama lainnya.

"Semoga nanti lancar dan pulang bawa kemenangan, ya, Kak."

"Amin, semoga ya. Aku pasti kasih usaha terbaik aku, karena seperti yang aku bilang ke kamu sebelumnya. Aku mau ninggalin sekolah ini dengan prestasi."

"Iya, pasti menang. Nanti kalau menang, aku kasih hadiah."

Mendengar itu kedua alis Bintang bertaut bingung, "Hadiah? Untuk aku?"

Ara mengangguk, "Iya dong, 'kan pacar aku cuma kamu, Kak."

"Wah, jadi nggak sabar mau hadiahnya."

"Eh? Menang dulu baru hadiah!"

"Iya-iya, Sayang."

Ara hanya bisa tersenyum malu setiap kali mendapat perlakuan manis dari Bintang. Memang, kekasihnya itu pandai menawan hati.

***

Arel baru saja datang dan dengan malas berjalan menuju kantin. Dia tidak mau ke kelas lalu menjadi gosip karena wajahnya yang membiru dan penuh luka akibat perbuatannya kemarin.

"Arel?"

Mendengar namanya dipanggil, Arel menoleh lalu melihat Cindy dan Rere yang kini berjalan ke arahnya.

"Ya ampun! Muka lo, astaga!"

Rere menutup mulutnya kaget melihat kacaunya wajah Arel.

"Lo baru datang? Trus penampilan lo kayak gini, gimana lombanya?"

Arel agak terkejut melihat sikap kedua temannya ini. Padahal dia menduga Cindy dan Rere akan menjauhinya.

"Ya, nggak apa-apa. Lagian lombanya pake otak gue, bukan wajah."

Cindy diam sejenak sebelum kemudian menawarkan Arel untuk mengikutinya.
Sementara Rere memilih untuk kembali ke kelas lebih dulu.

"Gue mau diapain, deh?"

"Udah, diem aja. Ini tuh cuma untuk menyamarkan lebam dan luka di wajah lo. Setidaknya nggak keliatan dikit." Jelas Cindy mengoleskan sedikit konselar di wajah Arel untuk menyamarkannya.

Arel hanya bisa diam saat Cindy memulai aksinya. Toh, niat temannya ini baik padanya.

"Lo bawa ginian tiap hari ke sekolah?" Tanya Arel pelan pada Cindy.

"Ya, iya, gue bawa. Wajar tau, semua cewek pasti bawa make up kemana-mana."

"Ribet banget," cibirnya membuat Cindy kesal lalu memukul Arel dengan pelan.

"Tapi ada gunanya 'kan, kayak begini misalnya." Jawab Cindy membela diri.

"Iya-iya, bawel. Thanks, ya."

"Sama-sama."

Keduanya saling menatap lalu tertawa ringan bersama. Sampai kemudian Cindy selesai dengan pekerjaannya.

"Oh, wajah gue makin ganteng."

Cindy otomatis mencebik saat mendengar ucapannya.

"Thanks, ya, Cinderella. Doain gue menang, itung-itung ntar usaha lo make up in gue ada hasilnya "

"Pasti gue doain, lo harus menang demi sekolah kita."

"Pasti."

.
.
.

Bersambung.

.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro