CHAPTER TWO: UNI TELS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

TREK. Pisco membukakan pintu itu, setelah membukakan pintu itu dia disambut oleh lemparan kayu dan Pisco berhasil menahannya.

"Hei, tunggu!" kata Pisco mengejar seorang gadis berpakaian jaket putih pink, rok selutut hitam, berambut biru gelap sebahu, mata biru, hidung sedang, berkulit putih. Lalu dia melempar kayu lagi.

"Pergi sana!" katanya lari ke sudut ruangan, karena lemparan itu berhasil dihindari oleh Pisco.

"Tunggu! Aku disini..." kata Pisco menghampiri dia.

"Jangan makan aku!" dia ketakutan dengan membungkuk dan melindungi kepalanya.

"Tidak, aku tidak akan memakanmu. Aku kemari karena harus menjemputmu," Pisco mendekati wanita itu.

"Jadi, kau adalah orang yang akan menyelamatkanku?"

"Iya benar, ayo berdiri!" kata Pisco berhasil meyakinkan dia.

"Wahh senangnya. Perkenalkan, namaku Uni Tels," lalu menjabat tangan Pisco.

"Pisco Mung."

"Boleh aku memanggilmu kak Pisco."

"Umurmu berapa?"

"Dua puluh tahun."

"Boleh. Ayo kita pergi!"

"Ehh, kak Pisco umurnya berapa?"

"Dua puluh lima tahun," kata Pisco, lalu mereka pergi dari ruangan itu.

"Ohh, lalu sekarang kita akan ke mana?"

"Ke rumahku."

"Jauh enggak?"

"Tidak, masih di daerah sini."

"Ohh, kak Pisco ini polisi bukan?" namun Pisco tetap berjalan.

"Oh ya, lalu di mana teman-teman kak Pisco?" Pisco tetap berjalan.

"Kak Pisco jawab dong," Pisco berhenti dan membalikkan badan.

"Dengar, aku tahu kamu masih bingung dengan kejadian ini. Tapi sekarang kita harus keluar dari tempat ini. Setelah sampai di rumahku, kau boleh bertanya banyak hal. Mengerti?"

"Baiklah, maaf kalau aku cerewet."

"Ya sudah kalau kau mengerti," lalu mereka melanjutkan perjalanannya.

Mereka berjalan, terus sampai di ruangan yang luas dan kosong. Tempat di mana Piu mati dengan meledakan diri, buktinya banyak sekali darah dan ada bau hangus. Tiba-tiba tangan Pisco dipegang oleh Uni.

"Kak aku takut," dia memegang erat lengan Pisco.

"Sudah tenang ya, mereka sudah mati kok," katanya, mereka berjalan, dan tiba-tiba Pisco berhenti.

"Tunggu di sini ya," dia menghampiri sebuah tas kecil berwarna coklat.

"Kenapa ada tas ini?" katanya, sambil memeriksa isi tas itu. "Inikan milik Piu, kok tidak tercerai berai?"

Setelah diperiksa, ternyata isinya adalah sebuah kartu nama Piu.

"Akan kusimpan kartu ini," gumam Pisco, lalu menyimpan kartu itu di saku jaket dalam.

"Kak Pisco sedang apa?"

"Oh ya," Pisco menghampiri Uni. "Maaf membuatmu menunggu, ayo kita pergi!" lalu mereka kembali berjalan.

"Tadi kak Pisco sedang apa?"

"Ingat tadi aku berkata apa?"

"Oh ya. Maaf."

Setelah itu mereka berhasil keluar dari laboratorium, namun belum keluar dari gerbang itu.

"Baiklah kita istirahat dulu," kata Pisco, lalu mereka duduk di tanah.

"Hahhh, akhirnya aku keluar dari tempat itu. Oh ya kak, boleh aku bertanya?"

"Silahkan, tapi hanya satu saja. Karena kita beristirahat cuma sebentar."

"Oh ya kak, tadi kakak menyimpan sesuatu di saku dalam jaket kakak. Itu apa ya?"

"Kartu nama rekanku."

"Apa yang terjadi dengan rekan kakak? Dia mati?"

"Ingat kataku, satu pertanyaan saja. Ayo kita pergi! Sebelum sore hari tiba."

"Baiklah."

Mereka melanjutkan perjalanan mereka dan akhirnya keluar dari gerbang itu. Setelah itu mereka pergi ke sebuah jalan, di sana mereka bertemu dengan para zombie, mereka berjumlah empat. Kemudian Pisco menembak kepala kedua zombie itu dengan handgun, sisa dua, mereka berlari ke arah Pisco, setelah itu Pisco menyuruh Uni untuk diam di belakangnya. Para zombie itu sudah dekat, Pisco menghajar mereka dengan pukulan dan menghindar, setelah para zombie itu kelelahan karena dihajar oleh Pisco, mereka ditembak oleh handgun Pisco.

"Kau baik-baik saja Uni?"

"Ya, kakak hebat."

"Terima kasih, ayo!"

Mereka melanjutkan perjalanannya. Sambil berjalan, Pisco mengisi amunsisi handgun, mereka berjalan menuju sebuah rumah besar. Itu adalah apartemen Pisco, dindingnya berwarna merah dan ada beberapa lumut. Mereka memasuki rumah itu, di dalam keadaan cukup gelap dan berantakan. Di sana ada satu makhluk, bukan zombie tapi vampire. Dia mirip zombie, namun kulitnya putih segar, bertaring, dan dia melihat mereka berdua.

"Itu apa?"

"Itu vampir, dia lebih pintar daripada zombie. Tunggu di sini!"

Pisco menghampiri vampir itu. Dia menyerang dengan pukulan, namun berhasil ditahan oleh Pisco. Pisco memukul perutnya, wajah kanan, wajah kiri, menendang badannya sampai dia jatuh, terakhir menginjak kepalanya dengan keras.

"Huh, memang pintar, tapi mudah untuk dihajar," gumam dia sambil melihat Uni. "Ayo kita ke atas!"

Di perjalanan, mereka tidak menemukan zombie maupun vampir lain. Sampailah mereka di atas, Pisco membuka salah satu pintu dengan kunci di saku celananya.

"Ini adalah kamarku, ayo masuk!" kata Pisco, mereka memasuki ruangan itu dan Pisco mengunci kembali pintu itu.

"Tempatnya agak berantakan, kakak tidak membersihkannya?" kata Uni, lalu dia duduk di sofa.

"Ya percuma juga untuk dibersihkan. Maaf ya."

"Sudah tidak apa-apa. Oh ya kakak..."

"Nanti saja pertanyaannya, kita makan dulu. Oke?"

"Baiklah, lagi pula aku lapar."

"Kau suka daging kaleng?"

"Apapun, asalkan makanan."

Lalu Pisco pergi ke dapur, dia memasak daging kaleng. setelah selesai makan, mereka duduk di bawah.

"Maaf Uni, aku punya pertanyaan? Boleh?"

"Ya boleh."

"Kenapa kau ada di dalam ruangan itu?"

"Awalnya aku berada di kota Boti. Pagi itu aku sedang sarapan dan aku sarapan bersama ayah. Selesai sarapan, ayah mengajakku untuk ke laboratoriumnya. Aku senang karena baru pertama kali aku diajak ke sana. Jadi aku bisa terus besama dengan ayah. Sampai di laboratorium ayah, aku melihat banyak sekali peralatan-peralatan kedokteran. Namun saat aku beristirahat di sofa tempat aku menunggu ayah, aku terbangun dari tidurku, dan aku sudah ada di dalam ruangan itu. Aku masih bingung, aku berusaha keluar dari ruangan itu untuk menemui ayah, tapi ternyata terkunci. Lalu aku memeriksa ruangan itu, namun tidak ada pintu maupun celah untuk keluar dari sana, tapi aku menemukan catatan dari ayah, tentang Virus itu dan makhluk yang ayah ciptakan. Kemudian aku menunggu janji ayah yang mengatakan akan ada yang menjemputku."

"Begitu ya, lalu di mana ibumu?"

"Dia sudah mati. Dia dibunuh."

"Kalau boleh tahu, siapa nama ibumu?"

"Hima Binka."

"Tunggu, maksudnya yang tewas di gedung kota Boti."

"Iya benar, dia ditemukan sudah menjadi mayat. Dia mati ditembak."

"Hmm... Lalu apa yang akan kau tanyakan?"

"Ehh! Kok tiba-tiba begitu. Kakak tidak apa-apa? Muka kakak pucat?"

"Tidak apa-apa kok. Hanya saja, aku sudah berjanji kalau kau boleh banyak bertanya setelah kita sampai di sini."

"Benar juga. Oh ya, kakak ini polisi bukan?"

"Bukan."

"Terus kenapa kakak bisa tahu kalau aku ada di sana?"

"Sebetulnya itu tugas temanku, kami bertemu di sini. Setelah kami berkenalan, aku ikut dengan dia, di perjalanan menuju ruangan itu, ada hambatan dan temanku itu sudah terinfeksi. Jadi dia mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkanku."

"Aku ikut berduka cita. Lalu bisa jelaskan makhluk apa tadi?"

"Itu vampir, dia suka menghisap darah. Kalau kau tergigit dia, kau akan berubah menjadi vampir."

"Hmm, lalu setelah ini kita akan ke mana?"

"Tujuan misi ini megantarkanmu ke kota Jite. Tapi karena jaraknya jauh, jadi kita pergi dulu ke kota terdekat."

"Lalu kakak tinggal di sini sendiri?"

"Ya, orang tuaku sudah lama meninggal."

"Maaf sudah menanyakan itu."

"Tidak apa. Aku juga meminta maaf karena bertanya aneh-aneh. Baiklah, sebaiknya kau tidur, hari mulai malam."

"Tidak apa, malah aku senang bisa bercakap-cakap setelah dua hari di sana."

"Kau tidur saja di kamarku, nanti malam jam tiga kita pergi."

Malam pun tiba, Uni sudah tertidur, sedangkan Pisco berjaga malam. Jam tiga tiba, Uni sudah bangun.

"Kakak sedang apa?" tanya Uni setengah mengantuk.

"Ohh, aku sedang mempersiapkan peralatanku. Oh ya Uni, gunakan tas ini, di dalamnya ada beberapa makanan kaleng dan obat-obatan," kata Pisco memberikan tas berwarna biru ke Uni.

"Oke, lalu kakak bawa apa?"

"Tentu saja senjata."

"Oh ya kak, boleh aku menggunakan pistol kakak?" tanya Uni memegang pistol, yang ada di meja.

"Tidak!" dengan suara membentak.

"Kenapa?"

"Sudah kubilang jangan, ya jangan!"

"Baiklah. Maafkan aku," lalu dia menyimpan senjata itu di meja.

"Aku juga minta maaf karena memebentakmu. Ayo kita pergi melalui jendela ini."

"Kenapa tidak lewat pintu itu?"

"Ya kalau kau membukanya, kau sudah dimakan oleh para zombie."

"Bagaimana caranya? Di luar kan tinggi?"

"Ya, kita melompatinya."

"Tidak akan apa-apa?"

"Tenang, aku akan menahanmu di bawah."

Lalu Pisco melompati jendela. Selanjutnya Uni melompati jendela, dia melompati dengan mata tertutup dan memegang tas itu.

"Sekarang kau boleh membuka matamu," kata Pisco.

"Ehhh! Turunkan aku kak," katanya, dia sedang dipangku oleh Pisco.

"Baiklah. Kau baik-baik saja?"

"Ya. Baik-baik saja," katanya menunudukkan kepala.

"Baiklah, ayo kita pergi!"

Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan vampir. Dia seperti vampir sebelumnya, tapi dia tidak memilik telinga, lebih tepatnya telinganya rusak seperti tercakar.

"Makhluk apa itu?" tanya Uni dengan suara pelan.

"Itu adalah Vante," kata Pisco.

"Kak, kecilkan suara kakak! Nanti kita akan ketahuan."

"Tenang, dia itu tuli. Sekeras apapun kamu bicara, dia tidak akan mendengar. Tapi penglihatannya tajam, bahkan semut yang sejauh satu meter darinya bisa terlihat jelas. Jadi kita akan sedikit kesulitan bersembunyi darinya, kalau kita sudah dilihat olehnya."

"Lalu apa yang akan kakak lakukan?"

"Tentu saja menembak dia," lalu Pisco menembak kepala vampir itu. Langsung mati seketika.

Mereka melanjutkan perjalanan. Di perjalanan mereka sering bertemu dengan vampir dibanding zombie. Dua vampir dan satu zombie mereka temui, Pisco menggunakan pedangnya untuk mengatasi mereka. Mereka terjebak di perjalanan, karena jalan menuju kota selanjutnya ditutup oleh antrian mobil yang banyak.

"Bagaimana ini kak?"

"Yaa tidak ada pilihan lain, selain melalui saluran bawah tanah."

"Apa? Tadi kakak bilang saluran bawah tanah?"

"Iya."

"Apa tidak ada jalan lain?"

"Ada, tapi kita harus melalui hutan yang banyak zombienya. Mau?"

"Hmm, sebaiknya kita melewati saluran bawah tanah deh."

"Baiklah, nyalakan sentermu."

"Senter? Di mana?"

"Di dalam tasmu."

Setelah mereka menyalakan senter masing-masing, Pisco membuka pintu saluran bawah tanah yang berada di bawah mereka. TRENG.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro