bab empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bentar, amanat dulu.

Karena kemarin aku gak update.
Jadi, untuk hari ini aku bakalan double update.
Tapi gak langsung dua bab ya.
Satu dulu, dan satunya lagi nanti malam.

Kalau kalian Nemu bahasa asing yang harusnya di italic tapi aku gak italic, itu sebenernya udah italic ya. gak tau kenapa suka gak keliatan. Kalau di PC keliatan kok.

Seperti biasa, tanda '—' untuk flashback.

Reinkarnasi itu sesuai kepercayaan aja ya.
Kalian gak harus anggap ini nyata.
KAN INI FIKSI BUNG!

BIJAKLAH DALAM MEMBACA!

Happy reading vren🔥❤️

🥀🥀🥀

Dengan mata yang berulang kali menatap arloji putih di tangannya, langkah kaki Indira bergerak cepat. Sebab, ia hanya memiliki waktu tujuh menit untuk menuju kelas sebelum bel dibunyikan.

Suara motor yang baru saja masuk ke area sekolah membuat Indira sedikit menyingkir, memberi jalan untuk tiga motor besar yang hendak melewat. Indira memperlambat langkahnya, pandangannya menatap tiga motor tadi yang berhenti tak jauh darinya.

Kakinya berhenti saat orang-orang itu membuka helm. Ternyata itu adalah teman-teman kelasnya; Anan, Sultan, Kavin, dan Serin. Tetapi, ada satu perempuan yang tak ia kenal. Matanya menyipit untuk memastikan siapa perempuan yang tengah turun dari motor Anan.

Ah! Indira ingat. Perempuan itu adalah Natya, anak XII IPA-1, mantan ketua klub musik. Fotonya terpajang di papan informasi, bersanding dengan Anan dan beberapa orang berprestasi lainnya.

Indira tak bodoh. Natya pasti pacar Anan. Indira membelokkan kakinya ke arah lain, menghindari orang-orang yang sedang bergurau itu. Indira sedang malas melihat kilas balik masa lalunya.

Sembari berjalan, tangannya menepuk-nepuk dadanya yang kesulitan menerima oksigen. "Come on, Indira. Kenapa Lo kayak gini? Natya pacar Anan, ngapain Lo harus jadi pihak yang kesakitan?" gerutunya pada diri sendiri.

🥀🥀🥀

Kantin selalu menjadi tempat paling ramai dikunjungi di sekolah. Indira menyapu pandangannya, lalu bibirnya tertarik saat berhasil menemukan satu meja kosong. Ia bergegas mendatangi meja itu dengan kedua tangan memegang segelas es teh dan sepiring cireng pedas.

Indira hanya duduk sendirian sembari meniup cireng pedas yang masih panas. Saat dirasa sudah cukup dingin, ia menyuapkan ke dalam mulutnya. Sesekali tatapannya berkeliling melihat orang-orang yang terlihat asyik dengan teman-temannya.

"Najis banget sih punya temen kayak gitu!" cerca seseorang yang tiba-tiba mengambil lahan kosong di depannya.

Dahi Indira mengerut. Perempuan di hadapannya ini adalah Renanda—teman sebangkunya. Melihat Rere yang terus mendumel membuat Indira penasaran. Tapi, ia terlalu malu untuk bertanya dan berakhir hanya menatap teman sebangkunya itu dengan bingung.

"Lo gak mau nanya gue kenapa?" tanya Rere di tengah kesalnya.

"Kenapa?" tanya Indira polos.

Rere yang melihat respons Indira pun membuang napas kasar. Emosinya terasa bertambah berkali-kali lipat. "Lo pendiem, ya?"

Indira menggeleng, kemudian menyanggah, "Aku itu pemalu, bukan pendiam. Bisa bedain kan?"

Mata Rere memutar. Lagi, ia membuang napas jengah. "Bodo amat! Mau Lo pendiem, pemalu, pemaku, terserah! Pokoknya gue lagi kesel," cerocosnya.

"Kesel kenapa?" tanya Indira merespons.

"Lo liat arah jam satu." Jari tengah Rere menunjuk tiga orang yang sedang tertawa. Indira mengarahkan pandangannya mengikuti arah tunjuk Rere.

"Satu dari mereka itu temen deket gue. Setiap kali dia sedih atau ada masalah, yang pertama kali dicari itu gue. Semua bebannya dibagi ke gue. Solusi terbaik gue masih buat dia. Lah, giliran gue butuh tempat cerita, dia ke mana? Malah asyik sama temen-temen baru dia. Lupa diri banget! Eoh, najis banget punya temen kayak gitu," papar Rere sembari melahap batagor dari mangkuk ayam jago.

"Itu namanya dimanfaatin doang," kata Indira.

Rere menelan makanan terakhirnya, lalu mengembuskan napas. "Ya, emang sih cita-cita gue itu jadi orang yang bermanfaat. TAPI, GAK GINI JUGA!" teriak Rere di akhir kalimatnya.

Indira tersenyum geli melihat tingkah teman sebangkunya ini. Ternyata begini rasanya memiliki teman. Menyenangkan, batinnya.

🥀🥀🥀

Anan yang tengah menunggu teman-temannya memusatkan perhatiannya ke arah Indira. Senyumnya tak pernah memudar sedikitpun. Raut wajahnya terlihat sangat bahagia, kemudian bayangan masa lalu melintas di benaknya.

Milan dan Nadir berjalan berdampingan menyusuri rel kereta yang sudah berkarat. Jalan kereta itu sudah lama sekali tak dipakai. Karena, pemerintah sudah membuat jalur yang lebih mempersingkat perjalanan.

Nadir tersenyum senang dengan kedua tangan yang ia lentangkan lebar-lebar. Setangkai bunga mawar merah terselip di saku kemejanya. Embusan angin menyapu wajah Nadir, membuat anak rambutnya beterbangan. Netra Milan tak pernah beralih sedetikpun. Ia begitu betah menatap wajah kecil kekasihnya.

"Lan, kenapa kamu kasih aku bunga mawar? Kan berduri," tanya Nadir seraya melirik si pemberi.

"Katanya mawar merah melambangkan cinta," jawab Milan seadanya.

"Biar kamu tau perasaan aku," lanjutnya.

"Milan...." Nadir mengulum senyumnya dan membuang pandangan ke arah lain.

"Kamu suka mawar?" celetuk Nadir.

Milan mengangguk dua kali. "Suka."

"Berarti aku juga suka."

"Bunganya?" bingung Milan.

"Yang ngasihnya," kekeh Nadir membuat Milan tersenyum lebar.

Anan beranjak dari duduknya dan menyambar susu Milo yang ada di mejanya. Ia berjalan mendekat ke arah Indira. "Nih," kata Anan seraya mengulurkan tangannya.

Indira tergemap saat sebuah tangan tiba-tiba terulur memberikan sekotak susu Milo. Ia menoleh dan mendapati Anan berdiri dengan senyuman lebar. Indira hanya menatap susu Milo itu tanpa mengambilnya.

"Buat Lo, Indira," jelas Anan ketika melihat Indira yang kebingungan.

Tangan Indira bergerak mengambil susu hijau itu. "O-oh, makasih," katanya gelagapan.

"NAN, SINI!" Sultan memanggil Anan sembari melambaikan tangan. Isyarat untuknya datang.

"Gue ke sana, ya," pamit Anan. Tapi, langkahnya tertahan oleh suara Indira.

"Makasih lagi."

Anan kembali berbalik. "Gue cuma kasih susu Milo satu, kenapa makasihnya dua?"

"Buat yang kemarin," ungkap Indira dengan penuh keberanian.

Tampak Anan mengingat-ingat. "Oh, kemarin gue gak niat kasih Lo, itu ketinggalan. Tapi, gak papa buat Lo aja." Setelah membuat Indira malu setengah mati, Anan berlalu begitu saja.

Suara tawa Rere terdengar nyaring, membuat wajah Indira bertambah merah. "Ra, gue saranin jangan berharap lebih deh sama Anan, soalnya dia udah ada pacar. Jangan jadi pecokor!" pesan Rere usai tawanya reda.

Indira menatap Anan lekat. Helaan napas lolos dari mulutnya. "Aku gak berharap lebih sama dia. Tapi—ah, kamu gak bakalan ngerti."

Di meja Anan, Natya melihat bagaimana Indira menatap pacarnya. Ada sorot memuja dari matanya. Hal itu membuatnya penasaran mengenai murid baru yang selalu Sultan sebut-sebut.

🥀🥀🥀

Kira-kira Natya mau ambil tindakan apa ya pas liat ada cewek yang mantau pacarnya???

Kalina tim mana?

Milan Nadir?

Anan Indira?

Atau

Anan Natya?

Buat kalian yang gak mau pusing sama alurnya, silakan baca dari awal ya. Jangan skip skipan, soalnya ini alur nyambung setiap babnya. Terima kasih.

See u nanti malam😙

❤️❤️❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro