CHAPTER FOUR: GRILD

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

BRUKK. Pisco melempar tas Uni ke pria yang menodongkan pistol itu. Sementara mereka sibuk dengan tas itu, dengan cepat Pisco mengambil handgun dan menembak kepala pria yang satu lagi. Setelah selesai, pria yang diberi tas itu menyimpan tas itu, tapi sebelum tersimpan dia sudah dihajar oleh Pisco, kepala dan badannya dihajar habis-habisan oleh Pisco, terakhir dia menendang kepalanya.

"Huh, ini tasmu," kata Pisco memberikan tas itu kepada Uni.

"Kak Pisco enggak apa-apa?" tanya Uni.

"Ya tidak apa-apa. Ternyata mereka itu geng Grlid," Pisco menghampiri mayat mereka. "Wah! Ternyata mereka punya banyak amunisi, dan ada revolver," katanya, dia sedang menggeledah tas mereka.

"Lalu, sekarang kita kemana?"

"Kita cari toko pakaian, bosen pakaiannya ini aja."

Mereka pergi mencari toko pakaian. Terus mereka mencari, sampai ketemu, tokonya cukup luas. Tapi di sana ada beberapa anggota Grild, mereka berjumlah lima, empat laki-laki berbadan tegap dan kuat, dan satu wanita bergaya laki-laki, mereka bersenjata handgun dan shotgun.

"Wahh ternyata ada penjaganya, Uni tunggu di sini ya."

Pisco mengedap-ngedap, mereka berkumpul dalam satu ruangan. Mereka sedang berbincang-bincang. Pisco mengambil batu di sekitarnya, lalu melemparnya ke kaca yang ada di belakang mereka, dua diantara mereka pergi ke sana. Lemparan selanjutnya ke arah kaca mobil yang ada di depan toko, dua diantara mereka pergi ke sana, tinggal satu wanita. Pisco mengedap-ngedap mendekatinya saat perhatian dia ke arah belakangnya, mencekiknya. Selesai membereskan satu wanita, Pisco kembali lagi ke tempat semula. Saat mereka semua berkumpul di ruangan itu dan melihat mayat temannya, mereka berbicara entah apa. Kemudian mereka berpencar dengan pistol di tangan, salah satu mendekat Pisco dan Uni, sebelum sampai di tempat persembunyian mereka, Pisco sudah melempar batu ke arah kaca toko, secara refleks dia melihat ke belakang, dengan cepat Pisco menghampiri dan mencekiknya dari belakang, kembali lagi. Dua di antara mereka mendekat mayat itu, Pisco melempar pisau ke leher salah satunya, saat melihat temannya tertusuk, dengan cepat Pisco menembak kepalanya. Tinggal satu, Pisco mencarinya dengan mengedap-ngedap. Dia sedang di daerah parkiran, Pisco melempar batu sedang ke arah wajahnya dan Pisco menendang pistol yang ada di tangan kanannya, dia menghajar kepala samping kanan, kiri, menyikut pipi kanan dan terakhir menendang kepala samping kirinya. Selesai itu dia memeriksa keadaan toko.

"Sudah aman! Keluarlah!" teriak Pisco.

"Kakak terlalu berlebihan," kata Uni sambil melihat beberapa mayat.

"Ya ini lah pertahanan hidup, membunuh atau dibunuh."

"Baiklah. Oh ya kak, boleh enggak aku juga mengganti baju?"

"Ya itu terserah kamu. Itu ruang gantinya, pilih saja yang mana."

Mereka memilih pakaian yang akan mereka gunakan, Pisco memilih baju biru dan hitam dengan celana hitam. Kalau Uni baju kuning dan merah dengan celana biru. Selesai mereka berganti pakaian, mereka makan di tempat ruangan pegawai.

"Bagus tidak kak?" katanya menunjukkan pakaiannya.

"Ba...bag...guss."

"Kakak kenapa memandangku seperti itu?"

"Tidak apa-apa kok. Oh ya, ini dia makanannya."

"Terima kasih kak. Oh ya kak, aku mau bertanya?"

"Apa?"

"Vampir itu kan suka darah, apa mereka bisa mencium darah yang keluar dari kita?"

"Bisa."

"Tapi kenapa pedang kakak tidak bisa diciumnya? Kalau bisa kan kita pasti sudah ketahuan walau bersembunyi?"

"Ya walau begitu, mereka itu tidak suka dengan darah sejenis mereka maupun zombie."

"Hmm, kalau begitu bagaimana dengan zombie? Apa mereka tidak suka dengan daging vampir?"

"Ya begitulah, ibaratkan begini. Kalau kamu punya makanan terus makanan itu jatuh ke tanah, apa kamu mau memakannya?"

"Tentu tidak."

"Sama seperti mereka. Tidak mau memakan sesuatu yang kotor dengan Virus," jawabnya. "Uni kau tidur dulu, nanti kita bergantian," katanya, setelah selesai makan.

"Baiklah, selamat malam kakak," lalu dia tidur.

Pisco hanya duduk di dekat Uni, dan tiba-tiba terdengar suara mobil datang.

"Apa itu? Biar kuperiksa," Pisco keluar dengan mengedap-ngedap.

Dia melihat ada dua pria bersenjata keluar dari mobil, mereka anggota Grild. Mereka melihat mayat-mayat teman mereka.

"Siapa yang melakukan hal ini?" tanya salah satunya.

"Mungkin ini perbuatan polisi itu," jawab yang satu lagi.

"Hah! Ternyata mereka mengajak perang ya."

Pisco melempar batu sedang ke arah wajah kedua pria itu, dia berlari menghampiri mereka, yang satu ditusuk lehernya dan satu lagi sedang dicekik oleh Pisco.

"Katakan! Di mana para polisi itu?" tangan kirinya mencekik, dan tangan kanannya menahan tangan kanan pria itu, yang sedang memegang sebuah revolver.

"Siapa kau?"

"Anggap saja aku adalah salah satu dari mereka."

"Hah! Lebih baik aku mati daripada memberi tahu kamu."

"Baiklah, permitaan dikabulkan."

Pisco kembali ke tempat Uni tidur, dia membawa sebuah peta yang ada di kantong kedua pria tadi. Dia mengamati setiap daerah-daerah yang mungkin adalah markas para polisi, setelah sekian lama, tibalah waktunya Pisco tidur dan Uni bangun.

"Hahhh!" Pisco membuka mata, mimpi buruk.

"Kakak baik-baik saja?" tanya Uni, dia memasang muka cemas.

"Tidak apa-apa."

"Maaf kak, ini mungkin agak lancang, tapi siapa itu Mayu?"

"Kau dengar nama itu dari mana?"

"Tadi kakak mengatakan itu saat tidur."

"Maaf Uni, aku tidak bisa memberitahumu."

"Tidak apa-apa. Oh ya kak, kakak dapat peta ini dari mana?"

"Ohh itu. Aku tadi mendapatkan dari dua tamu yang datang saat kau tidur."

"Lalu tanda lingkar itu apa?"

"Itu adalah tempat tujuan kita selanjutnya. Ayo! Kita bersiap-siap."

Mereka pergi mengintari kota ini, sangat luas dan banyak rumah, tamannya pun banyak. Mereka memasuki sebuah gedung untuk jalan pintas, karena jalan biasa tertutup oleh mobil-mobil.

"Kakak lihat, ada lukisan pemandangan," kata Uni. Sekarang mereka ada di sebuah gedung museum.

"Bagaimana menurutmu?"

"Ini lukisan yang cukup bagus, pohonnya pun bagus, tapi warnanya pudar."

"Ya mungkin itu karena terkena angin dan hujan, langit di sini cukup banyak lubang."

"Iya. Kak kita akan ke mana?"

"Kita akan ke belakang museum ini."

Mereka melanjutkan perjalanan, sampai mereka sampai di belakang museum, ternyata di sana ada banyak anggota Grlid.

"Hmm, ternyata ini salah satu markas mereka."

"Apa yang harus kita lakukan?"

"Ya seperti kataku kemarin, membunuh atau dibunuh."

"Kak, mungkin kita biarkan mereka hidup," Uni memasang muka memohon ke Pisco.

"Baiklah, tapi kalau terdesak aku akan membunuh mereka."

Mereka berjalan dengan pelan, para anggota itu sedang berbincang dan berkumpul. Pisco melempar sebuah batu bata ke arah ruangan yang gelap, saat pandangan mereka tertuju ke sana, mereka dengan cepat, namun tidak bersuara keluar dari museum itu. Setelah jauh dari museum itu, mereka duduk sejenap.

"Hah hah hah, ternyata lebih capek lari daripada bertarung," keluh Pisco.

"Sudahlah kak, jangan mengeluh. Terima kasih ya, udah mengabulkan keinginanku."

"Iya deh. Ayo kita lanjutkan!"

Mereka berjalan, terus sampai di sebuah gang yang di sampingnya ada rumah makan.

"Bagaimana kalau kita periksa restaurant itu?" tanya Uni.

"Ya, kita coba, lagi pula persedian makan kita hampir habis."

Mereka memasuki tempat itu, keadaan di sana cukup sepi dan berantakan.

"Hmm, apa di sini tidak ada siapa-siapa ya?" kata Pisco memeriksa sekitar.

"Wahh! Lihat kak, ada akuarium."

"Hmm, masih ada ikannya. Kita ambil."

"Jangan! Mereka imut."

"Ya ini juga untuk persedian makan kita."

"Jangan! Aku enggak mau memakan mereka!"

"Menunduk! 'DORR'," dengan tiba-tiba ada yang menembak di luar restaurant. Tembakan itu mengenai kaca akuarium itu.

"Ikannya?" kata Uni melihat air keluar dari akuarium. Mereka bersembunyi di balik akuarium.

"Sudah, nanti lagi berduka citanya, aku harus mengurus mereka."

Terjadilah adu tembak di sini, Pisco menggunakan revolvernya dan mereka berdua menggunakan handgun dan machinegun. Pisco cukup kesulitan dengan pria yang membawa machinegun, setelah sekian lama mereka mengisi amunisi, kesempatan ini diambil oleh Pisco dengan menembak kedua kepala mereka.

"Huh, selesai sudah. Kau tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa. Tapi bahu kakak?"

"Tidak apa-apa kok. Aduh!" Uni mengambil lengan Pisco yang terluka.

"Seperti biasa kakak selalu meremehkan luka kecil, tahan ya," dia mengobati luka Pisco.

"Terima kasih."

"Ya. Maaf kakak, aku yang salah telah mengatakan untuk membiarkan mereka hidup. Kalau aku tidak mengatakan itu, mungkin kakak dan ikan ini tidak akan terluka," katanya dengan nada sedih.

"Sudahlah, ini bukan salahmu. Aku tahu kamu bermaksud baik, tapi inilah pertahanan hidup," kata Pisco, dia mengusap kepala Uni.

"Iya," katanya mengusap air mata.

"Baiklah, sekarang kita harus pergi."

Mereka berdiri dan mencari sesuatu di restaurant itu, mereka menemukan lima kaleng daging dan dua kaleng sereal dengan dua kaleng susu kental. Mereka keluar dari restaurant itu, mereka menelusuri kota ini, mereka berhenti di sebuah tempat yang ada sebuah rumah kecil.

"Kita istirahat di sini, hari mulai sore."

"Baik."

Mereka memasuki tempat itu, tidak terkunci. Di dalamnya cukup gelap dan ada satu zombie dan dua vampir, mereka sedang tidur berdiri. Pisco menyuruh Uni untuk tetap di dekat pintu, saat Pisco mau menghampiri mereka, tiba-tiba vampir bangun dan menyerang Pisco, tentu dengan zombie. Pisco dengan cepat menebas dan menghajar mereka, cukup sulit namun akhirnya berhasil.

"Wahh aku lupa kalau aku sedang terluka. Uni kemarilah! Sudah aman."

"Kakak baik-baik saja?"

"Seperti yang terlihat, ayo kita ke atas!"

Mereka menuju ke atas dan tidak menemukan apa-apa selain kasur, komputer, beberapa poster. Kemudian mereka duduk di kursi yang ada di sana.

"Tunggu disini ya Uni, aku mau ke belakang," Pisco pergi. "Maaf membuatmu menunggu," kata Pisco setelah dari belakang.

"Ya tidak apa. Kakak, ini airnya," saat itu Uni sedang memasak air dengan kompor kecil yang ada di sana.

"Terima kasih. Oh ya, masih ada airnya?"

"Ada, untuk apa?"

"Aku mau membersihkan pedangku ini, sebaiknya kau tutup hidung," Pisco melepaskan pedangnya dari sarungnya, keadaan pedang itu sangat menjijikan dengan darah. Dia mengambil kain di sakunya, lalu dia menumpahkan sisa air yang diberi oleh Uni ke kain itu, setelahnya dia mengusap pedangnya dengan kain basah itu.

"Kakak sudah lama memilik pedang itu."

"Ya, ini adalah senjata pertamaku."

"Berarti kakak dulu seorang samurai?"

"Lebih tepatnya ninja."

"Benarkah?"

"Hahah, bercanda kok. Ini senjata pertama yang ku gunakan untuk membunuh mereka," sambil memasuki pedang itu ke sarungnya dan menyimpan di pinggangnya.

Setelah mereka selesai istirahat. Mereka keluar dari rumah itu, mereka berjalan sampai di sebuah gang. Mereka berhenti karena melihat ada dua pria berpakaian seperti polisi.

"Ada polisi," ucap Pisco.

"Kita hampiri mereka," ucap Uni.

"Jangan dulu! Jangan-jangan mereka bukan polisi."

"Tapi mungkin saja mereka benar-benar polisi?"

"Mungkin. Sebaiknya kita ikuti mereka."

Mereka terus mengikuti kedua pria itu, terus sampai di suatu tempat. Di sana ada sebuah gedung seperti markas dengan adanya penjaga, posisi mereka sekarang ada di balik mobil yang ada cukup jauh dari tempat itu.

"Ternyata mereka polisi," ucap Pisco.

"Kalau begitu, ayo kita hampiri mereka," kata Uni. Dia hampir saja berdiri, namun Pisco menariknya.

"Tunggu dulu! Kita tidak bisa..." FREZ.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro