bab lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yeay double update 😙

Sesuai janji aku di bab sebelumnya, bahwa aku bakalan update dua bab karena kemarin gak update.

Walaupun tengah malam gini, gak apa-apa lah ya.

Note; tanda '—' adalah flashback!

TOLONG BIJAK DALAM MEMBACA!

Happy reading!!!

🥀🥀🥀

Lapangan hijau dengan pohon-pohon rindang yang menjadi saksi bisu janji Milan, tak banyak berubah meski sudah dua puluh enam tahun berlalu. Senyuman Milan di tempat ini tak memudar dalam ingatan Indira.

Seragam putih yang dibalut almamater abu masih melekat di tubuh Indira. Karena, sepulang sekolah ia langsung menuju ke lapangan yang tak sengaja ditemukannya saat pertama kali ke Bandung.

Indira mendudukkan tubuhnya di bawah pohon rindang yang tak terlalu tinggi. Kepalanya menengadah menatap langit yang biru tanpa awan dengan tangan yang menggenggam erat susu Milo. Senyumnya terbit kala angin menyapu wajahnya, membuat ia merasa sangat damai.

"Milan, kita berhasil hidup lagi. Tapi, apa cerita kita bakalan ikut hidup lagi?" gumam Indira yang memejamkan matanya.

"Milan, aku berhasil nemuin kamu. Apa kamu berhasil nemuin aku?"

"Berhasil kok, Nad." Suara sahutan membuat mata Indira terbuka, kaget.

Di hadapannya, berdiri lelaki jangkung mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya. Lelaki itu tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya, lalu mengambil lahan kosong di samping Indira.

"Anan?" bingungnya saat melihat teman sekelasnya mendatangi tempat yang sama.

Senyumnya Anan semakin melebar. "Gue inget kok kalau Lo itu Nadir kan?"

Mulut Indira sedikit terbuka. Ia pikir Anan tak akan mengenalnya sebagai Nadir. "Kamu juga dapet bayangan itu?" tanya Indira memastikan.

Anan mengangguk beberapa kali, kemudian memberikan setangkai bunga mawar yang dibungkus plastik bening. "Gue ke sini buat nyimpen ini buat Nadir. Gak gue sangka ternyata orangnya dateng," ucap Anan masih saja tersenyum.

Tangan Indira bergerak menerima bunga itu, mencium baunya sembari mendengarkan kalimat Anan selanjutnya. "Dulu Nadir suka banget sama bunga mawar."

Indira terkekeh kecil. "Nadir bukan suka bunganya, tapi suka sama yang ngasihnya," jelas Nadir membenarkan.

Anan ikut terkekeh. "Kalau lo gimana?" tanya Anan kepada Indira yang terlihat sangat bahagia.

"Suka." Kepalanya mengangguk mantap.

"Bunganya?"

"Bukan, sama yang ngasihnya."

Keduanya tergelak bersamaan, terasa sangat Déjà vu. Atmosfer yang dirasakan persis seperti dua puluh enam tahun lalu. Seolah Milan dan Nadir benar-benar hidup kembali dan mengulang kisah yang pernah mereka lalui.

"Ini buat kamu." Indira memberikan susu Milo yang ia pegang.

"Gue juga suka banget sama Milo," kata Anan seraya membuka plastik sedotan, hendak meminum susunya.

"Tapi, aku lebih suka permen yupi," balas Indira yang mengeluarkan yupi berbentuk love dari saku seragamnya untuk dimakan.

"Gue pikir Lo suka banget sama Milo." Tangan Anan naik menyisir rambutnya yang sedikit berantakan oleh angin.

"Aku suka Milo itu gara-gara di masa lalu Milan suka Milo. Karena, apapun yang Milan suka, pasti aku suka juga," ujar Indira yang menarik senyum tipisnya.

Anan berdecak kagum mengetahui fakta itu. "Gue baru tau kalau Nadir secinta itu sama Milan."

"Iya. Bahkan sampai saat ini."

Seketika Anan kehilangan kata-kata. Jika Nadir masih mencintai sosok Milan meski sudah berganti raga, apakah dirinya sebagai Milan masih mencintai sosok Nadir? Kalau masih mencintai, lalu perasaan apa yang ia rasakan kepada Natya? Anan dibuat pusing sendiri.

"Tau tempat ini dari mana? Lo kan dari Jakarta." Anan mengubah topik pembicaraan yang lebih ringan.

"Waktu pertama kali ke Bandung, aku lewat sini dan ngerasa gak asing sama tempat ini. Pas diinget lagi, ternyata tempat ini yang ada di bayangan aku," jelas Indira tanpa menatap Anan.

"Eh, Lo ngehindarin kontak mata gue?" Anan menyadari jika sedari tadi Indira membuang tatapannya ke arah lain.

"Bukan gitu," bantah Indira. "Setiap kali aku liat mata kamu, bayangan masa lalu muncul dan itu menyakitkan," terangnya yang masih tak mau menatap lawan bicaranya.

Alis Anan bertautan. Kedua tangannya bergerak cepat merangkum wajah Indira, membuatnya saling menatap. Namun, Indira dengan sigap menutup matanya. Ia benar-benar enggan menatap netra cokelat Anan.

"Coba liat mata gue, Ra. Soalnya bayangan yang gue liat itu bahagia terus kok," titah Anan, tak percaya jika bayangan yang Indira lihat itu menyakitkan.

Indira menggeleng kuat. "Gak mau, Nan," tolaknya.

"Ayo, Ra. Lo harus coba! Siapa tau yang sekarang ini bahagia." Anan terus meyuruh Indira untuk menatap matanya.

Akhirnya Indira menyerah setelah Anan terus memaksanya. Perempuan pecinta yupi itu membuka matanya perlahan dan hal pertama yangang netranya tangkap adalah dua bola mata milik Anan. Hanya dalam hitungan detik, Indira mampu melihat kilas balik dari iris lelaki di hadapannya.

Tatapan Indira lurus dan terlihat kosong, kemudian air mata mengalir begitu saja. Dadanya naik turun merasakan sesak. Bayangan itu berputar tanpa bisa Indira hentikan.

"Milan, janji itu sesuatu yang harus ditepati, bukan diingkari," Nadir menjeda kalimatnya. "Kayaknya kamu terlalu banyak janji," ujar Nadir yang tengah berbaring di bawah pohon.

Milan belum ingin menyahut. Lelaki itu terus mengelus surai hitam sebahu milik kekasihnya yang menyimpan kepalanya di pangkuannya.

"Kamu janji bakalan selalu nemenin aku makan eskrim. Kamu janji bakalan kasih aku mawar setiap hari minggu. Kamu janji bakalan kasih mahar kalau aku sembuh. Kamu janji bakalan tetep mencintai aku di kehidupan selanjutnya." Lebih dari itu Nadir menjabarkan janji-janji Milan kepada dirinya.

"Kalau kamu keberatan, gak papa kok kamu ingkar janji. Cukup tepati satu janji." Nadir menggantung ucapannya. Ia meluruskan kepalanya untuk menatap manik Milan.

"Apa?" tanya Milan.

"Janji kamu di tempat ini."

Milan melengkungkan bibirnya. "Aku pasti bakalan mencintai kamu, Nad. Mau itu sekarang ataupun di kehidupan selanjutnya. Let's meet until next life, Nad."

Air mata Indira mengalir semakin deras. Satu kalimat terakhir Milan itu yang paling melekat di kepalanya. Anan terperangah saat melihat reaksi Indira. Tangannya menurun memegangi kedua bahu Indira, kemudian mengguncangnya cukup keras.

"Indira ... Indira ... Sadar, Ra!" Anan bingung sendiri. Ia menyesal sudah memaksa Indira mencoba.

Kepalanya sudah tak bisa diajak mencari jalan keluar. Anan langsung mendekap tubuh Indira seraya mengelus punggungnya lembut. "Tenang, Ra, gue di sini," bisiknya tepat ke telinga Indira.

"Milan, aku hancur," cicit Indira di dalam pelukan Anan.

🥀🥀🥀

Tanggapannya buat bab ini apa??

Alur terus berjalan ya.
Nanti, perlahan-lahan semuanya bakalan jelas.

Adakah yang ingin disampaikan untuk

Milan?

Nadir?

Anan?

Indira?

Mau aku bikinin cast gak?

Terima kasih buat kalian semua yang selalu mensupport cerita ini sampai saat ini.

Semoga bahagia selalu, banyak uang selalu, dan banyak kuota selalu biar bisa dapet notif dari aku setiap harinya🔥

See you..

Maaf ya malam malam gangguuu, xixixixi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro