Bab 30. Cahaya dan Bayang Hitam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setiap manusia memiliki sifat munafik dan serakah dalam dirinya.

Sederhana atau tidak, hanya saja mereka kadang menyangkalnya.

Merasa kurang atas apa yang mereka dapatkan, hingga memilih untuk mengambil apa yang seharusnya bukan milik mereka.
.
.
.

Hari ini SMA 17 tampak begitu riuh ramai hingga tampak bahkan dari luar gerbang. Menarik perhatian beberapa orang yang melintas untuk sekedar menoleh penasaran.

Ada sebuah festival yang diadakan untuk perayaan kemenangan sekolah dalam olimpiade dan perlombaan yang baru saja digelar.

Ya, kemarin di hari terakhir perlombaan, tim olimpiade cerdas cermat berhasil mendapatkan juara pertama dengan poin nilai nyaris sempurna. Membuat sekolah mereka menerima banyak tropi juara serta penghargaan dari Universitas penyelenggara sebagai sekolah berprestasi. Hal itu membuat pihak sekolah memutuskan untuk membuat festival perayaan untuk murid-murid berprestasi mereka.

Semua kesenangan dan kebanggaan itu menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Dan tentu ada nama-nama murid yang melambung tinggi karena prestasi mereka.

Dan dalam hal ini adalah, Cindy dan Bintang.

Banyak murid yang kini mulai membicarakan dan memuji Cindy atas kemampuannya. Wajah cantik serta kemampuan Taekwondo yang luar biasa, menjadikan sosok Cindy istimewa. Meski Cindy sama sekali tidak suka dirinya menjadi bahan perbincangan sekalipun dalam hal positif. Dia hanya ingin seperti dirinya yang biasanya.

Lalu, ada Bintang. Si Ketua OSIS dengan jabatan paling lama sampai di kelas 12, tampan, ramah, baik, dan jenius. Namanya menjadi bahan perbincangan karena kemampuannya yang berhasil dalam lomba cerdas cermat dengan nilai nyaris sempurna. Betapa orang-orang memujinya sebagai murid paling luar biasa karena bisa mengemban tugas sebagai Ketua OSIS, menjadi peserta olimpiade di tengah kesibukannya sebagai murod kelas 12 yang mempersiapkan ujian akhir, dalam waktu bersamaan.

Bintang menyukai hal-hal yang memujinya seperti itu, karena keinginannya untuk meninggalkan nama dan prestasi terbaik di tahun terakhirnya sebelum lulus sudah tercapai. Dia mencatatkan namanya di SMA 17 sebagai murid paling berprestasi.


Ya, seperti namanya. Bintang, dia bersinar hingga semua orang mengagumi pesonanya.

"Kayaknya semua murid sekarang jadi pengagum Kak Bintang ya," gumam Ara saat matanya menangkap sosok Bintang sedang bertegur sapa ramah dengan beberapa murid di seberang lapangan.

"Ya, dia emang makin bersinar sih. Pengagumnya aja udah banyak pas jadi ketua OSIS dulu, sekarang tambah banyak karena dia prestasinya nambah lagi," jawab Rere yang ikut memandangi Bintang dari seberang lapangan.

"Cemburu?"

Ara menoleh pada Cindy yang barusan melontarkan pertanyaan.

"Hah? Nggak, bukan begitu. Aku cuma baru menyadari kalau ternyata Kak Bintang sekeren itu."

"Kemarin-kemarin kemana aja, Neng? Sampai nggak sadar pacarnya sekeren itu," goda Rere menyenggol bahu Ara denga senyuma lebar.

"Apa sih, Re. Ya, aku tau Kak Bintang itu pesonanya keren. Tiap hari sama dia tuh rasanya kayak masih nggak percaya, dan sekarang aku ngerasa dia jauh lebih bersinar."

"Ya memang sih. Tetapi agak menyayangkan," jawab Cindy dengan nada datar tak biasa. Membuat kedua sahabatnya itu menatapnya bingung.

"Kenapa?"

"Karena tim cerdas cermat ada 6 orang, tetapi cuma Kak Bintang yang namanya dipuji dan dielukan. Padahal 5 orang lainnya juga berkontribusi besar loh, dalam perlombaan. Mereka bertugas sebagai tim, bukan individu."

Jawaban Cindy yang agak kaku membuat Ara dan Rere terdiam dan saling pandang. Memang benar, seharusnya bukan Kak Bintang saja yang mendapatkan pujian.

"Iya juga, sih. Tapi yang lain memang anak-anak yang pintar dan pendiam, tidak terlalu aktif bersosialisasi juga,'kan? Makanya jarang dibicarakan." Ucap Rere berpendapat. Karena memang menurutnya peserta lain memang hanya murid biasa yang tidak terlalu menonjol dalam sosialisasi  di sekolah.

Dari lorong yang mengarah ke belakang sekolah, Arel muncul bersama teman-temannya. Berjalan menuju ruang serbaguna di sisi kana  lapangan. Saat Arel lewat, beberapa murid langsung menyingkir secara naluri kemudian mulai berbisik dengan tatapan tidak menyenangkan pada Arel. Seolah Arel adalah virus yang harus mereka hindari.

Ya, kabar perkelahian Arel dan teman-temannya sudah menyebar di sekolah. Dan hal itu menambah catatan buruk pada reputasinya.

"Kalau Arel termasuk murid pinter dan pendiam, Re?" Tanya Cindy lagi.

"Eh? Ya, kalau Arel beda lagi sih."

"Terus kenapa Arel nggak dapat perhatian yang sama seperti Kak Bintang? Mereka sama-sama peserta lomba loh, dan Arel juga bukan numpang nama aja. Dia pakai kemampuannya," jawab Cindy lagi. Namun kali ini nada suaranya lebih ketus dari sebelumnya.

Ara dan Rere tidak bisa menjawab pertanyaan Cindy.

Mereka juga tahu benar bahwa Arel memang berkontribusi besar karena mereka menyaksikan langsung bagaimana Arel menjawab setiap pertanyaan tanpa kesalahan.

"Aku ke toilet sebentar, ya." Pamit Cindy lalu meninggalkan Ara dan Rere yang bahkan belum sempat menjawab.

Berjalan cepat, Cindy mengatur degup jantungnya dengan menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan, secara berulang, sampai dia tiba di toilet.

Dia tidak tahu jika tiba-tiba emosinya keluar seperti tadi. Menatap pantulan wajahnya di cermin, Cindy mengambil air untuk membasuh wajahnya.

Dia kesal.

Bukan pada kedua sahabatnya, melainkan pada dirinya sendiri.

Dia kesal karena merasa teman-temannya tidak adil. Mereka memuji Bintang seolah dia pahlawan yang baru pulang membawa kemenangan di medan perang, sementara teman-temannya juga melempar tatapan serta runor buruk pada Arel seolah anak itu adalah pengkhianat yang menyebabkan mereka kalah perang.

Padahal Arel dan Bintang menghadapi perang yang sama dalam kubu yang sama. Lalu kenapa orang-orang menilai mereka berbeda?

Hanya ada gosip dan pembicaraan mengenai hal buruk yang Arel lakukan, tentang kenakalannya, tentang sikapnya yang suka berbuat onar. Padahal mereka tidak tahu sama sekali tentang Arel.

Tentang bagaimana pribadi Arel yang baik dan tak seburuk kelihatannya. Tentang Arel yang juga belajar giat mempersiapkan lomba. Tentang betapa seriusnya Arel dalam setiap pelajarannya.

Mungkin cara belajarnya berbeda dari mereka. Tapi Arel tidak lupa pada kewajibannya sebagai siswa.

Rasanya tidak adil saat semua menandang Arel dengan cara berbeda. Cindy merasa tidak rela. Mungkin Arel terlihat biasa saja, namun Cindy yakin Arel juga merasa kecewa.

Apalagi mendengar Ara begitu memuji Bintang seperti tadi. Cindy merasa tidak rela karena Ara tidak menghargai peran dan usaha Arel. Bedanya, Ara tidak mempermasalahkan sikap buruk Arel.

Tetapi tetap saja, Cindy merasa kecewa.

Menarik napas panjang sekali lagi lalu menghembuskannya perlahan, Cindy berusaha mengendalikan dirinya.

Ini bukan salah Ara, bukan salah Rere, juga bukan salah Bintang.

Ini bukan salah siapa-siapa.

Ini hanya tentang hatinya yang terluka melihat sahabat sekaligus orang yang disukainya terhina.

Rafael Wisaka.

Jika seandainya hatimu bukan milik Ara, bolehkah aku mengambilnya?

Bolehkah jika aku menjaganya?
Bolehkah aku memilikinya?

Karena nyatanya, setelah semua hal yang telah terjadi. Menjadi seorang sahabat yang diam-diam menaruh rasa bukanlah hal yang mudah.

Aku bukan dirimu yang bisa terus terang mengatakan bahwa kau menyukai Ara.

Karena aku yakin, jika aku mengatakan apa yang kurasa, kau tak lagi akan memperlakukan aku dengan sama.

Bahkan kata sahabat akan hilang dari kita.

.
.
.

Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro