Bab 32. Rasa Resah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dalam kehidupan, kita tidak bisa memaksakan orang lain untuk menyukai kita.

Sebaik apapun, pasti akan ada yang membenci. Bahkan, jika dihitung maka presentase antara suka dan benci itu bisa saja berbanding sama.

.
.
.

Bintang menghela napasnya panjang, meregangkan kedua lengannya yang terasa kaku karena fokus belajar sejak tadi. Dia sudah kembali sibuk dengan buku-buku persiapan ujian.

Memang, seharusnya dia beristirahat sejenak setelah memenangkan perlombaan beberapa waktu lalu. Bahkan, sekolah memberinya waktu jeda sebelum mengikuti pelajaran tambahan juga latihan soal-soal bersama.

Tetapi, Bintang memang bukan tipe anak yang suka bersantai.

Satu hari setelah perlombaan, saat sekolahnya masih dalam euforia merayakan kemenangan, Bintang justru sudah berkutat dengan pelajaran.

Saat hampir semua murid masih sibuk membicarakannya, dia bahkan sudah tidak peduli. Bukan tak suka, Bintang menikmati setiap kali namanya dipuji dan dielukan oleh murid di sekolah. Namun, dengan hal itu justru membuatnya terpacu untuk terus menjadi sosok idola dan panutan di sekolah melalui prestasi.

Dia tidak mau lengah. Dia harus tetap mendapatkan posisi nilai tertinggi. Namanya harus berada di urutan teratas di setiap pengumuman nilai. Karena itu dia terus belajar.

Sekali lagi, di tahun terakhirnya di SMA 17, dia harus mengukir namanya dengan tinta emas. Setelah menjabat sebagai ketua OSIS selama dua periode, menjadi juara pertama paralel sekolah, meraih kejuaraan di beberapa perlombaan, lalu kemenangan di olimpiade kemarin. Semua prestasi itu sudah didapatkannya susah payah. Dan sekarang tujuannya tinggal satu.

Mendapatkan nilai tertinggi saat ujian kelulusan.

Beberapa orang menyembutnya ambisius. Lalu beberapa yang lain memujanya penuh kekaguman.

Bintang tidak peduli. Karena apapun yang terjadi, dia harus mendapatkan semua tujuannya.

"Eh, Bintang. Lo sama anak pindahan di kelas 11 tuh, deket ya?" Tanya salah seorang temannya tiba-tiba, membuyarkan lamunannya.

"Eh? Gimana, sorry, gue ngelamun dikit tadi. Capek banget," jawabnya tersenyum.

"Santai aja, gue paham kalau lo masih capek. Lagian kenapa nggak mau ambil libur sih?"

"Udah biasa, gue nggak perlu libur. Kita harus memanfaatkan waktu dengan baik, 'kan?"

"Percuma lo nasehatin si Bintang. Dia pasti nggak mau kalau disuruh istirahat belajar," timpal teman Bintang yang lain.

Teman-teman Bintang ikut tertawa, sementara Bintang hanya meringis tanpa menjawab.

"Otaknya konslet kali ya, kalau diistirahatkan."

"Bisa berkarat ntar ingatannya."

Teman-temannya saling melempar godaan padanya, namun ini hanya bercanda dan Bintang memahaminya.

"Udah-udah, lo semua hobi banget ngeledekin gue," ucap Bintang, tertawa. "Lo tadi mau nanya apa ke gue?"

"Oh, sampe lupa. Itu, kayaknya lo deket sama anak pindahan di kelas 11."

"Oh, itu."

"Apanya yang 'oh, itu'. Beneran lo deket, atau cuma kenal? Atau malah pacaran?"

Bintang tersenyum kikuk, tidak tahu harus menjawab apa. Karena status pacarannya dengan Ara memang dissmbunyikan, hanya sahabat-sahabat Ara yang tahu.

"Ya, kenal, deket, gimana ya..." jawabnya sengaja menggantung.

"Kalau lo nggak pacaran sama dia, berarti dia pacarnya Arel?"

Seketika Bintang menatap pada temannya yang melontarkan pertanyaan.

"Kenapa dia pacarnya Si Rusuh, Arel?" Tanyanya kembali dengan raut tidak suka.

"Ya, soalnya gue juga sering liat dia jalan sama Arel. Padahal itu anak tengil selama ini nggak pernah keliatan deket atau jalan sama cewek di sekolah."

Wajah Bintang terlihat tidak senang mendengar pendapat dari temannya itu. Ya, memang Arel dan Ara dulu sahabat masa kecil? Bukan berarti dekat yang memiliki arti, 'kan?

Lagipula, Ara adalah pacarnya.

"Dia bukan pacarnya Si Rusuh. Itu udah pasti." Jawabnya kesal.

"Kenapa jawabnya kesel begitu? Atau lo naksir sama anak pindahan ini?"

Bintang tidak menjawab, dia menghela napasnya kesal kemudian kembali menghadap buku-bukunya.

"Lah, dia pundung. Ini masih jam isrirahat, Bintang. Udah balik belajar aja."

Bintang tak lagi menoleh, dia tidak mau membicarakan Ara dan Arel. Dia tidak suka.

Dia ingat, dulu Ara pernah menceritakan tentang persahabatannya dengan Arel di masa kecil. Dan setelah sekian lama berpisah, mereka bertemu lagi. Wajar saja 'kan jika mereka kembali dekat?

Kenapa teman-temannya mengira Ara adalah pacar Arel? Padahal dia juga tahu setiap kali bersama Arel, Ara akan bercerita padanya.

Dia percaya pada pacarnya, tetapi kenapa dia kesal?

***

Mengendarai motornya dengan santai, Bintang menyusuri jalanan sore itu.

Dia baru pulang dari les, dan sekarang menuju perjalanan pulang.

Dia cukuo lelah hari ini, nanti sesampainya di rumah dia bermaksud untuk istirahat dan menghubungi Ara sebagai pengobat lelah dan rindunya.

Lampu lalu lintas berganti warna merah, mengharuskan Bintang berhenti. Namun, tepat saat sisi kiri perempatan mulai jalan, matanya menangkap sosok tak asing melintasi jalanan didepannya.

Hanya sebentar. Namun dia yakin penglihatannya tidak salah.

Ara dan Arel?

Mau kemana?

Sayangnya, mereka berada di sisi jalan yang berlawanan. Tidak memungkinkan untuknya mengikuti mereka. Tiba-tiba saja perasaan Bintang menjadi cemas.

Begitu lampu menyala hijau, Bintang segera mengarahkan motornya untuk berbelok ke kanan. Memutar gasnya lebih cepat bermaksud mencari dan menyusul mereka. Meskipun percuma, karena jejak keduanya sudah tak terlihat.

Sial.

Bintang menuju rumahnya dengan cepat, pikirannya sudah kacau.

Begitu membuka pagar dan memasukkan motornya dalam garasi, Bintang langsung melepas helm lalu meraih ponselnya.

Dengan cepat menekan panggilan ke nomor Ara, yang tentu saja tidak dijawab.

'Ara, Sayang. Kok nggak jawab panggilan dari aku?'

'Kamu dimana?'

Dengan resah Bintang berjalan cepat masuk ke dalam rumah, mengucap salam lalu pergi ke kamarnya.

"Sayang, kamu nggak makan dulu?" Tanya Mama Bintang yang melihat anaknya berjalan cepat ke kamarnya.

"Nanti aja ya, Ma. Bintang harus kumpulin tugas dulu," jawabnya berbohong.

Maafin Bintang ya, Ma. Harus bohong sama Mama.

Begitu sampai di kamar, Bintang mengecek kembali ponselnya. Ara masih belum membalas pesannya.

'Ra, kamu nggak apa-apa, 'kan? Balas pesan aku, ya.'

5 menit.

10 menit.

15 menit.

Bintang semakin tidak tenang. Kenapa Ara tidak membalas pesannya? Selama ini Ara selalu cepat merespon pesan atau panggilan darinya.

Yang tadi itu benar, Ara dan Arel.
Dia tidak mungkin salah mengenali pacarnya, juga motor sport hitam milik Arel.

Baru saja Bintang meraih jaketnya, bermaksud mau pergi ke rumah Ara untuk memastikan. Tepat saat itu ponselnya berbunyi, menandakan balasan pesan dari Ara.

'Kak Bintang? Maaf, aku baru liat pesan dari Kakak.'

'Ponsel aku ada di tas, jadi nggak tahu. Maafin ya?'

Bintang menghela lega sebelum mengetikkan balasan pada Ara.

'Iya, nggak apa-apa. Aku cuma khawatir aja karena kamu nggak balas pesan.'

'Kamu sedang apa?'

'Aku sedang pergi keluar.
Kakak udah makan? Baru pulang les, 'kan?'

Bintang menghela lega.
Ara masih jujur padanya dengan mengatakan bahwa dia sedang pergi.

'Iya.'

Setelah ini, makan. Kamu sendiri udah makan? Tumben pergi keluar.
Sama siapa?'

'Iya, tadi diajakin keluar.'

'Sama siapa? Cindy dan Rere?'

Sekarang Bintang merasa harap-harap cemas menunggu jawaban Ara.
Dia harap Ara jujur jika benar seperti yang tadi dilihatnya.

'Bukan. Aku pergi sama temen aku yang lain, nggak sama Cindy dan Rere.'

Sesaat Bintang menahan napasnya saat membaca pesan Ara.

Teman?

Bukan Cindy dan Rere?

Berarti, benar Arel 'kan?

Lalu, kenapa Ara tidak langsung menjawab bahwa dia pergi bersama Arel? Kenapa Ara berbohong padanya kali ini?

Bintang merasa tidak tenang, kesal, marah, dan kecewa.

Tidak biasanya Ara bersikap seperti ini.
Kenapa?

.
.
.
Bersamvubg.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro