Bab 35. Si Mama Mertua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika seandainya kita bertemu lebih dulu, apakah lebih mudah untukmu menjatuhkan hati padaku?

- Arel -
.
.
.

Memakan lumpianya dalam diam, Arel sebenarnya berusaha untuk fokus. Dia membantu Mama Ara membungkusi lumpia di ruang makan, sementara telinganya berusaha mencuri dengan pembicaraan Ara dan Bintang di teras.

Tidak kedengaran sih, apalagi Mama Ara memutar televisi. Meski samar Arel hanya bisa menangkap suara tawa yang sesekali terdengar dari depan.

Dia kesal pada Bintang.

Kenapa Kakak kelasnya itu selalu mengganggu waktunya dengan Ara. Iya sih, mereka pacaran. Tapi harusnya dia tidak ikut campur dalam urusan pribadi Ara yang tidak ada hubungannya dengan Si Benda luar angkasa itu. Memangnya kalau punya pacar tidak boleh berteman dengan yang lain? Apa harus menempel 24 jam terus bersamanya?

Menyebalkan.

"Rafael, besok Mama kamu ulang tahun, 'kan?"

Arel mengerjap kaget, lalu tersenyum pada Mama Ara. "Iya, Tante."

"Biasanya dikasih surprise gimana? Tante mau bikin surprise tapi takut mengganggu acara keluarga kalian."

"Oh, boleh sih, Tante. Biasanya kita nggak ada acara khusus, biasanya saya sama Papa cuma kasih hadiah sama surprise pakai kue sih, Tante. Kadang juga cuma makan di luar."

"Oh, begitu. Apa siangnya Tante ke rumah kamu ya? Tante udah beli hadiah sih buat Mama kamu. Udah lama nggak merayakan bareng-bareng."

"Eh, kalau Tante mau, surprise barengan sama saya aja. Nanti Rafael bilang ke Papa, gimana, Tante?"

Mama Ara tampak berpikir sebelum tersenyum, "Iya, deh. Coba nanti kamu tanyain Papa kamu dulu. Kalian akan ada acara khusus apa nggak, nanti kabarin Tante."

"Oke, Tan. Nanti Rafael kabarin lagi."

Lalu terdengar suara tawa lagi dari depan, membuat Arel maupun Mama Ara menoleh.

"Mereka akrab banget ya? Memang sejak awal mereka sudah dekat, ya? Tante ingat waktu Ara cidera, Nak Bintang juga sering datang mengunjungi Ara."

Arel mendengarkan ucapan Mama Ara dengan diam, dan menyimpulka satu hal. Yaitu Mama Ara tidak tahu kalau putrinya punya seorang kekasih alias pacaran.

"Kamu nggak ikutan ngobrol sama mereka?" Tanya Mama Ara menoleh pada Arel.

"Nggak, Tante. Udah bosan tiap hari ketemu."

"Oh iya, ya. Ara bilang kalau kamu dan Bintang satu tim di olimpiade ya?"

Arel tersenyum lalu mengangguk, "Iya, Tan."

"Wah, Tante nggak menyangka, temennya Ara di sini pinter-pinter semua. Terutama kamu, Cah Bagus." ujar Mam Ara tersenyum hangat pada Arel.

"Tante tuh, seneng banget ternyata Ara satu sekolah sama kamu. Beneran awalnya Tante niat nyari Mama kamu dulu buat tanya-tanya rekomendasi sekolah, tapi Papanya Ara udah keburu daftarin Ara di SMA 17. Eh, malah ketemu kamu. Sudah takdir memang, ya." lanjut Mama Ara kali ini dengan tawa senang.

Hal itu membuat Arel ikut tersenyum. Bagaimana tidak, dia memang selalu memiliki harapn untuk bertemu Ara lagi, namun dia tidak tahu caranya. Hanya berdoa pada Tuhan agar mau berbaik hati mempertemukannya dengan sahabat kecilnya itu lagi. Lalu, tiba-tiba Tuhan mengabulkannya.

Sayangnya, Tuhan menghadirkan cerita lain diantara pertemuannya dengan Ara. Yaitu kehadiran Bintang.

Arel tersenyum kecut memikirkannya. Namun, dia harus tetap bersyukur bisa bertemu Ara dan keluarganya seperti ini.

"Rafael juga senang, Tan. Apalagi Tante masih sama baiknya seperti dulu," tambah Arel yang seketika mendapat usapan sayang di kepalanya dari Mama Ara.

"Tante juga, 'kan kamu tahu sendiri kalau Tante hanya punya Ara di rumah ini. Jadi memang Tante sayang sama kamu seperti anak sendiri. Rasanya seperti punya anak lanang dewe," ucap Mama Ara tertawa.

Arel tersenyum lebar, "Rafael mau kok jadi anaknya Tante," ujarnya sambil meringis.

"Beneran loh ya, kamu yang ngomong sendiri. Jadi NInis ndak boleh komplain kalau anakknya kuambil," Mama Ara tertawa senang sambil geleng-geleng kepala karena obrolan mereka barusan.

"Seru banget, kayaknya. Ngobrolin apa nih?" Suara Ara yang tiba-tiba muncul di ruang makan bersama Bintang membuat Mama Ara dan Arel menoleh. Tentu sajan tatapan tidak menyenangkan saling dilempar oleh Arel dan Bintang.

"Heleh, ini Rafael ternyata lucu banget diajakin ngobrol. Dari tadi Mama ketawa terus ngobrol sama Rafael."

Ara melirik Arel yang pura-pura sibuk membungkus lumpia lagi.

"Oh, kirain Mama mau rekrut dia jadi asisten Mama untuk bikin pesenan lumpia. Kayaknya dia lebih jago dari Ara," goda Ara saat melihat Arel tidak mempedulikannya.

"Hush! Kamu ini, ngomongnya sembarangan. Lha wong Mama mau rekrut dia jadi anak Mama, kok."

"Hah?" Ara menatap Mamanya tak percaya, berharap tak salah dengar. "Maksudnya?"

"Mama kepengen Rafael jadi anaknya Mam, bosen sih, sama kamu terus." Goda Mama Ara yang kemudian tertawa setelah melihat wajah cemberut Ara.

"Mama, Ih! Ngeselin!"

Semua orang tertawa melihat ekspresi Ara yang terlihat kecewa dengan ucapan sang Mama. Bahkan Arel semoat menyunggingkan sebuah senyum tipis melihatnya sebelum kemudian merubah wajahnya menjadi datar kembali. Dia malas menunjukkan ekspresi ramah saat ada Bintang di sana.

"Oh, ini Ma, Ara jadi lupa 'kan mau ngomong apa. Begini, Bintang mau pamit pulang, nih." 

"Loh, kok udah mau pulang aja? Tante baru mau siapin makanan untuk kita makan bareng." Mama Ara berjalan menghampriri Bintang lalu menyalami pemuda itu.

"Iya, Tante. Sudah sore, saya ada bimbingan untuk ujian."

"Duh, rajinnya. Kamu tuh ganteng, sopan, rajin juga. Paket komplit ya!" Puji Mama Ara yang membuat Ara senyum-senyum malu di belakang Mamanya, sementara Bintang ikut tersenyum malu-malu pada Mama Ara.

"Nggak kok, Tante. Biasa saja, karena sudah mendekati waktu ujian, saya harus banyak belajar."

Mama Ara kemudian menepuk lengan Bintang dengan lembut, "Tante doakan yang terbaik buat kamu, ya. Kalau capek belajar, main aja ke sini."

"Iya, Tante. Kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih, cookiesnya tadi."

"Healah, bukan apa-apa itu. Nanti kalau Tante bikin lagi, biar dibawain sama Ara, ya."

"Nggak usah, Tante! Malah ngerepotin." ucap Bintang merasa sungkan. Sementara dilihatnya Ara justru mengangguk antusias sambil mengacungkan jempolnya.

Bintang melirik Arel sebentar yang sejak tadi diam tak peduli di meja makan. Melihatnya saja sudah membuat Bintang merasa kesal, namun dia tidak ingin menunjukkannya di depan Mama Ara.

"Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Tante, Ara," lalu dengan enggan menoleh pada Arel. "Balik dulu ya, Rel." ucapnya dengan senyum yang dipaksakan.

Arel menoleh, meliriknya sekilas sebelum pura-pura sibuk lagi. "Hm, iya." jawabnya.

Melihat interaksi aneh tersebut, Ara ingin tertawa kencang namun sadar ada Mamanya yang sedang memperhatikan. Sehingga kemudian dia memilih untuk mengantar Bintang sampai ke pintu gerbang. Tentu dengan senyuman manis dan lambaian tangan malu-malu.

Begitu masuk kembali ke dalam rumah, dilihatnya sang Mama sendirian di ruang makan.

"Rafael kemana, Ma?"

"Hm? Dia ke kamar mandi, tapi karena keran di kamar mandi bawah rusak, jadi Mama suruh dia ke kamar kamu."

"Hah? Kok Mama kasih izin, sih?" teriak Ara kaget karena ucapan Mama.

"Lah, terus mau gimana? Masa iya, Mama suruh Rafael ke kamar mandi di kamar Mama?"

"Tapi 'kan, hahhhhh...." Ara kemudian berlari ke kamarnya di lantai atas. Kenapa juga Mamanya setega itu menyuruh anak laki-laki pergi ke kamra anak perempuannya?

Sementara Mama Ara hanya menggeleng bingung melihat tingkah anak gadisnya. "Padahal cuma numpang ke kamar mandi aja. Heboh banget Si Ara, apa karena kamarnya berantakan dan dia malu?" Mama Ara tertawa, "Anak remaja emang ada-ada aja kelakuannya, lagian itu cuma Rafael. Dulu juga kemana-mana nempel mulu berdua." gerutu Mama Ara tak habis pikir.

Sesampainya di kamar, Ara melihat Arel berdiri di depan meja belajarnya. Pemuda itu menoleh dengan senyuman lebar dan tangan yang menunjuk sesuatu.

"Ternyata lo masih menyimpan foto ini?" Tanyanya pada Ara, menunjuk potret lawas dalam bingkai di meja Ara.

Ara berjalan mendekat dengan malu, karena ketahuan oleh Arel bahwa dia memajang semua foto masa kecil mereka.

"Ya, iya. Masih di simpen, punya lo hilang?" 

"Nggak, masih ada juga sih. Di taruh dalam album foto sama Mama."

Keduanya seperti menyelami kembali masa lalu mereka dengan mengamati satu persatu foto yang ada di kamar Ara. Dulu orang tua mereka suka sekali mengabadikan foto apapun yang mereka lakukan. Bukan hanya mereka sih, ada kakak Arel juga, Mas Abraham.

"Lucu ya, nggak kerasa waktu cepat berlalu. Dari segitu udah segini aja kita, " ucap Arel tersenyum hangat mengingat masa kecilnya.

"Iya, nggak kerasa."

Arel menoleh pada Ara, memperhatikan gadis yang menjadi sahabat sekaligus tambatan hatinya itu. "Kita bisa balik kayak dulu lagi, nggak Ra?"

"Apanya?"

Arel tersenyum, mendekati Ara lalu meraih tangan gadis itu untuk dilingkarkan di pundaknya. "Lo selalu ada di dekat gue dan peluk gue kayak di foto itu," tunjuk Arel pada sebuah potret dimana Ara berdiri di belakangnya dan memeluknya dengan penuhg senyum.

.

.

Bersambung

.

Riexx1323.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro