Bab 31. Tak Terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tuhan bisa membolak-balikkan hati manusia dengan mudahnya.

Bahkan benci dan cinta bisa berbalik begitu cepat jika Tuhan menghendakinya, tanpa manusia tahu , tanpa bisa mencegahnya.

Jadi, sebegitu yakinkah engkau pada hati manusia?

.
.
.

Keramaian yang sejak terdengar dan terlihat di matanya tidak serta merta membuat Arel larut di dalamnya.

Baru saja dia dan teman-temannya berkumpul di gang belakang sekolah, berniat untuk membolos sebenarnya. Tetapi mengingat Bima masih sakit, mereka tidak jadi melakukannya. Rasa solidaritas diantara mereka cukup baik, hingga setia satu sama lain.

"Rel, kalo gue liat-liat semua orang di sekolah pada sibuk ngomongin Bintang dan kemenangan kalian kemarin." Ucap Asgaf sambil mengunyah keripik kentang di tangannya.

Oh, di gang belakang sekolah ini, ada sebuah gazebo lawas yang dijadikan markas tongkrongan oleh Arel dan teman-temannya. Letaknya pun cukup tersembunyi karena berada di balik pohon bunga sepatu yang tumbuh rimbun di beberapa lahan kosong.

"Iya, dari kemarin gue juga denger anak-anak di kelas gue ngomongin itu. Sampe bosen gue dengernya," ucap Gala menimpali.

Arel masih tidak merespon, dia duduk diam masih fokus dengan permainan game di ponselnya.

"Hah... kalo lo berdua aja bosen, apalagi gue." Jawabnya kemudian.

"Tapi kenapa cuma dia yang diomongin? Kenapa Arel nggak diomongin juga?"

Arel terkekeh kecil mendengarnya, "Gue juga diomongin, kok."

"Eh? Kok gue nggak tahu? Anak di kelas gue ngomongin Bintang mulu."

"Di kelas gue juga isinya bahas Bintang, maaf nih, tapi gue nggak denger apa-apa."

"Yang ada juga nyinyirin lo, atau lebih tepatnya nyinyirin kita, soal perkelahian kita kemarin."

"Iyo, konco sak kelasku podo nesu nyindiri aku mergo melu tawuran. Wong mereka ora ngerti masalahe, maido ae isone," kali ini Wilan bicara dengan nada kesal.

Arel meringis mendengar ucapan Wilan, dia sendiri bukannya tidak tahu, bahkan sangat sadar. Bahwa semua orang di sekolah memang membicarakan si benda luar angkasa.

Arel tidak peduli.

Meski orang-orang membandingkannya dengan Bintang secara terang-terangan. Bahwa Bintang adalah paket sempurna dengan kepintaran, kesopanan, juga sikapnya yang baik.

Sangat berbeda dengannya yang suka tidur di kelas, membolos, suka membuat onar —yang sebenarnya bukan dia yang memulai—, lalu sering menjadi langganan guru kedisiplinan. Kelebihannya hanya satu, yaitu otak yang cukup pintar.

Dia tak pernah belajar giat atau mati-matian seperti teman-temannya. Dia cukup belajar sesuai jadwal yang ditentukan oleh Ibunya sejak kecil. Lalu, ada kebiasaannya yang suka membaca sejak kecil, membuat daya ingat dan daya konsentrasinya cukup bagus. Itulah yang membuatnya bisa mengikuti pelajaran sekalipun dia tidur di kelas.

Arel berpikir, selama kenakalannya tidak merugikan orang lain, tidak membuat malu kedua orang tuanya, maka sah-sah saja baginya untuk dilakukan.

Lamunannya terhenti saat notifikasi pesan muncul di layarnya. Permainannya sedikit goyah namun dia bisa kembali menstabilkannya.

'Kamu dimana?'

'Tadi aku liat kamu sekilas, tapi udah pergi sebelum aku sempet panggil.'

Arel menghela kasar membaca pesan dari Ara. Dia masih fokus pada permainannya hingga memutuskan untuk tidak membalas pesan Ara.

'Kamu masih marah sama aku?'

'Kemarin kamu bilang nggak akan marah lagi. Kenapa sekarang ilang-ilangan dan menghindar lagi?'

'Arel! Kamu baca pesanku nggak, sih?'

"Sial!" Maki Arel membuat keempat temannya yang sama-sama mabar dengannya itu mendongak kaget.

"Kalah kan gue! Hah!" Kesalnya kemudian melempar ponselnya begitu saja, lalu meraih gelas es teh yang tadi mereka beli bersama-sama sebagai bekal mabar.

"Lagian kenapa deh, tumbenan lo kalah," tanya Gala yang lanjut dengan permainannya lagi.

"Ada teror masuk ke ponselnya, notifikasinya getar mulu dari tadi kagak berhenti," sahut Asgaf.

Arel meraih ponselnya lagi kemudian turun dari gazebo.

"Mau kemana?"

"Balik ke sekolah dulu."

"Hah? Ngapain lo balik ke sekolah?"

"Ada yang ketinggalan. Gue duluan ya," ucapnya kemudian beranjak meninggalkan markas mereka dan kembali lewat pintu belakang sekolah.

***

Ara mengerucutkan bibirnya kesal karena Arel lagi-lagi tidak membalas pesannya. Apa mungkin sahabatnya itu marah lagi?

Ara duduk di bawah pohon Pule yang tumbuh rendah di taman sekolah. Teman-temannya sedang menikmati penampilan musik dari siswa kelas 11 di tengah lapangan. Rere dan Cindy pun berada diantara kerumunan para siswa setelah akhirnya meninggalkan Ara di sini untuk menunggu.

Ara bosan. Tadi Kak Bintang pamit padanya untuk mengikuti pelajaran tambahan untuk kelas 12, bersama teman-temannya.

Baru saja Ara mau beranjak pergi ke kantin, matanya tiba-tiba ditutup dari belakang.

"Eh! Apa ini! Lepas!"

Ara berusaha melepas tangan yang menutupi matanya itu, namun tenaganya tidak cukup. Bagaimana ini?

"Tadi katanya nyariin gue, mau kemana?" bisik suara yang sudah dihapal Ara dengan baik itu di telinganya.

"Arel!"

Kemudian tangan itu terlepas, Ara segera berbalik dan mendapati Arel tengah tersenyum lebar dengan ekspresi menyebalkan di wajahnya.

"Kamu ngapain sih, pake nutup mata aku. Kaget tau!" Kesalnya namun justru membuat Arel tersenyum makin lebar.

"Gitu aja kaget, kayak bocah mau diculik aja."

"Ya, ngapain kamu iseng begitu?"

"Sengaja mau gangguin lo."

Ara mencebik mendengar jawaban Arel.

"Ngapain nyari gue? Kangen?"

"Ih! Pede banget ngomong begitu! Nggak!"

"Nggak salah? Kok mukanya merah?" Goda Arel mendekatkan wajahnya pada Ara membuat gadis itu memundurkan wajahnya.

"Siapa yang mukanya merah? Nggak, ini tuh karena aku kepanasan dari tadi," kilah Ara. Tentu dia tidak bisa bilang kalau sekarang jantungnya berdebar kencang karena Arel.

"Oh, ya udah kalo nggak kangen. Gue pergi." Arel beranjak dari duduknya.

"Arel, bentar!" Ara menarik ujung lengan kemeja Arel, membuat pemuda itu berhenti dengan tatapan penuh kemenangan pada Ara.

"Kenapa ditahan? Katanya nggak kangen?"

"Ya... emangnya harus kangen dulu kalau mau ketemu kamu? Duduk dulu sini!" Ara menarik tangan Arel untuk kembali duduk di sampingnya.

"Kamu marah sama aku lagi?"

"Nggak."

"Lalu kenapa nggak balas pesanku?"

"Ya, gue sibuk."

Ara menghela pelan, kemudian  mengalihkan pandangannya dari Arel. Menatap euforia teman-temannya di lapangan.

"Dari kemarin setelah lomba kamu tuh menghilang. Dicariin juga nggak ada, kemana?"

"Pulang lah, lagian lombanya udah selesai. Dapat juara juga, 'kan. Tugas gue udah selesai." Jawab Arel yang kini ikut menatap keramaian di lapangan.

"Nggak mau ngerayain kemenangan sama temen-temen yang lain?"

"Udah banyak yang mewakili, nggak ada gue pun, nggak akan berpengaruh. Iya, 'kan?"

Ara menoleh menatap Arel lagi, ada sorot lain yang tak pernah Ara lihat ada pada pandangan Arel.

"Ada pengaruhnya, karena pahlawannya jadi kurang satu." Jawab Ara sambil tersenyum. "Aku juga belum sempet ucapin selamat sama kamu."

Arel kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku yang mereka duduki. Tatapannya masih menerawang ke depan, menghindari Ara.

"Arel, selamat ya. Atas kemenangan kamu di olimpiade kemarin. Terima kasih atas kerja keras dan perjuangannya. Kamu keren!" Ucap Ara dengan lembut yang mamou membuat Arel seketika menoleh dan menatap senyuman hangat dan indah dari Ara.

"Aku bangga punya sahabat yang keren banget kayak kamu."

Arel memejamkan matanya dengan segaris senyum kecut di ujung bibirnya.

Sahabat, ya, Ra?

"Aku mau kasih kamu hadiah untum merayakannya. Kamu mau hadiah apa?" Tanya Ara dengan senyum lebarnya.

"Hadiah?"

Ara mengangguk antusias, "Iya, hadiah. Apa aja yang kamu mau selama aku bisa melakukannya, nanti aku usahain."

Arel diam menatap Ara tak msnyangka karena jujur, Ara adalah orang pertama yang memuji atas prestasinya dan mengatakan bangga padanya. Tentu saja selain kedua orang tuanya.

"Beneran apa aja yang gue mau?"

"Iya."

Arel tampak berpikir sebelum menghela panjang dan menatap Ara.

"Gue mau kita besok kencan seharian tanpa gangguan."

"Hah?"

.
.
.

Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro