11. ALT + TAB

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jenna berjalan menuju dapur untuk mengambil minuman dan makanan ringan. Wanita berusia 27 tahun itu mengenakan baju terusan bertali yang dilapisi kardigan berwarna krem. Suasana rumah terasa sepi karena Ayah dan Bunda kini tengah menghadiri acara makan malam bersama teman-temannya.

Jenna sengaja menghidupkan TV yang ada di ruang tengah untuk membuat suasana menjadi lebih ramai. Namun, begitu ia kembali dari dapur tiba-tiba seluruh lampu di rumah padam.

Reaksi pertama Jena adalah diam. Ia bisa merasakan kalau jantungnya berdegup lebih cepat. Wanita bermata besar itu mulai menatap sekeliling dan sadar kalau tidak ada cahaya di sekitarnya.

"Mbak Yuli!" Jenna berteriak memanggil asisten rumah tangga.

Bukannya mendapat jawaban dari Mbak Yuli, Jenna malah dikejutkan oleh suara gemuruh. Jika disuruh memilih hal yang paling dibenci di bumi, Jenna akan memilih gelap, hujan disertai petir dan seorang pembohong untuk menempati tiga posisi teratas.

Jenna memiliki kenangan buruk tentang listrik padam bersamaan dengan hujan dan petir. Ketika kecil, ia pernah ditinggalkan dalam keadaan tidur. Saat itu listrik padam disertai hujan dan petir. Jenna menangis dan berteriak sekuat tenaga, tetapi tidak ada yang menghampirinya. Suaranya tenggelam di antara petir yang bergemuruh.

Jenna kecil terus menangis sambil berusaha berjalan keluar dengan meraba dinding. Ia menuju kamar Ayah dan Bunda yang ada di samping kamarnya. Kemudian, ia tidak mendapati mereka di sana. Tangisannya semakin kencang ketika tangannya tidak sengaja memecahkan vas bunga. Usianya masih 5 tahun ketika Jenna berdiri di atas pecahan kaca dan memilih untuk tidak bergerak dari sana karena ia tahu, ia tidak bisa melihat apapun. Sejak saat itu, Jenna benci gelap dan gemuruh.

Setelah beberapa menit, Jenna tersadar Kalau Mbak Yuli sedang pulang kampung. Benar kata orang, ketika sedang panik, otak kita tidak bisa bekerja secepat biasanya. Jenna baru ingat kalau ia mengantongi ponsel yang dapat mengeluarkan cahaya. Namun, setelah menyalakan senter di ponselnya, bukannya tenang, Jenna malah semakin takut. Ia merasa cahaya dari ponsel terlalu kecil untuk ruangan yang begitu besar.

Sadar kalau ia tidak sanggup bertahan sendirian, akhirnya Jenna menelpon nomor Bunda. Panggilannya tidak dijawab hingga dua kali. Jenna beralih memanggil Gia, tetapi sahabatnya itu tidak menjawab. Jenna semakin panik ketika pemberitahuan di ponselnya muncul, baterainya tinggal 10%.

Bak pahlawan kesiangan, tiba-tiba satu pesan dari Yujin masuk. Pria aneh itu mengirimkan 2 stiker untuk meledek Jenna. Satu stiker bergambar karakter yang tengah kehujanan. Kemudian stiker lainnya bergambar karakter yang tersambar petir.

Sadar baterainya sudah sekarat, akhirnya Jenna menelpon Yujin.

"Padahal gue belum ngajak lo perang, kok, udah nelpon?" Yujin terkekeh.

"Lo bisa ke rumah gue?" Jenna bertanya dengan suara yang bergetar. Hanya menunggu waktu hingga tangisnya pecah.

"Lo nggak lagi nge-prank gue, 'kan?"

"Gue takut. Gue sendirian di rumah, terus listrik padam sama hujan lebat."

Yujin bisa mendengar kalau wanita itu hampir menangis. "Alamat rumah lo masih yang dulu?"

"Iya."

"Oke. Gue ke sana sekarang. Lo punya senter di handphone, jalan ke pintu depan sekarang. Pakai senter itu, hati-hati jangan sampai luka!"

Kekhawatiran Yujin tentu beralasan. Ia tahu kalau Jenna takut gelap. Ditambah lagi ia sudah pernah mendengar cerita tentang vas bunga.

Yujin langsung mengambil jaket dan kunci mobil lalu segera bergegas menuju rumah Jenna. Untungnya, jarak rumah mereka tidak begitu jauh. Jadi, Yujin bisa tiba dengan cepat.

Yujin beruntung karena ingatannya  tidak separah Jenna. Ia masih ingat dengan jelas lokasi rumah wanita itu.
Pria yang menggunakan jaket hitam itu harus berlari di tengah hujan untuk membuka pagar.

Begitu tiba di depan pintu, Yujin mengibaskan rambutnya yang sudah basah karena terkena air hujan. Tidak lupa, ia langsung mengeluarkan ponselnya dan menyalakan senter.  "Jenna, ini gue Yujin. Buka pintunya."

Pintu rumah tersebut terbuka dengan perlahan. Yujin mengangkat ponselnya tinggi, sehingga cahaya senter menyorot Jenna.

Yujin sempat terperangah karena melihat Jena benar-benar ketakutan. Namun, seringainya langsung muncul ketika Jenna mengarahkan senter ke wajahnya.

"Jangan ketawain gue!"

Larangan Jenna malah membuat Yujin tertawa. "Abisan, muka lo aneh banget. Gue kira, kalau tambah tua, lo nggak bakal takut gelap. Ternyata masih aja. Emang lo nggak punya temen lain, selain gue?"

Jenna malah keluar dari rumah. Kemudian mendorong Yujin agar masuk lebih dulu. "Berisik. Mending lo tolongin gue cari di mana genset rumah ini."

Yujin masuk memimpin jalan. Bukannya bergerak mencari genset, ia malah duduk di sofa ruang tamu. "Gue nggak ngerti ngidupin genset. Di Jepang nggak pernah mati lampu."

"Idih. Gaya banget."

Yujin mengarahkan senternya ke sekeliling ruangan tersebut. "Oh, jadi gini penampakan dalamnya rumah lo."

Jena memukul pundak Yujin. "Lo bukan lagi tamasya, ya. Suruh siapa dulu kalau nganter gue pulang, nggak pernah mau masuk?"

"Ye, kalo gue masuk, ntar dikira pacar lo. Ogah banget gue dikira pacar cewek barbar kayak lo."

Kini Yujin sudah meletakkan ponselnya di meja dan mengarahkan senter ke atas. Penglihatan mereka cukup terbantu karenanya.

"Lo kira, gue mau sama lo? Gue sumpahin lo dapat istri barbar."

Yujin menggeser duduknya, ia menjaga jarak dari Jenna. "Nggak lo, nggak kakak gue, doyan banget nyumpahin."

Jenna menggeser duduknya semakin dekat dengan Yujin. "Bentar. Emang lo punya Kakak?"

"Bisa jadi." Yujin mengacak rambutnya yang masih basah.

"Kayaknya lo butuh handuk, deh." Jenna bangkit berdiri, tetapi ia batal melangkah karena sadar kalau ia takut untuk berjalan sendirian. "Lo pakai tisu di meja, aja."

Ketika Jenna kembali duduk, ia mendengar suara berdecit. Tidak lama kemudian, sepasang mata merah berjalan mendekat.

"Tikus!"

Bukannya membantu, Yujin malah melompat lebih dulu ke atas sofa. "Mana?"

Jena membeku di tempat. Ketika tikus tersebut semakin dekat, malah Yujin yang berteriak semakin heboh. Tanpa terduga, tikus tersebut bergerak cepat memanjat tubuh Jenna. Hal itu membuatnya panik dan segera membuka cardigannya.

"Tikusnya masuk ke baju gue."

Melihat Jenna hampir menangis, Yujin membuka jaketnya, lalu ia membungkus tangannya dengan jaket tersebut.

Hewan pengerat kecil itu bergerak sangat lincah. Hanya selang beberapa detik, makhluk kecil itu sudah berpindah ke tubuh Yujin. Yujin yang juga takut tikus, segera membuka kausnya ketika tikus tersebut berhasil menyentuh bagian tubuhnya yang tertutupi oleh baju. Kehebohan tersebut terus berlanjut sampai keduanya berdiri di atas sofa.

Panik membuat Jenna kehilangan keseimbangan, tanpa sengaja, ia menarik tangannya Yujin, akhirnya mereka berakhir dalam posisi yang ambigu. Jenna mendarat di sofa dengan punggung terlebih dahulu, sedangkan Yujin berhasil mendarat dengan kedua tangan yang berada di kiri dan kanan kepala Jenna.

Aloha!

Seneng banget bisa buat interaksi Yujin sama Jenna. Semoga suka!

Terima kasih yang sudah baca dan berkenan vote.

Yujin pas mau berangkat ke rumah Jenna

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro