File 2.4.9 - Capture Ishanaluna Perpetrators

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DETECTiVE WATSON

"Bangun, Dex! Woyy!"

"Jangan menepuknya terlalu keras, Aiden! Kamu mau bikin dia makin kesakitan?"

Dextra mengerjap polos melihat Aiden dan Jeremy berseteru di hadapannya. Loading sejenak sebelum akhirnya dia konek. "Ahh! Nema dan Gervas...! Mereka menyerangku!"

"Ooh! Sadar juga beliau." Aiden berkacak pinggang. "Dasar, kamu bikin kita khawatir saja! Kamu tidak bisa menjadi true detektif kalau lengah terhadap sekitar, Dextra."

"M-maaf, aku ceroboh. Kita harus cepat, Kak! Nema dan Gervas mau kabur—Hmm?"

Dua orang yang diributkan telah diringkus oleh Jeremy dalam kondisi bonyok di depan Dextra. Bahkan sebenarnya mereka sudah tergolek pingsan lebih dulu sebelum Aiden dan yang lain datang ke sana.

Seperti ... ada 'seseorang' di tempat itu.

"Baiklah, sekarang ..." Jeremy jongkok, tersenyum pada Nema dan Gervas yang tersentak ngeri. "Bisa jelaskan siapa dan apa tujuan kalian berbohong pada kami? Ah, tidak. Ini bukan kebohongan semata karena Enda adalah pihak yang tak sengaja terlibat dalam permainan berbahaya ini."

"K-kami bersumpah kami t-tidak ada hubungan apa pun dengan perkara Enda! Kami cuma menuruti tugas dari J!"

"Hei, Nema! Kenapa kamu malah kasih tahu mereka sih?! J bisa memarahi kita!"

"Persetan dengan J! Aku sudah muak!" Nema menatap Aiden sungguh-sungguh. "J mengiming-imingi kami dengan uang jutaan dolar untuk mengerjakan misinya!"

Hellen menoleh ke Michelle yang mulai berpikir. J yang misterius mengarahkan Enda ke Ishanaluna, sementara Nema dan Gervas dia tugaskan untuk membimbing klub detektif Madoka ke kasus Enda.

"Jadi biang keladinya si J. Siapa sih dia? Apa maunya? Apa Enda kenalannya dan minta tolong ke kita lewat kalian? Kenapa bukan dia yang mengajukan permohonan kasus? Kenapa harus pakai perantara? J itu jahat atau baik? Mengapa harus kami—"

Jeremy menepuk lengan Aiden. "Satu-satu! Aku yang dengar pusing, apalagi mereka!"

"K-kami tidak begitu tahu tentang J. Yang jelas, J ingin kalian mengambil kasus ini dan menjadikan Enda sebagai umpannya."

Hellen menghela napas. "Lagi-lagi stuck. Kasus ini jadi melebar ke mana-mana."

Tapi tidak dengan Michelle.

"Begitu. Sepertinya aku paham apa yang terjadi," ocehnya sembari membaca koran. Berita terbaru: daftar hutan yang ditebang liar. Michelle mengangguk-angguk, berdiri.

"Ng? Mau ke mana woi, Lele?"

"Menangkap penjahat dan menolong Enda. Aku sudah tahu di mana dia, sekaligus motif pelaku. Apa kalian punya kenalan polisi?"

.

.

Niatnya mereka ingin memanggil Inspektur Angra, tapi kalian tahu tahulah sifat pria itu. Mana mau dia membuang waktunya untuk membantu klub detektif Madoka.

Niatnya mereka ingin minta bantuan Opsir Nalan merujuk polisi satu itu ramah, tapi dengar-dengar dia cuti dua hari ini.

Satu-satunya opsi terakhir Petugas Ingil. Untungnya dia tidak sama seperti Angra dan mau menerima panggilan mereka.

"Hahaha! Kalian membuat keputusan tepat memanggilku! Jadi, kasus apa yang kalian handle kali ini? Pembunuhan? Pencurian? Ah! Pasti penculikan. Apa aku benar?"

Aiden memberi jempol pada Ingil. "Betul."

"Jadi, siapa pelakunya?"

"Akan kujelaskan nanti." Michelle yang menjawab. "Kita pergi ke Ishanaluna!"

Ingil masih ingin bertanya, namun dia urung. Menilai ekspresi wajah klub detektif Madoka, agaknya mereka dikejar waktu dan mungkin menyangkut nyawa korban.

Takkan ada yang menduga jika kasus Ishanaluna ternyata sangatlah sederhana.

"Oh ya," Michelle berhenti berlari.

"Sebelum itu, ada yang ingin kusampaikan."

*

Sekali lagi, mereka tiba di Hotel Ishanaluna. Tidak seperti sebelumnya, kali ini mereka berlima benar-benar akan menyelesaikan kasus Enda yang merepotkan dan memulai penyelidikan si misterius J. Belum lagi soal Phony Baloney yang tak bisa didiamkan, lalu misteri rumah hantu yang batal diambil Watson karena keduluan kasus Anjalni.

Sial. Kalau mengurutkannya satu per satu, banyak banget masalahnya woy?! Mana Watson masih belum tahu kabarnya lagi.

"Semoga Tante Gatelas belum pergi."

Hellen melirik jam tangan. "Sepertinya tidak deh. Di rekaman yang Dextra cari, jadwal Gatelas pergi memungut sampah dimulai dari pukul 4 sore. Sekarang masih jam 3."

"Kita selesaikan ini—Eh, di mana Jeremy?!
Ah, sial. Jangan hilang lagi dong! Cukup Dextra, tidak perlu ditambahi Jeremy."

Hellen menoleh ke Michelle yang santai. "Oi, Lele, kamu menyuruhnya ngapain?"

"Jangan risau. Dia punya perannya sendiri. Lagi pula Jeremy itu kuat, kan?"

Tanpa bertele-tele lagi, Michelle, Aiden, dan Hellen bergegas menaiki tangga. Begitu sampai di depan flat Gatelas, Michelle menekan bel. Tidak ada penyamaran lagi. Mereka datang secara terang-terangan.

Pemilik flat membukakan pintu. Seketika terdiam. "K-kalian... kenapa..." Tubuhnya gemetar. Tatapannya tidak fokus, tertuju pada sebuah kamar. "Datang lagi kemari? A-apa ada barang yang ketinggalan?"

"Benar." Michelle menyelonong masuk. "Ada barang besar diselundupkan di sini."

"T-tunggu...! Kalian tidak bisa masuk—"

Peduli amat. Aiden dan Hellen menyusul langkah Michelle setelah mengucapkan kata 'permisi'. Yah, rasanya percuma kalau mereka menerobos masuk seperti itu.

Michelle langsung menuju kamar yang paling mencolok di flat kecil. Mata Gatelas terbelalak. "TIDAK! Jangan kamar itu—"

Lagi-lagi Michelle abai. Dia memutar kenop pintu. Terbuka. Di dalamnya terdapat lebih banyak kardus dan sampah lembab.

Michelle menutup hidung. "Hee, jadi begitu rupanya. Meski sebanyak apa pun kamu menumpuk sampah busuk, kamu tidak bisa mengalahkan aroma alam. Inilah yang dicium Dextra tadi. Bau getah pohon."

Tuk, tuk, tuk!

Michelle mengetuk lantai kamar, terkesiap mendengar suara 'tuk' berubah menjadi 'dung'. Sesuai dugaan, ada ruang rahasia.

"K-kalian pikir apa yang kalian lakukan?! S-saya akan melapor pada polisi...!"

Aiden menatap Gatelas datar. "Tenang saja, Tante. Kami sudah membaca pesanmu."

Gatelas berlinang air mata. "K-kalau begitu, bagaimana dengan anak muda itu?! Apa dia selamat?! Anak itu bisa mati terbunuh jika mereka tahu apa yang terjadi di sini!"

"Hmm..." Hellen berpikir sebentar. "Entah. Mungkin 50:50. Boleh selamat, boleh lewat."

Aiden manyun. "Dark joke, Hellen..."

"DIA MASIH DISEKAP?! Apa-apaan kalian?! Kalian seharusnya mengutamakan nyawa—"

"Serahkan sisanya pada kami, Tante Gatelas. Anda sudah cukup menderita 'kan karena diancam para pelaku. Kami akan menyelesaikan permainan bodoh ini."

Klontang!

Michelle telah menghancurkan pintu ke rubanah. Gadis itu melompat ke sana tanpa rasa takut sedikitpun. Menyusul Hellen. Aiden nyengir pada Gatelas sebelum akhirnya ikut meluncur ke ruang rahasia.

Betapa kagetnya mereka melihat tumpukan batang pohon tersusun apik di sana. Ruangan itu tampak seperti 'pasar gelap' yang memperdagangkan kayu berkualitas.

"Parah sekali," ucap Hellen memperhatikan kayu-kayu itu. Tersentak. "Mungkinkah?!"

"Mungkinkah yang kamu pikirkan itu benar Hellen," kata Michelle, "berita tentang penebangan hutan liar yang lagi trending... Mereka lah pelakunya. Mereka menjadikan flat Gatelas sebagai lokasi menyembunyikan dan menjual kayu-kayu tersebut ke toko online. Benar-benar memuakkan."

Hellen berbinar-binar. "Astaga..."

Aiden mengepalkan tangan. Kentara emosi.

Prok, prok, prok!

"Bravo! Bravo! Hebat juga kalian mengetahui rahasia gelap flat sempit ini. Beri applaus pada klub detektif Madoka!"

Mereka bertiga terkesiap, menoleh. Datang! Salah satu dari pelaku penculikan Enda! Tapi... Kenapa Jeremy malah disandera?!

"JEREMY!" Hellen berseru.

"Jangan bergerak! Atau kepala teman kalian lepas dari lehernya. Fufufu. Kalian tidak ingin itu terjadi, kan?" ancamnya.

"Tolong aku~ Aku lengah huehue!!!"

Etdah. Michelle menepuk dahi, menghela napas capek. Apa yang dilakukan si bodoh itu? Kenapa dirinya malah jadi tawanan?

Terbitlah pertanyaan: apa Watson tidak stress berteman dengan mereka?


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro