Bab 34. Jealousy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Karena tidak semua kebohongan itu memiliki maksud buruk, tetapi apapun tujuannya, sebuah kebohongan tetaplah menyakitkan.

.
.

.


Sudah 30 menit berlalu sejak Bintang memutuskan untuk datang ke rumah Ara. Sifat impulsifnya datang dan mendorongnya untuk melakukna hal ini. Dan di sinilah dia sekarang, di depan rumah Ara, duduk di kursi teras ditemani setoples kue kering juga secangkir teh yang sudah mulai dingin.

Tadi setelah bertukar pesan dengan Ara, dia merasa tidak tenang. Oke, dia cemburu dan juga kecewa, tetapi dia tidak menyangka tubuhnya akan bergerak lebih cepat untuk segera pergi ke rumah pacarnya itu. Dia tahu Ara pasti belum pulang, tetapi dia meyakinkan dirinya untuk menunggu. Untung saja ada Mama Ara di rumah, yang mempersilakannya untuk masuk dan membawakannya kue dan teh sebagai teman untuk menunggu.

"Bintang, tadi kamu udah bilang sama Ara kalau mau ke sini, 'kan?" Mama Ara muncul dari dalam membawa sepiring lumpia untuk Bintang.

"Eh. sudah, Tante..." jawab Bintang berbohong, karena dia tidak mengatakan apapun pada Ara tentang kedatangannya.

"Tapi kok Ara lama banget pulangnya? Mau Tante telponin aja?"

"Nggak usah, Tante, nggak apa-apa. Tadi Ara emang bilang mau keluar sebentar sama temen-temennya." kilah Bintang lagi. Padahal dia tidak pernah berbohong pada orang tua.

"Oh, gitu. Kamu nggak mau tunggu di dalam aja?"

"Nggak perlu, Tante. Bintang di sini aja."

"Ya sudah, kalau begitu Tante tinggal di dalam ya, Tante sedang bikin lumpia pesenan, ini buat kamu, dimakan ya," ucap Mama Ara ramah sebelum kembali lagi masuk ke dalam rumah.

Bintang mengangguk dan tersenyum sebagai balasan, lalu setelah memastikan Mama Ara masuk, Bintang menyandarkan punggungnya lelah. Sungguh rasa tidak tenang karena cemburu itu tidak enak.

Apa Ara akan marah karena kedatangannya tiba-tiba?

Apa Ara akan membencinya karena bersikap impulsif dan kekanakan?

Atau Ara akan merasa kecewa karena merasa tidak dipercaya?

Tetapi, dalam hal ini Ara memang tidak jujur padanya.

Sebagai seorang pacar, yang hubungannya lebih dekat dari sekedar teman, wajar saja dia bersikap begini, 'kan?

Bintang mengusap wajahnya kasar, semua pikiran-pikiran buruk itu terus berputar di kepalanya.

Sekali lagi diliriknya jam di pergelangan tangannya, 45 menit berlalu. Padahal dia bukan orang yang suka menunggu.

Satu notifikasi muncul lagi di layarnya, dari Arga. Sahabatnya itu mengirimkan sebuah foto yang meski tidak menunjukkan wajah, tetapi Bintang cukup kenal siapa orang yang menjadi obyeknya.

'Ini pacar lo sama Arel? Gue nggak sengaja ketemu pas antri di toko buku. Sorry cuma bisa ambil foto segitu, gue takut si Arel marah, ini aja gue sering diliatin sama dia.'

'Iya, itu pacar gue.
Mungkin mereka butuh buku jadi ke sana berdua.'

D

alam hal ini, Bintang terpaksa berbohong lagi. Dia tidak ingin membuat dugaan-dugaan yang hanya membuatnya overthinking.

'Sorry gue bikin lo khawatir.'

Tak lama, terdengar deru suara motor sudah dihapalnya.

Benar, motor itu kemudian memasuki halaman rumah. Ara tampak termejut melihatnya di sini.

"Kak Bintang?"

Ara turun dan melepas helmnya.

"Kok, Kakak ada di sini?"

"Aku nungguin kamu."

Ara menatap Bintang tak percaya, kemudian di berbalik untuk menatap Arel yang turun dari motornya.

"Maaf ya, Kak. Aku tadi pergi sama Arel. Aku-"

"Ngapain lo minta maaf sama dia? Berlebihan kalo dia nggak ngertiin lo," sahut Arel dingin pada Bintang.

"Lo nggak perlu mendikte Ara. Ini urusan gue sama pacar gue, lo nggak usah ikut campur." Jawab Bintang tak mau kalah.

"Baru pacaran udah posesif."

"Please, kalian berdua jangan kayak gini," pinta Ara yang panik melihat keduanya saling melempar sindiran.

Bintang kembali menatap Ara, meski kecewa tetapi dia tidak bisa marah pada Ara.

"Kenapa kamu bohong sama aku? Kenapa nggak langsung bilang kalau kamu pergi sama dia? Harus banget kamu bohong dan bilang kalau kamu pergi sama teman yang lain?" Tanya Bintang dengan suara rendah dan dalam, dia pun tak mau keributan ini di dengar oleh Mama Ara dari dalam.

Ara balaa menatap Bintang dengan menyesal, "Maafin aku, Kak. Aku nggak bermaksud gimana-gimana. Aku cuma mau menjaga perasaan Kakak karena aku tahu kamu nggak suka sama Arel. Aku nggak mau kalian ribut kayak kemarin."

Bintang mendengus mendengar jawaban Ara, namun dia masih diam menunggu Ara selesai bicara.

"Aku pikir, nanti kamu marah dan nggak bolehin aku pergi sama Arel. Padahal aku sama Arel nggak ada apa-apa, kita cuma jalan seperti biasa. Nggak menyembunyikan apapun dari kamu juga, Kak."

"Tapi kamu lebih memilih bohong tanpa tanya aku lebih dulu? Itu artinya kamu nggak percaya sama aku, Ra."

Arel mendecih mendengar ucapan Bintang, membuat Kakak kelasnya itu meliriknya tajam.

"Makanya, jangan pernah larang dan kasih batasan ke Ara biar dia nggak perlu bohong karena lo sendiri. Biar dia bisa percaya sama lo. Cinta kok mengekang." Ucap Arel dingin sebelum dia berlalu masuk ke dalam rumah Ara.

"Tantee~"

Terdengar sapaan Arel begitu dia masuk, meninggalkan Ara dan Bintang berdua di teras.

Keduanya masih saling diam, Ara menunduk tanpa berani menatap Bintang karena dia yakin pasti akan menangis jika menatap pacarnya itu.

Sementara Bintang menghela napas panjang sebelum akhirnya dia meraih tangan Ara.

"Lain kali jangan seperti ini lagi, ya?" Ucapnya lembut, satu tangannya menyentuh dagu Ara, memaksa gadis itu untuk menatapnya.

"Aku nggak akan marah kalau kamu bicara yang sebenarnya. Iya, aku nggak suka sama Arel, tapi aku tahu kalau dia sahabat kamu. Justru kalau kamu bohong begini, aku jadi curiga sama kalian. Kamu ngerti, 'kan?"

Ara mengangguk pada kekasihnya yang kini menatapnya dengan lembut dan penuh kehangatan. Sudah tak ada lagi amarah di sana.

"Maaf..."

"Iya, asal kamu nggak mengulang hal ini lagi nanti."

"Iya."

"Aku kesel tau, karena anak-anak di sekolah bilang kalau kamu tuh pacarnya Si Arel. Padahal 'kan kamu pacarku."

Ara tersenyum, meremas jemari Bintang yang masih menggenggam tangannya.

"Ya habisnya Kakak yang nggak mau status kita diketahui orang. Nanti katanya jadi gosip," cibir Ara.

"Iya, sih. Aku nggak tahu kalau akhirnya malah kamu yang digosipin sama tuh anak. Kan aku jealous."

"Arel, Kak. Kenapa sih kalian sama aja? Segitunya sampe nggak mau panggil nama masing-masing?"

"Ya karena dia ngeselin. Males."

"Dia baik tau, Kak. Coba deh kalian temenan biar saling kenal satu sama lain. Biar nggak saling ngatain kayak tadi."

"Nanti aja dipikirin lagi."

"Dih, tinggal jawab iya aja susah banget." Goda Ara membuat kekasihnya itu cemberut dan membuang tatap ke arah lain. Lucu, begitulah yang Ara pikirkan saat melihatnya.

.
.
.
Bersambung.
.
Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro