6. Maybe My Soulmate Died, or Maybe I Don't Have a Soul

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ya, aku sengaja...."
Dia mengulang, aku pun terdiam cukup lama. Air muka Nyonya Alpeby berkaca-kaca. Mungkin ia mengira aku akan marah tetapi nyatanya jauh dari lubuk hatiku yang paling dalam aku biasa saja. Entah kenapa. Mungkin kalau dulu aku akan menangis dan marah sembari terus berharap orangtuaku di jalan yang benar, tetapi saat ini sudah tidak. Aku tidak tahu kenapa.

"Sebenarnya, ia tidak hanya melakukannya sekali. Dan kupikir sebagai sesama wanita dan Ibu, apabila ini diketahui anak perempuanku maka aku akan benar-benar merasa menjadi sampah. Dan aku pikir aku akan memutuskan untuk berubah. Mengingat sifat Ibumu tidak sebodoh itu untuk melakukan hal lain."

Nyonya Alpeby membuatku mengerti dengan penuh rasa bersalahnya tetapi aku tidak merasa apa-apa. Aku hanya tersenyum dan mengajaknya pulang ke hotel. Ini sudah larut dan dingin.

Besoknya usai sarapan pagi, kami berencana checkout. Namun, aku meminta Nyonya Alpeby untuk menyediakan waktu sebentar saja. Karena ada toko barang antik yang ingin kukunjungi. Aku ingin mengembalikan diorama jelek yang kubeli entah berapa pst ini.

Agak setengah ingat untukku mencapai toko barang antik ini, papan tanda buka yang tergantung di sana membuatku percaya diri dan membuka pintu. Hal yang pertama kali membuatku takjub adalah begitu rapinya barang-barang di sini ditata. Rasanya sedikit berbeda dengan saat aku membeli diorama. Apa saat itu rapi atau berantakan ya? Rasanya ingatakanku kabur.

"Selamat datang."
Seorang nenek menyambutku dengan senyuman hangat dan ramah, tidak seperti pria horor yang kapan lalu kuingat kukunjungi ini. Mungkin pria itu puteranya.

"Ah, aku ingin menjual kembali barang yang kubeli ini atau kalau tidak boleh aku ingin menukarnya dengan yang lain."

"Ah, barang ini. Wah lancang sekali dia. Sini nak. Silakan duduk dulu."

Ia menyuruhku untuk duduk di kursi depan meja konternya, dan ia malah masuk sebentar sembari membawakanku setoples cemilan kering dan kudengar ada suara kompor dinyalakan. Sepertinya ia memasang teko.

"Sembari menunggu teko airnya panas, mari ceritakan perihal dirimu dulu. Sekali lagi maafkan anak itu ya, aku yakin biaya yang dia minta juga seenaknya."

Aku kebingungan. Seingatku aku hanya menyerahkan beberapa pst dan tidak semahal itu untuk membeli sebuah diorama ini. Walaupun aku heran kenapa aku membeli diorama ini.

"Melihatmu kebingungan seperti ini, aku yakin dia juga mengambil biaya tambahan. Aduh, anak ini. Baiklah aku beri hadiah lain. Aku akan memberitahumu ramalan masa depan dan akan mengambil kembali diorama yang tidak kamu sukai ini. Sebentar." Nenek itu kembali ke dapur yang rupanya dekat dengan tokonya--hanya berbatas dinding. Lalu keluar dari sana sembari membawa nampan berisi dua cangkir teh. Dari aroma dengan jeruk yang kuat, aku yakin ini teh earl grey.

"Terimakasih,"kataku sembari menerima teh hangat yang ia sodorkan.

"Silakan dinikmati dengan pelan," katanya sembari kembali ke dapur lagi entah mengambil apa. Itu cukup lama sampai tehku dingin dan sisa setengah.

Rupanya teh racikan yang ia sodorkan ini memiliki cukup banyak ampas yang tersisa. Aku tidak tahu apakah ia menyaringnya atau tidak yang jelas memang dari tadi ampas itu mengendap di sana. Secara ajaib tidak terikut minum olehku.

Ketika Nenek itu kembali, ia membawa nampan lagi dengan beberapa toples dengan barang-barang aneh.

Ia meminta cangkirku yang tehnya belum habis sampai teh itu dingin dan sedikit mencibirku ketika aku belum menghabiskan sampai tersisa ampasnya saja. Aku meminta maaf dan ia kemudian tidak mempermasalahkannya lagi.

Ia terlihat memasukkan beberapa mutiara ke cangkirku dan itu membuatku kaget. Lalu menambahkan sejumput sesuatu seperti serbuk tanaman dan satu lagi sebuah serbuk mengkilat. Aku takut ia menyuruhku meminumnya tetapi ternyata tidak. Ia mengamati lekat-lekat cangkirku itu.

Aku tidak tahu apa yang dilihatnya tetapi ia menutup mulutnya dan dengan wajah berkerut ia kemudian meraih tanganku.

"Kau anak yang kuat, dan sesuatu yang telah diambil biasanya memang tidak bisa dikembalikan tetapi bisa digantikan. Aku tidak bisa mengembalikan rasa cintamu pada orangtuamu yang diambil oleh dia. Namun, akan aku coba lihat. Apakah aku bisa menggantikan dengan yang lain."

Nenek itu menaburkan serbuk hijaunya ke cangkirku lagi dan ia melihat lekat-lekat ke dalam cangkir itu. Namun, ia malah menggigit jarinya dan mulai menitikkan air mata.

"Jodoh jiwamu.... Tidak pernah ada."

Nenek itu mulai menangis dan meraih tanganku lalu menciuminya.

"Mengapa takdirmu seperti ini. Nak. Mengapa?" Aku tidak mengerti sepatah kata pun yang ia maksud. Rasa cinta pada orangtua? Jodoh jiwa? Apa maksudnya.

"Ah, tapi. Tapi sebentar. Meski bukan jodoh, mungkin kamu bisa merasakan cinta lagipula umurmu masih muda dan masa depan yang ditutup rapat itu baru beberapa tahun lagi."

Nenek itu memasukkan serbuk lain meski tidak hijau. Hal yang kukhawatirkan adalah cangkirku sudah penuh.

"Akan ada seorang laki-laki. Mungkin sebenarnya kau sudah menyukainya sejak lama. Dan ia sangat baik padamu. Jangan pernah malu dekat dengannya."

Nenek itu tersenyum padaku dengan lembut meski kalimat terakhirnya yang penuh luka ia berusaha sembunyikan. "Kau menyukainya, tidak apa jadi teman. Dekat dengannya akan menolongmu. Takdirmu sangat dikunci rapat. Aku tidak tahu apa itu--itu juga membuatku takut sejujurnya. Yang jelas apa yang kulihat dan kusampaikan padamu dalam hal tadi itu benar adanya. Hanya itu yang bisa kucuri."

Nenek itu kemudian menuangkan cangkir yang penuh dengan serbuk aneh dan beberapa mutiara ke tempat sampah di samping meja konter. Mutiara-mutiara itu sudah tidak berwarna putih atau kuning karena teh, tetapi berwarna hitam sekali.

"Aku tidak bisa memberikanmu apapun rupanya. Hanya satu saja pesanku sebagai token keberuntunganmu. Dekatlah dengan orang-orang yang mengkhawatirkanmu."

Aku dengan aneh setelah itu dipersilakan pergi oleh nenek itu. Setelah itu aku pulang ke hotel dan kami benar benar akan kembali ke Bibury. Dan sampai sana ketika Nyonya Alpeby mengajakku makan di luar suatu hari. Ia mengajakku makan di Catherine Wheel. Sebuah Pub.

Aku sedikit mengerti dengan yang nenek itu maksud.

Jantungku berdegup kencang dengan tiga orang yang di sana.

Seorang anak perempuan buta dengan gelas limunnya, dan seorang anak perempuan yang bersenda gurau dengan anak laki-laki di depannya.

Aku mengenal Esme. Kami pernah dekat dulu. Aku juga kenal Isla, gadis buta yang kutangisi nasibnya, Dan aku juga kenal Harvey seorang anak laki-laki baik....

Tunggu, wajahku memerah.

Aku langsung menoleh ke makananku ketika Harvey terlihat menoleh ke arahku. Setelah itu aku mengajak Nyonya Alpeby segera pergi dari sini dan pulang ke hotelku. Hotel The Swan.

Aku teringat beberapa kejadian ketika aku dijauhi teman-teman sekolahku karena keluargaku tidak akur. Ada Esme yang selalu menolongku dan memilihku. Serta Harvey di sampingnya yang perhatian padaku.

Pipiku memerah lagi dan langsung berguling-guling di atas kasur.

Astaga. Inikah perasaan menyukai seseorang itu.

Namun ... Aku teringat dengan pertemanan mereka. Aku sudah tidak bisa mendekati mereka lagi.

Aku terdiam menatap langit-langit. Aku sudah menjauhi Esme dan aku tidak bisa kembali lagi....

Pantas saja. Kata Nenek itu, Aku dan Harvey hanya bisa jadi teman. Ah, mana mungkin teman. Lebih tepatnya mungkin kami hanya kenalan.
Aku hanya terdiam dan menatap kosong langit-langit kamarku yang ramai dengan hiasan.

"Nona, ini saya." Nyonya Alpeby mengetuk kamarku.

"Tuan dan Nyonya memutuskan untuk pergi ke rumah kakek Anda untuk meminta saran dalam menyelesaikan masalah rentenir dan hubungan mereka ke depannya. Apakah Anda tidak ingin ikut?"

Aku terdiam cukup lama. "Sepertinya tidak. Buat apa aku ke sana?"

"Mereka orangtua Anda."

"Ah, entah kenapa aku sudah tidak peduli lagi sekarang. Perasaanku sudah kosong pada mereka."
Itu benar adanya. Rasa kosong ini mungkin sudah seperti ...
"Atau mungkin aku sebenarnya tidak punya jiwa ya." Tawaku getir.

Nyonya Alpeby hanya memelukku kemudian undur diri. Ia akan memyampaikan pesanku pada orangtuaku.
Aku pun kembali ke ranjangku dan menatap langit-langit.

"Sepertinya memang lebih masuk akal aku tidak punya jiwa kalau aku tidak punya jodoh jiwaku."

Aku mulai meringkuk di kasurku dan menarik selimut.

"Namun, mengapa aku masih bisa menyukai orang kalau aku tidak punya jiwa?

"Apa sebenarnya aku punya, hanya jodoh jiwaku yang sudah mati terlebih dahulu?"

Omongan-omongan nenek di toko antik di London itu begitu memenuhi pikiranku. Yang ia ucapkan benar semua....

Dan aku jadi semakin yakin kalau memang dunia ini tidak menginginkanku dengan membuat aku tidak memiliki jodoh jiwa, ketika aku mendapat hari merah pertamaku.
~

1314 kata

Rekor dwc kali ini 🥲
Oke romensnya secuplikk
Maap yak Puput 😭 yang penting kan romens dengan trope soulmate kann. Nah ini emang soulmatenya kagak ada. Kalau kata frasa sebuah lagu antara dia ga punya jiwa atau emang jodohnya dah wafat duluan 😭

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro