bab tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam semuaaaaa......

Karena kemarin aku gagal update.
Jadi, sebagai gantinya aku double up...
Yeayyyyyyyyy

Ini belum tengah malam amat ya.
Ini aku nulis bab ini pendek banget:(
Maaf ya. Gak tau kenapa aku lebih suka pendek
per babnya. Kayak lebih nyaman aja bacanya.

Happy reading 🔥

🥀🥀🥀

Buku Diary yang sudah sedikit rusak terbuka, memperlihatkan gambar lelaki tak berwajah. Sudah lebih dari lima belas menit Indira menatapnya kosong dan pensil sudah terselip di jarinya untuk melanjutkan gambar itu. Tapi, ia merasa ragu.

Indira menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keyakinannya untuk mencoretkan ujung pensil ke atas kertas putih. Hanya ada satu wajah dengan senyuman lebar yang tercetak jelas di benaknya—Anan.

Ya, lelaki itu selalu saja memenuhi isi kepalanya. Dengan hati-hati Indira melengkapi wajah dari gambarnya. Setelah berhasil menggambar penuh, Indira menarik dua sudut bibirnya.

Benar saja jika lelaki yang sedari dulu tak ia tahu wajahnya ternyata Anan. Indira menatap lekat hasil gambarnya, bibirnya terus menahan senyuman. Perlahan tangannya mengusap kertas bergambar itu.

"Milan, kamu berhasil hidup kembali. Tapi, untuk cerita kita, aku rasa memang sudah selesai," gumam Indira.

Senyuman manis Indira kini berubah menjadi getir kala munculnya bayangan Anan yang tampak begitu menjaga Natya. Indira tak ingin merusak apa yang sudah Anan bangun.

"Kamu bohong, Lan!" tandasnya. "Kamu bilang bakalan mencintai aku kapanpun itu, bahkan di kehidupan selanjutnya."

"Nyatanya kamu melupakan perasaan itu."

"Milan, aku gak mau pisah dari kamu. Aku mau kok beralih kepercayaan."

"Nadir, aku gak bisa ambil kamu dari Tuhanmu," tegur Milan dengan sorot matanya tajam.

Nadir tersentak saat suara keras Milan menusuk telinganya. Ia berdiri kaku tanpa berkutik di hadapan Milan yang menatap lurus sungai besar.

Milan sadar, jika nada bicaranya terlalu tinggi. Sejenak ia melirik Nadir dari sudut matanya. "Nad, kita bisa bersama-sama tanpa harus ninggalin pegangan ki—"

"Gimana, Lan? Gimana caranya?" sergah Nadir yang mulai terisak.

Kini giliran mulut Milan kembali tertutup rapat. Lelaki dengan tatapan lurus itu membelokkan kepalanya menatap gadisnya yang sudah dibanjiri air mata.

"Jelasin, Lan! Gimana caranya kita bisa bersama tanpa ninggalin pegangan kita." Nadir terisak. Ia menurunkan tatapannya ke arah sepatu putih yang terpasang di kakinya.

Milan belum juga menyahut. Lidahnya kelu dan pikirannya buyar. Tangannya terulur hendak mengusap air mata yang terus mengalir di pipi Nadir. Tapi, Nadir menjauhkan kepalanya dari tangan Milan. Pandangannya kembali naik menatap netra Milan yang mulai memerah.

"Keinginan aku gak susah, Lan," cicit Nadir seraya meraih lengan kekasihnya.

"Aku cuma mau habisin sisa hidup aku sama kamu. Itu aja," lanjutnya dengan tatapan serius.

"Itu bisa terwujud tanpa harus ninggalin apa yang udah bersama kita sejak lahir, Nad," tegas Milan yang membuang pandangannya ke sembarang arah.

Nadir melepaskan pegangannya. Ia menghapus sisa air mata, lalu mengulas senyuman. "Lan, kamu tinggal pilih; kamu bantu aku pindah kepercayaan atau kita selesai?"

Tak Milan sangka, Nadir mampu berpikir gila seperti ini. Bagaimana bisa perempuan itu berani melepaskan kepercayaannya. "Nad, jangan pernah tukarkan Tuhan dengan cinta. Karena, masalah kepercayaan itu gak bisa dianggap sepele."

"Nad, jangan mencintai ciptaan-Nya melebihi penciptanya!" peringatkan Milan.

"Aku cuma punya waktu dua tahun, Lan," cicit gadis yang kini menunduk lemah.

Milan menggenggam erat tangan Nadir. "Itu cuma diagnosa, Nad. Tetep masalah hidup itu gak bisa diprediksi pasti."

"Justru itu, Lan. Bagaimana kalau ternyata akan lebih cepat dari perkiraan?"

"Tidak mungkin, Nad. Tuhan gak sejahat itu," kata Milan, kemudian menarik Nadir ke pelukannya.

"Aku masih mau hidup, Lan. Masih banyak harapan kita yang belum terwujud," ucap Nadir di tengah isakannya.

"Kita wujudkan satu-satu ya, Nad." Tangan Milan mengusap lembut kepala Nadir. Berharap gadisnya itu bisa lebih tenang.

Indira memukul dadanya yang terasa sangat sakit. Bayangan Nadir yang menangis hebat, ternyata membuatnya ikut berurai air mata.

"Milan, ternyata hanya jiwa kita yang berhasil hidup kembali, gak dengan cerita kita."

"Tentang kita, memang sudah selesai sejak dulu kamu pergi tanpa pamit."

"Dan sialnya, Nadir masih saja mencintai sosok Milan seperti pertama kali dia jatuh cinta, tanpa peduli sudah berpuluh-puluh tahun berlalu."

🥀🥀🥀

Eh, sedikit sedikit masa lalu mulai terlihat jelas ya.
Ikutin terus biar gak ngerasa pusing sama alurnya.

Kalau kalian dikasih hidup kedua,
Apa yang mau kalian lakukan?

Kalau aku sih pengen lebih menerima diri sendiri.
Ya, simplenya, lebih be myself.

Bab tujuhnya gimana?
Tambah membosankan kah?

Ya, pokoknya gak mau tau.
Mau bosenin atau apalah, pokoknya aku mau
cerita ini menemukan ending.

Jangan lupa dukungannya vren😙🔥

See you
Luv you

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro