bab enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Maaf banget telat update vren😩🙏

Tadi malem ketiduran 😩

Gak usah ada pembukaan ya, langsung aja.

Happy reading 😩🔥❤️

🥀🥀🥀

Di tempat duduknya, Indira menatap bingung sekitarnya. Karena, guru Bahasa Indonesia menyuruh untuk membuat kelompok tugas yang terdiri dari dua orang, tidak diperbolehkan dengan teman sebangku. Katanya untuk lebih akrab dengan yang lainnya.

Indira benar-benar kebingungan. Pasalnya hanya ia hanya berhasil berinteraksi dengan Rere. Indira sedikit mencebikkan mulutnya. Saat situasi seperti ini ia benci pada dirinya sendiri yang begitu sulit menjalin pertemanan.

Sambil menghela napas kesal, ia terus melihat bagaimana Rere terlihat sangat akrab dengan teman kelompoknya. Indira merasa iri dengan Rere yang terlihat begitu friendly.

"Lo gak punya temen kelompok?"

Indira menengok ke samping. Matanya mengerjap beberapa kali. "E-enggak," gagapnya.

Anan, lelaki yang bertanya itu menampilkan senyumnya. "Oke, berarti kita satu kelompok," ujarnya dan langsung mengambil alih kursi milik Rere.

"Eh." Indira merasa kaget. Ia tak percaya jika Anan akan mengajaknya menjadi partner.

"Kenapa?" Anan menaikkan sebelah alisnya. "Gak mau satu kelompok sama gue?"

Pertanyaan Anan membuat Indira kelabakan sendiri. Ia bingung harus merespons apa. "Bukan gitu. Aku kira kamu bakalan sama—"

"ANAN! LO KENAPA SELINGKUH! BIASANYA JUGA KALAU NUGAS LO SAMA GUE," sembur Sultan saat Indira mau menyebutkan namanya.

"Gak! Gue gak mau sama lo. Cuma jadi beban Lo," balas Anan mendelik tajam.

Sultan menampilkan raut wajah tertekan. "Awas Lo, Nan! Gak bakalan gue kasih jatah nanti malem," ancam Sultan sebelum pergi.

Pihak yang diancam malah meledek dengan ekspresi yang dibuat-buat.

Indira tersenyum geli melihat tingkah dua sohib itu. "Jatah apa, Nan?" tanyanya sedikit ragu.

"Heh, jangan salah paham," panik Anan.

"Itu jatah traktiran di angkringan," lanjutnya menjelaskan.

Mulut Indira membulat. Ia mengeluarkan buku paketnya dari laci meja dan membuka halaman yang diperintahkan oleh guru Bahasa Indonesia.

Bibirnya kembali mencebik saat melihat tugasnya. "Kok puisi sih?" keluhnya. Indira memang tak menyukai sastra, apalagi tentang puisi. Ia terlalu payah untuk merangkai kata.

"Bapak Sapardi Djoko Damono? Siapa?" bingungnya sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Anan yang melihat kebingungan di wajah Indira malah menahan tawa. "Lo beneran gak tau bapak Sapardi Djoko Damono?" tanya Anan tak percaya jika Indira tak tau bapak puisi itu.

Kepala Indira menggeleng dengan tatapan polos. Ia menampilkan senyum kikuk. "Artis?"

"Iya, artis di dunia sajak," jawab Anan yang semakin membuat Indira bingung.

"Ah, gak tau." Indira kembali membaca tugas di buku paket. "Hah? Chairil Anwar? Kahlil Gibran? Siapa sih?" gerutu Indira yang semakin bingung.

Tak henti-hentinya Anan tertawa kecil melihat ekspresi bingung Indira. Di matanya, Indira sangat mirip dengan Nadir. "Lo kenapa gak kenal mereka?"

"Aku gak suka sastra. Jadi, apapun tentang sastra pasti aku lewat," jelasnya, lalu menutup buku paket.

"Terus yang Lo kenal siapa?"

"Tay Tawan, Off Jumpol, Mark Siwat, Win Metawin, War Wanarat—"

"Stop-stop," sergah Anan saat mendengar nama-nama asing di telinganya.

Indira menunjukkan deretan giginya. "Aku kenalnya mereka," ucapnya yang membuat Anan menggelengkan kepala.

"Ini tugasnya suruh cari karya mereka kan?" Indira mengangguk.

"Berarti kita harus ke perpustakaan," jelas Anan.

"Gak bisa cari di google?" tanya Indira terlihat malas sekali pergi.

"Baca buku lebih baik daripada baca layar," bantah Anan. "Kalau cari di hp pasti malah bukan aplikasi lain. Mending baca langsung di buku, gak bakalan ada notif yang ganggu," lanjutnya, lalu beranjak pergi dengan membawa buku paket dan alat tulis.

Indira meniup poninya. Mau tak mau ia harus ikut ke perpustakaan. Padahal orang lain juga carinya di google. Tapi, Anan maunya cari di buku. Huh! Memang susah, ya, bekerjasama dengan orang pintar, keluhnya dalam hati.

🥀🥀🥀

Setiap lembar buku kumpulan puisi Anan buka dengan perlahan, matanya terus mengintai setiap kata berbait yang tersusun rapi. Sesekali senyumnya terbit kala kalimat indah dibacanya.

"Ra, kita ambil yang ini, ya?" tanya Anan setelah membaca berulangkali satu puisi yang membuatnya jatuh hati.

"Ra?" panggil Anan saat menyadari jika partnernya itu tak menyahut.

Anan menoleh, kemudian tersenyum tipis. Pasntas saja perempuan di sampingnya itu tak menyahut, ia tengah tertidur pulas setelah mengoceh tak suka perpustakaan.

Senyum yang semula tipis, kini mulai melebar. Anan menunda masalah tugas. Ia menyimpan kepalanya di atas buku dengan wajah berhadapan dengan Indira.

"Nadir," bisiknya dengan tangan yang terangkat menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Indira.

"Milan, bikinin aku puisi romantis," pinta Nadir yang terus berkutat dengan buku paket Bahasa Indonesia.

"Aku gak bisa, Nad," tolak Milan yang sama-sama tengah mengerjakan tugas.

Nadir sedikit memajukan bibirnya. "Kok gitu sih. Masa aku terus yang bikinin kamu puisi?" kesalnya.

"Kamu boleh minta apa aja, kecuali puisi," ungkap Milan. Karena, ia benar-benar payah dalam hal itu.

"Gak mau! Pokoknya aku mau kamu bikin puisi!" kukuhh Nadir membuat Milan menghela napas.

Ia pasrah. Tangannya merebut buku tulis Nadir dan membuka halaman paling belakang. Milan menuliskan sebaik sajak untuk merealisasikan permintaan Nadir.

"Ini. Aku gak bisa bikin puisi. Jadi, aku ambil dari buku yang pernah aku baca." Milan mengembalikan buku Nadir.

Dengan cepat Nadir membaca tulisan Milan yang cukup rapi. Seketika pipinya memanas, Nadir mengulum senyuman setelah membaca apa yang ditulis Milan.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.

~bapak Sapardi Djoko Damono dalam buku Hujan Bulan Juni.

Anan tersentak kaget saat ia sadar jika dirinya terlalu hanyut dalam bayangan. "Itu cuma masa lalu, gak bisa dibawa-bawa sampai sekarang," kata Anan meyakinkan dirinya seraya kembali menegakkan punggungnya.

"Lo udah punya Natya. Nadir itu cuma masa lalu." Anan menyibukkan kepalanya dengan Natya. Tak ia beri celah untuk Nadir hadir di dalam benaknya. Meskipun sebenarnya, ingatan tentang Nadir tercetak jelas memenuhi kepalanya.

🥀🥀🥀

Sekali lagi maapkan aku vren😩🙏

Maap bangetttt

Jadi, gimana bab ini?

Pada kenal sama bapak Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, sama Kahlil Gibran gak??

Ada yang mau disampaikan untuk

Nadir?

Milan?

Indira?

Anan?

Barangkali saya vren???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro