Turun-turun pahlawan [2]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hujan.

Tak lama setelah hujan, kakak perempuan saya datang ke arah kami sambil menggendong Ihsan.

"Woe Onco, Irma! Ujang! Pi bale ka rumah lah kasi masuk Ihsan pung pakean dolo! Hah, capat!" teriak kaka Ola panik.
(Woo, Onco, Irma! Hujan! Pergi balik ke rumah lalu kasih masuk pakaian Ihsan dulu! Hah, cepat!)

Lagi asik-asik duduk diteriakin.

"Ha, capat! Capat!"
(Ha, cepat! Cepat!)

"Weh, katong dua Irma lari ni kah?" saya melihat ke arah hujan turun.
(Wei, kita berdua Irma lari nih?)

Kakak Ola lihat sepeda bagus.
"Pake sepeda ini sa." Dia menunjuk ke arah sepeda bagus yang menjadi bahan gosipan kami sekaligus bahan halu kami. Secara kan kami tidak punya sepeda sebagus itu. Sepeda sport. Wkwkwkw.

Saya dan Irma melirik lalu mengangguk senang.

Irma mengambil sepeda bagus itu lalu mengeluarkannya.

Kami belum bisa naik sepeda karena apa?

Jawabannya karena turun-turun tanjakan, jalannya memang tidak bisa dipakai untuk naik sepeda. Wkwkwkw.

Setelah mendorong cepat sepeda turun gunung alias turun rumah, sampaila lh sepeda dan kami berdua di jalan aspal yang hitam mulus.

Tiba-tiba saya merasa bahwa hujannya berkurang.
"Irma, ini cuma ujang lari-lari."
(Irma, ini hanya hujan lari-lari (hujan gertakan))

Irma melihat sekeliling.
"Iyo e."
(Iya e.)

"Sudah, mari pi ka rumah lah kas masuk pakaian dolo," ujar Irma.
(Sudah, mari pergi ke rumah lalu masukan pakaian dulu.)

Saya hanya mengangguk.

Kami mendorong sepeda bagus itu.
"Coba akang dolo sepeda bagus ini e." Saya menoel lengan Irma.
(Coba dulu sepeda bagus ini.)

Irma mengangguk. Namun, sayang sekali, di sepeda yang bagus di mata kami itu, ternyata tak ada tempat duduk lebih.

"Hii, stalalu lai, tar ada tampa dudu labe-labe sadiki, ini jua seng ada mur panjang di ban belakang. Wii, lah beta mau nae bagaimana ini?" saya mencebik segala kekurangan sepeda bagus itu.
(Hii, sudah terlalu lagi, tidak ada tempat duduk lebih-lebih sedikit. Ini juga tidak ada mur panjang di ban belakang. Wii, lalu saya mau naik bagaimana ini?)

Sampai di atas pahlawan, ternyata hujan semakin menggertak.
"Weee, jang sante-sante, ujang dapa katong, abis! Pakeang basah sudah!" Irma panik.
(Woi, jangan santai-santai, hujan dapat kita. Abis! Pakaian basah sudah!)

"Sudah, se nae di depan saja, nanti beta yang trap sepeda." Saran Irma.
(Sudah, kamu naik di depan saja, nanti saya yang gowes sepeda.)

Karena hujan mengejar kami, dan juga karena tidak ada tempat duduk lebih-lebih, dan lagi karena saya belum terlalu tahu gowes sepeda, sayalah yang naik duduk di depan, di batang sepeda atau body sepeda, rangka sepeda yang menghubungkan antara stang setir dan tempat duduk.

Irma sudah duduk di atas sepeda, tangan kanan memegang setir lalu tangan kiri melepaskan setir karena memberikan saya akses untuk naik dan duduk.

Saya duduk menyamping seperti duduk goncengan gaya perempuan, yaiyalah harus gaya perempuan, sebab kalau duduk gaya laki-laki, barang saya yang merupakan dompet fresh modal masa depan bisa hancur. Wkwkwkw.

"Ih, paleng sengsara e, beta panta saki. Talalu tipis, batang sepeda talalu tajam, panta paleng saki e." Saya mengeluh sakit.
(Ih, paling sengsara. Pantatku sakit. Terlalu tipis, batang sepeda terlalu tajam, pantat paling sakit.)

Nah, sekarang tahu kan kenapa saya tidak bisa duduk gaya laki-laki?
Wkwkwkw.

"Sudah, tahan-tahan saja, ujang su baku uji capat deng katong ini e, pakeang su basah sana," balas Irma.
(Sudah, tahan-tahan saja, hujan sudah baku uji cepat dengan kita ini e, pakaian sudah basah sana.)

Terpaksalah saya naik lalu duduk di batang sepeda yang lancip itu. Seperti kata keponakan saya, tahan-tahan saja. Tahan-tahan sakit maksudnya. Palingan setelah selesai bersepeda, ada garis miring yang tercetak pada dua buah pantat saya.

Hujan sialan itu tak mau kalah saing dengan kita. Karena turun hujan, jalanan turun-turun Pahlawan basah. Irma menggowes sepeda sambil mempercepat kecepatan. Mempercepat kecepatan karena adanya hujan yang mengejar kami. Laju sekali sepeda yang kami naiki.

Saya di atas batang sepeda hanya tanam pantat lalu dua tangan menahan setir, kaki diangkat agar tidak mengganggu gowesan keponakan saya.

Karena turun-turun Pahlawan, jadi laju sekali, saya sangat senang sambil menahan sakit di pantat. Senang karena naik sepeda bagus, dan sakit di pantat karena wujud tempat duduk yang tidak layak saya duduki, saat mendekati jalan bercabang tiga, kami hendak mengambil arah kanan, sebab arah kanan itu adalah arah ke rumah kami.

Masih turun-turun, Irma memencet rem tangan yang ada di stang kanan, namun sepeda masih saja melaju. Saya yang merasa laju sepeda tidak berkurang itu berteriak. "We Irma! Pici rem! Pici rem!"

(Woi, Irma! Pencet rem! Pencet rem!)

"Sabar! Beta ada pici ini!" balas Irma.
(Sabar! Saya ada pencet ini!)

"Wooh! Onco! Rem blong!"

Abis!

Rem blong.

Saya yang berada di depan tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan Irma yang menggowes sepeda juga tidak bisa berbuat apa-apa, sebab ini turun-turun!

"We bagemana ni?" saya panik.
(Woi, bagaimana ini?)

"Mo bagemana lai? Abis! Abis katong! Abis katong dua!" Irma berteriak saat sepeda yang kami naiki memotong jalan tiga.
(Mau bagaimana lagi? Abis! Abis kita! Abis kita dua!)

Sepeda kami laju lurus-lurus tanpa bisa belok.

"Abis! Wee! Mama! Mama!" Irma berteriak.

Sedangkan saya panik setengah mati, ada got di depan kami. "Hiiii!"

Sreeeeeeeeet!

Bruk!

Terseret ke rerumputan.

Sepeda kami terseret.

"Aduh Mama ...." Suara lirih Irma mengaduh sakit.

Saya hanya mendengar suara aduhan kesakitannya.

Saya tahu badannya yang terseret dengan sepeda ke rumput-rumput sangat sakit, sebab, sayapun merasakan hal yang sama.

Saya sendiri terseret sambil tiarap di rerumputan. Tangan kanan saya sudah masuk mulut got, saat mau mengaduh sakit di bagian dada, angkat wajah dan ada kue coklat di depan wajah saja.

Tahi sapi.

Kue coklat itu adalah tahi sapi.

Tahu tahi sapi, kan? Ituloh sinonimnya feses sapi, nah kalau tidak tahu, tinja sapi, biasa kita sebut taik.

Tepat di depan wajah saya, di dekat hidung saya. Jadi ternyata seperti itu rasanya aroma taik sapi segar yang di bumbui air hujan gertakan. Jujur saja, aromanya tidak beda jauh dengan aroma rumput. Mungkin karena sapi makannya rumput jadi aroma taik-nya juga aroma rumput.

"Aduh ...." Saya mengaduh sakit sambil menjauhkan wajah saya dari taik sapi. Sedangkan Irma sudah mengaduh dan mengeluh sakit pinggang dan tulang belakang.

Jujur saja, saya tidak ingin bohong. Kalau hari itu ada motor atau mobil yang lewat lurus jalan, maka sepeda yang kami naiki dari tanjakan akan digiling oleh kendaraan. Saya bersyukur Alhamdulillah, Puji syukur bagi Allah, saya dan keponakan saya masih diberikan keselamatan dan umur panjang.

Saya menengok ke arah Irma yang tiarap sambil membelakangi saya sambil memegang pinggangnya.

Rupanya dia terseret lebih sadis daripada saya. Mungkin karena saya yang duduk di depan, jadi ketika dia hendak membelokan setir yang ke arah kanan, saya yang duduk di depan menyamping sebelah kiri terlempar duluan dari atas sepeda, sedangkan dia ikut terseret sambil tertimpuk sepeda. Wkwkwkwkw. Jujur mau ketawa tapi takut kualat. Ah, tapi ketawa ajalah, dia kan keponakan saya. Wuahahahahahahahahahaha!

Beruntung ada seorang kakak perempuan yang lewat kompleks perkantoran yang biasa sunyi itu. Dia dengan payung. Setelah melihat kami jatuh dari sepeda, kakak baik hati itu berjalan menghampiri kami dan memayungi Irma yang sedang mengaduh sakit sedangkan aku sendiri, wajahku sudah penuh rintihan hujan.

"Ya Allah Adek! Mari kakak bantu! Ini bawa sepeda bagaimana?" tanya kakak itu sambil membantu Irma untuk duduk.

Saya sendiri sudah duduk sambil mengusap dada yang terseret di atas rerumputan tadi. Beruntung hanya terseret di rerumputan, coba kalau terseret di atas aspal? Bisa habis rata buah dada saya yang baru seukuran buah kedondong muda.

Setelah membantu kami untuk berdiri, kakak baik hati itu juga membantu mendirikan sepeda kami. Saya mencari sandal saya yang terlepas saat terseret.

Akhirnya, karena rem blong dan hujan rintik-rintik. Kami memutuskan untuk tidak lagi naik sepeda bagus itu. Kami hanya jalan pelan-pelan saja sambil mendorong sepeda. Sedangkan kakak tadi memayungi kami, dia tidak mengambil bagian dalam payung miliknya. Mungkin karena kasihan melihat kami yang baru saja tertimpa musibah.

Sebenarnya, kami pura-pura stay cool saja di depan kakak itu, agar terlihat maco dan tidak berteriak sakit. Yah, tahan malu lah. Kami jalan dengan diam. Saya sendiri mendekatkan diri ke arah payungnya agar tak kena hujan.

Saat di persimpangan jalan, kami berpisah dan tak lupa mengucapkan terima kasih pada kakak perempuan itu.

"Kaka, makasih e."
(Kakak, terima kasih.)

"Iya Adek, sama-sama. Lain kali hati-hati kah," balas kakak itu.

"Iyo kakak. Rem barang akang blong," balas Irma.
(Iya Kakak. Soalnya rem blong.)

"Oh. Begitu. Ok sudah, dadah!"

"Dadah kaka!" kami melambai ke arah perginya kakak tadi.

Kami sampai di rumah, saya dan Irma cepat-cepat mengambil pakaian jemuran kami lalu memasukannya ke dalam rumah. Baru saja memasukan pakaian, tidak ada lagi hujan.

"Loko buang akang ujang ini, biking katong jato deng speda sa, untung tar mati!" saya merutuk.
(Lebih baik buang hujan ini (sama arti dengan, abaikan atau jangan pedulikan hujan), bikin kita jatuh dengan sepeda saja, untung tidak mati.)

"Ujang cuk*mai nih, gartak-gartak katong sa." Irma jengkel.
(Hujan nih, gertak-gertak kita saja.)
Cuk*mai, kata umpatan dalam bahasa daerah.

"Hahahahaha!" saya dan Irma tertawa terbahak-bahak.

Setelah mengunci kembali pintu rumah, kami kembali ke rumah Abang Ipul yang berada di Pahlawan.

Saat hendak mendorong sepeda, Irma baru menyadari sesuatu.
"We Onco, speda pung pelak bengko." Irma menunjuk pelak sepada depan.

(We Onco, pelak depan sepeda bengkok.)

Hening.

Sepi.

Sunyi.

Senyap.

Merdeka!
Sepeda bagus incaran yang kami ingin naiki itu ternyata bengkok di bagian pelak depan.

Ya salam!

Ini sepeda orang.

Bukan sepeda milik sendiri.

Takut?

Sudah pasti. Hahahahaha!

Ceritanya ini yang kita bikin rusak sepeda orang.

Saking takutnya saya waktu itu, saya gigit kuku jari.
"Bagemana ini?" tanya saya.
(Bagaimana ini?)

Irma menggeleng.
"Jang kasi tau sapa-sapa, diam-diam saja," jawab Irma.
(Jangan beri tahu siapa-siapa, diam-diam saja.)

Saya mengangguk takut. Kami takut dimarahi oleh tuan pemilik sepeda.

Jadi, beginilah kami. Irma menyuruh saya berjalan di depan.
"Onco, se jalan di depan, beta tonda speda di blakang, supaya jang ada yang lia pelak speda ini bengko."
(Onco, kamu jalan di depan, saya dorong sepeda di belakang, supaya jangan ada yang lihat kalau pelak sepeda ini bengkok.)

Saya hanya mengangguk. Ini adalah solusi terbaik kami agar tidak ketahuan merusaki sepeda orang lain.

Semakin dekat rumah Abang Ipul, semakin cepat pula detakan pukulan jantung kami. Sebab, makin dekat rumah, makin dekat rahasia kami terbongkar.

Kini, sampailah kami di depan perbatasan jalan aspal dan jalan naik-naik rumah Abang Ipul. Kami dapat melihat wujud rumah Abang Ipul.

Semakin kami melihat wujud rumahnya, semakin jantung kami ingin lompat melarikan diri. Sebab, ada rumah pasti ada orang.
"Irma, beta paleng taku e."
(Irma, saya paling takut.)

"Seng apa-apa, seng ada yang tau. Pas katong sampe rumah, taru sepeda di akang tampa ulang, lah pura-pura bodo saja. Pura-pura seng tau."
(Tidak apa-apa, tidak ada yang tahu. Pas kita sampai rumah, taruh sepeda di tempatnya ulang, lalu pura-pura bodoh saja. Pura-pura tidak tahu.)

Saya hanya mengangguk.

Saat kami memasuki rumah, Irma cepat-cepat meletakan sepeda itu kembali ke tempatnya semula. Lalu kami diam-diam masuk rumah tanpa bicara apapun.

Duduk dan duduk diam. Hingga kakak perempuan saya alias Mamanya Irma datang dan melihat kami.
"Oh, kamong dua su bale. Su bawa masuk samua Ade Nyong pung pakeang?"
(Oh, kalian berdua sudah balik. Sudah bawa masuk semua Adik Nyong punya pakaian?)

Ade Nyong; istilah atau panggilan umum untuk anak kecil laki-laki di daerah Timur. Kalau panggilan untuk anak perempuan kecil biasa disebut dengan 'Ade Nona'.

Saya dan Irma hanya mengangguk diam.

Kakak Ola hanya manggut-manggut mengerti.

Kami duduk diam-diam bae. Wkwkwkwk.

Tak tahu bahwa ada rahasia kelam yang terjadi di antara kita dan sepeda. Wkwkwkw.

Saat sore hari, kami akan pulang. Di situlah saya dan Irma saling menoel. Saling menoel agar siapa yang memberitahu bahwa sepeda orang rusak, tapi jangan sampai kami dimarahi oleh kakak Ola dan tuan pemilik.

Akhirnya, Irma menyuruh saya yang bilang.
"Ose yang yang bilang jua."
(Kamu yang bilang.)

Saya mengangguk.

Kakak saya sedang menggendong anaknya.

"Kaka." Panggil saya pelan.

"Ya?"

"Tadi beta deng Irma pi ka rumah, pas turun-turun Pahlawan katong dua jato deng speda." Saya berusaha terlihat netral. Padahal jantung pukul tidak rata. Wkwkwkw.
(Tadi saya dan Irma pergi ke rumah, pas turun-turun pahlawan kita berdua jatuh dengan sepeda.)

"Weeh?! Lah kamong dua seng apa-apa? Jato bagemana?"
(Lalu kalian berdua tidak apa-apa? Jatuh bagaimana?)

"Seng apa-apa, tapi sakit sadikit sa oh. Jato di rumpu-rumpu."
(Tidak apa-apa, tapi sedikit sakit saja oh. Jatuh di rumput-rumput.)

"Ya Allah, bagitu pulang lah mandi air panas e."
(Ya Allah, begitu pulang lalu mandi air panas.)

Saya hanya mengangguk.

Setelah itu saya dan Irma saling melirik dan menahan tawa diam-diam.

Irma be like : katong dua badiam-badiam saja.

Wkwkwkwkw.

Yang penting sudah kasih tahu kakakku bahwa kami jatuh dengan sepeda. Urusan sepedanya rusak atau tidak, itu tergantung dan keberuntungan serta ketelitian dari tuan pemilik sepeda. Wkwkwkwk.

Hingga sekarang kami masih ingat hari itu setelah kami SMA, rahasianya baru kami ungkapkan kalau sepeda yang kami naiki itu pelaknya bengkok. Wkwkwkwkw.

Itulah salah satu pengalaman saya yang ingin saya curhatkan pada kalian.

Oh ya, setelah menulis pengalaman ini, saya menelepon keponakan saya yang baru saja lulus dari sekolah tinggi keperawatan. Saya menanyakan padanya tentang kejadian sepuluh tahun yang lalu.

Saya : Irma, se dimana? (Irma, kamu dimana)
Irma : Di rumah, barang? (Di rumah, kenapa?)
Saya : Se masih inga ka seng, yang waktu katong jato deng Abang Ipul pung sepeda di turun-turun pahlawan itu? Yang waktu itu tuh. (Kami masih ingat atau tidak, yang waktu kita jatuh dengan sepedanya Abang Ipul di turun-turun pahlawan itu? Yang waktu itu tuh)
Irma : Wuahahahahahahahahaahha! (Dia ngakak wkwkwkwkwkwkw)
Saya : Hahahahahahaha! (Ikut ngakak wkwkwkw) itu katong kasi tau par kakak Ola kalau pelak sepeda bengkok ka seng? (Itu kita beritahu ke kakak Ola kalau pelan sepeda bengkok atau tidak?)
Irma : Hahahahaha! Seng oh. Katong dua badiam-badiam saja. (Tidak oh. Kita dua diam-diam saja.)
Saya : Hahahahaha!
Irma : Barang ada apa? (Memangnya ada apa?)
Saya : Beta ada bikin katong dua pung carita yang jato deng sepeda. (Aku ada buat kita dua punya cerita yang jatuh dengan sepeda.)
Irma : Hahahahahaha!

Edan. Bibi dan keponakan sama-sama kampret.
Wkwkwkwkw!

Dadah. Salam hangat.
Jimmywall (jimmy_wall)

Ambon, 4 November 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro