12. SHIFT + F8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jenna mendarat di sofa dengan punggung terlebih dahulu, sedangkan Yujin berhasil mendarat dengan kedua tangan yang berada di kiri dan kanan kepala Jenna. Kini wajah keduanya sejajar. Mata mereka terkunci seolah waktu telah berhenti. Suara hujan dan gemuruh yang perlahan menghilang, tidak mempengaruhi keduanya. Namun, ruangan yang minim pencahayaan itu tiba-tiba menjadi terang. 

"Jenna!" 

Sepasang manusia yang tidak memiliki hubungan lebih dari sahabat itu menoleh kompak. Keduanya hampir tidak bisa bernapas ketika mendapati puluhan mata yang memandang mereka dengan tatapan menghakimi. 

"Yujin?" 

Suara wanita itu sangat Yujin kenali, tetapi tubuhnya tidak bisa diajak kompromi. Bukannya segera bangun dan membenahi diri, Yujin malah mengerjap tidak percaya karena melihat Mami di sana.

Jenna mendorong tubuh Yujin dengan segera, begitu menyadari kalau beberapa orang di belakang Ayah tengah mengarahkan ponselnya pada mereka. Belum lagi suara bisik-bisik yang memenuhi ruangan itu. Rasanya Jenna ingin menghilang saja. Ia dan Yujin jelas tidak melakukan apa-apa, tetapi posisi ambigu dengan pria yang sudah tidak mengenakan baju adalah petaka.

Ayah berdeham. "Sepertinya kita harus menunda acara hari ini."

Bunda langsung mengerti, ia segera mengantarkan teman-temannya keluar. "Maaf, ya. Nanti kita reschedule acaranya."

Jenna hanya bisa merutuki kebodohannya. Ia lupa, Bunda sudah mengatakan kalau akan membawa teman-temannya ke rumah untuk melelang beberapa perhiasan. Kini, Jenna hanya bisa menunduk malu. Ia mengambil kardigan yang berada di lantai dan memakainya kembali. 

Suara pukulan sempat membuat Jenna menoleh. Mami baru saja memukul Yujin dan melemparkan kaus ke wajah pria itu. 

"Mami nggak tahu lagi harus ngomong apa." Mami terduduk lemas di lantai. Dengan sigap, Yujin langsung menopang Mami yang hampir ambruk. "Pakai baju kamu!" Mami masih memukuli lengan Yujin.

"Kamu kenal anak ini, An?" Ayah bertanya pada Mami, tetapi matanya menatap Yujin sinis. Wajah dan telinga Ayah sudah memerah.

Jenna masih bingung karena melihat Mami Gia yang kelihatan sangat terpukul. 

"Ini anak saya yang mau dikenalkan sama Jenna. Saya nggak tahu kalau anak nakal ini sudah kenal dengan Jenna."

Yujin memakai kausnya dengan cepat. "Mami, aku bisa jelasin. Ini nggak seperti yang kalian lihat."

"Kamu, bangkit dari sana dan duduk di sebelah anak saya!" Ayah memijit pelipisnya.

"Lo adiknya Gia?" Jenna masih menyempatkan untuk bertanya pada Yujin yang baru duduk di sampingnya.

Yujin mengangguk, tetapi wajahnya langsung tegang ketika Ayah berdeham. Kini, Bunda dan Mami juga sudah duduk di sofa.

"Jadi, apa hubungan kalian?" Ayah berusaha bertanya setenang mungkin. Jenna bisa melihat kalau Ayah tengah mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih.

"Yah, ini nggak kayak yang Ayah bayangin." Jenna berbicara dengan percaya diri.

Ayah menatap Jenna sinis. Seumur hidupnya, Jenna tidak pernah mendapat tatapan seperti itu dari Ayah. "Kamu, diam!"

"Kami hanya berteman, Om." Yujin menjawab apa adanya. Jenna tidak pernah menduga kalau pria yang suka bercanda itu bisa bicara dengan tenang dalam kondisi terjepit. 

"Nggak ada teman yang saling melucuti baju dan tidur bersama." Ayah berbicara dengan suara keras.

"Nggak gitu, Yah." Jenna benar-benar takut melihat emosi Ayah yang hampir meledak.

"Kamu, diam!" Ayah buang muka. "Kalian sudah buat malu keluarga. Ayah nggak pernah ajarin kamu begini, Jenna!"

Jenna hampir menangis. Ia ingin menjelaskan situasinya, tetapi yang dilihat oleh mata pasti akan lebih mudah dipercayai daripada cerita tanpa bukti.

Ponsel Bunda dan Mami berbunyi. Notifikasi pesan datang bertubi-tubi. Ternyata, salah satu teman Bunda yang datang ke rumah, sudah mengirim foto Jenna dan Yujin ke grup arisan mereka. Melihat foto tersebut membuat Bunda tidak bisa berkata-kata.

Grup yang berisi hampir seratus orang itu langsung heboh. Beberapa dari mereka menghujat Jenna. Belum lagi ujaran kebencian yang dilayangkan pada Yujin. Dalam beberapa menit, gosip mengenai Jenna dan Yujin sudah menyebar. Bunda menunjukkan hal itu pada Ayah, lalu bertukar tatap dengan Mami.

Ayah menarik napas panjang. "Jadi, kapan kamu akan bertanggung jawab?"

Yujin mengerjap. Ia tidak percaya dengan telinganya sendiri. Pria yang mengenakan kaus hitam itu hampir tertawa. "Apa yang perlu dipertanggung jawabkan, Om? Kami nggak ngapa-ngapain. Sumpah." 

Ayah meletakkan ponsel Bunda ke meja. "Bagaimana kamu bertanggung jawab untuk masalah ini?"

Yujin mengambil ponsel tersebut dan melihatnya sekilas. "Berita kayak gini nggak akan bertahan lama. Saya sama Jenna cuma temenan dan kami nggak ngelakuin apa-apa. Jadi, saya rasa masalah ini selesai, ya?" 

Yujin berdiri dan memegang lengan Mami. Mami bangkit berdiri seolah setuju dengan Yujin, tetapi tangan kanannya melayang dan berhasil mendarat di pipi Yujin. Suara keras dari tamparan itu membuat Jenna menutup mulut dengan tangan.

"Siapa yang mengajari kamu jadi laki-laki nggak bertanggung jawab begini?" 

"Mi, aku beneran nggak ngapa-ngapain. Aku ke sini buat nolongin Jenna yang takut gelap." Yujin berbicara dengan suara yang keras sambil menunjuk Jenna. Pria berambut tebal itu merasa sudah hampir gila karena terjebak dalam situasi konyol seperti ini.

"Yujin, duduk!"

Suara bas yang menggema di ruangan itu membuat Yujin menurut dan tidak berkutik. Ia merasa kalau kini darah di seluruh tubuhnya sudah pindah ke kepala. Kepala Yujin terassa sangat berat begitu mendengar suara Papi.

"Saya minta maaf untuk perbuatan anak saya. Kami akan bertanggung jawab. Kita bisa melangsungkan pernikahan sesegera mungkin." Papi berbicara setelah berjabat tangan dengan Ayah.

Jenna menoleh pada Yujin, berharap pria itu bisa menghentikan orang tua mereka. Namun, Yujin hanya diam seolah kehilangan semua kemampuan bicaranya.

"Yah, aku nggak mau nikah sama Yujin." Jenna mengeluh.

"Kamu nggak dalam kondisi bisa memilih, Jenna. Duduk diam di sana, biar Ayah sama Bunda yang selesaikan ini semua."

Jenna menyenggol lengan Yujin untuk meminta bantuan, tetapi pria bermata sipit itu malah menghela napas dan bangkit berdiri.

"Kamu mau ke mana?" Papi bertanya dengan sarkas.

"Kalian akan menyelesaikan semuanya, 'kan? Buat apa saya duduk di sini? Kalian juga nggak peduli pada kebenarannya, 'kan? Silakan berpikir sesuka kalian!"

Yujin melangkah menuju pintu, tetapi langkahnya langsung terhenti ketika Papi bicara.

"Kamu mau kabur? Silakan, lakukan hal pengecut seperti itu! Kalau perlu, kabur sampai ke Jepang! Kamu memang nggak pernah peduli dengan keluargamu di sini."

"Pi." Suara Mami sempat menghentikan teriakan Papi.

"Kalau kamu berani keluar dari rumah ini, jangan harap, kamu bisa menginjakkan kaki di rumah saya."

Yujin sudah terlanjur kesal. Ia tetap melangkah keluar dari sana. 


Aloha!

Terima kasih buat yang sudah mau baca dan berkenan vote.

"Nggak tahu mau ngomong apa lagi."
Jennaya yang lagi galau.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro