10 - Heart Attack

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Daun dari pohon plum mulai merontok di sepanjang jalan dan udara tidak sepanas hari-hari sebelumnya, tanda berakhirnya musim panas. Ujian kelulusan sudah kami lewati dan nilai kelulusan pun sudah kami terima dari tiga hari yang lalu. Christian masih sibuk dengan ujiannya masuk perguruan tinggi dan aku sudah selesai dengan urusan pindahku ke China, karena aplikasi yang kukirim sudah di approve oleh pihak Universitas Zhejiang dua bulan sebelum ujian berlangsung. Aku mungkin bukan siswa jenius seperti Christian, namun usahaku untuk diterima di Beijing Normal University yang kuupayakan sampai titik darah penghabisan dari awal semester satu ditingkat akhir SMA nyatanya membuahkan hasil yang kuharapkan. Aku diterima di fakultas hukum di universitas tersebut.

Stella untungnya tidak mempersulit absenku sebelum-sebelumnya dimata pelajaran Bahasa Asing. Nilai terakhir khusus mantan mungkin? Haha.

Hari ini bunda menghadiri acara farewell party bersama rekan-rekannya di butik maupun Wedding Organizer yang bekerja sama dengan bunda. Bukan, bukan berarti mereka mengakhiri bisnisnya disini. Tapi tentu saja karena isi dan pemilik dari butik ini yang hijrah ke negara kelahirannya. Tapi tetap, bunda tidak akan mengakhiri kerjasama yang sudah ia bangun dengan susah payah untuk butik ini meski sudah di China nanti. Teknologi yang maju membuat dunia bisnis menjadi tanpa batas.

Aku mendapat tugas membosankan dari bunda karena Christian yang tenggelam dalam urusan perkuliahan tidak bisa kuajak hang out, aku tidak punya alasan untuk tidak menggantikan bunda di butik. Sebenarnya hanya hal simple mengawasi pegawainya dan keuangan pemasukan butik satu hari. Bunda bilang ia tidak mau menutup butiknya, ini adalah bulannya prom night dan graduation dimana banyak orang yang pastinya mencari gaun atau jas. Bundaku memang bussiness woman sejati dan kemungkinan Kaerin yang akan diwarisi butiknya.

Kuletakan ponsel di atas meja, meratapi kebosanan di ruangan ini. Melangkah keluar dari ruang kerja bunda, kutemukan customer yang sepertinya sedang mencari gaun. Aku berdiri dibelakang gadis yang tengah memperhatikan detail beberapa gaun di depannya.

"Jika ada banyak gaun yang berlubang karena tatapan lasermu, kau harus membelinya." Ucapanku membuatnya tersentak.

"Sorry you bother me, so you can find what you looking for." Dengan penekanan disetiap kalimatnya Ia masih memunggungiku.

"Sorry, I am owner." Bukan sebuah dosa besar jika seorang anak mengakui butik ibunya kan?

Dalam hitungan detik supernano gadis itu membalikan tubuhnya. Dan membuatku menyadari ada sepasang mata cantik lain selain milik Kang Myung Stella. Dia memaksakan sebuah senyum dan matanya membulat sempurna ketika bertemu mataku.

"Mantan ketua MPS ke dua puluh lima?."

"Ternyata sebuah jabatan lebih dikenal daripada sebuah nama." Kuulurkan sebelah tanganku "Do Kyungsoo." Tanpa melepaskan pandanganku dari mata cantiknya.

Awalnya gadis itu diam sejenak sebelum menjabat tanganku "Freya Dupont. Aku ingin membeli gaun ini, Sir. Untuk acara tidak penting bernama prom night."

Aku langsung tahu bahwa ia seangkatan denganku. Freya? Dewi cinta dalam mitologi Yunani. Aku tidak pernah melihat sosoknya berkeliaran di sekolah. Mungkin Stella sudah menutup mata dan hati nuraniku. Atau Zeus membelenggunya di Vadalla sehingga aku tidak pernah menemukannya. Entahlah, namun aku seakan merasakan kerugian yang dahsyat bak pengusaha yang gagal memenangkan tender karena lebih dulu mengenal dan punya hubungan dengan Stella.

"Well, Freya..." Aku berdeham kecil "Will you go to prom with me?" Pertanyaan yang sama sekali tidak proses oleh otak milik Do Kyungsoo.

Aku pasti sudah putus asa tentang acara tidak penting semacam prom night yang membuat otakku konslet saat ini. Ekspektasi pertama dia akan tertawa sumbang karena anak dari pemilik butik ini ternyata memiliki otak yang minus, ekspektasi kedua dia akan langsung kabur keluar butik berlari-lari sekuat tenaga seperti dikejar bulldog. Geez, harkat dan martabat seorang Do Kyungsoo lenyap.

Freya tidak berekspresi apapun sampai detik kelima. Aku mungkin sudah menghilangkan satu pelanggan bunda dengan pertanyaan konyol tadi. Zeus, tolong sambarkan petirmu sekarang juga.

"Give me a discount then I Will." Sebuah senyum yang membuat sengatan hangat menghiasi parasnya, sepertinya tubuhku menciptakan iklim dan perubahan musim dengan sendirinya.

Dan Zeus benar-benar menyambarkan petirnya. Aku nyaris tidak percaya dengan jawaban konyolnya "Dua puluh persen." Tawarku

Gadis itu sumringah dengan diskon dua puluh persen dariku. "Deal?" Lalu mengulurkan tangannya.

Aku memandangi uluran tangan dan wajahnya secara bergantian. Bola mata eboninya serupa samudera yang ingin kuselami dalam setiap gejolak emosinya. Well, Freya .. aku tidak harus bertarung dengan Ares apalagi Hades untuk dapat menggandeng tanganmu di prom bukan?

Ku raih tangan yang lebih kecil dari miliku tanpa ragu "Deal."

Detik itu perjanjian diskon antara aku dan Freya pun terikrarkan. Bagus, setelah ini bunda akan memotong uang saku bulananku dan gaun yang diambilnya sepertinya memiliki harga lumayan menguras kantong. Dia punya sepasang mata cantik yang dapat menghipnotisku untuk memberinya diskon tanpa pikir panjang. Itu satu hal berbahaya yang ditangkap oleh sinyal radarku.

Freya pergi ke kasir dengan gaun pilihannya. Dan setelahnya kasir menanyakan soal perjanjian diskon kami lantas aku mengangguk. Tidak sampai lima menit gadis itu kembali menghampiriku.

"Thank you, Sir." Gadis itu mengulas senyum yang mampu membuat gravitasi duniaku menghilang, pandanganku sulit  ku alihkan hingga Freya menghilang dibalik pintu kaca.

Dan aku baru sadar. Perjanjian macam apa yang aku lakukan? Memintanya pergi ke prom denganku tanpa tahu rumah bahkan nomor ponselnya? Bagus, mungkin hari ini aku diharuskan mengamalkan uang saku.

From : Frog girl
Anyelir tanggal 25.

Sebuah pesan masuk dari Kaerin yang kubaca setelah meraih ponsel di meja kerja Bunda.

***

Wanita itu melajukan mobilnya dibawah terpaan cahaya senja. Jalanan penuh dengan kendaraan yang lalu lalang namun masih dalam keadaan tertib. Do Meilin atau kerap disapa Lin oleh rekan bisnisnya, menyandarkan punggungnya sejenak begitu sampai di depan lampu merah.

Mengembuskan nafas pelan, diliriknya sebuah foto di dashboard yang bingkainya ditempel permanen. Kedua malaikat kecilnya yang kini sudah beranjak dewasa. Dalam foto itu Rin yang berumur empat tahun sedang mencium pipi Dio yang berusia setahun. Lantas ia mengecup cincin yang selama ini melingkar dijari manis kanannya.

Ia harus kembali menjadi wanita yang fokus di dunia bisnis tapi juga sebagai ibu yang penuh kehangatan sepeninggal suami tercintanya. Membesarkan Rin dan Dio sendirian bukanlah hal yang mudah. Lin sering khawatir bahwa dua malaikat kecilnya itu kekurangan kasih sayang orang tua. Tapi jalan mana lagi yang akan ia pilih selain menjadi wanita karir demi membesarkan kedua buah hatinya?

Beberapa hari lagi putramu melewati acara graduation ketiganya.... Gumamnya dalam hati sembari mengarahkan stir mobilnya menyusuri jalan menuju rumahnya. Sedikit denyutan nyeri muncul disudut hatinya.

Ia berusaha sekeras mungkin supaya Rin dan Dio tidak kekurangan apapun. Kasih sayang maupun materi. Kedua malaikat kecilnya adalah hartanya yang paling berharga. Alasan kenapa Lin harus bertahan hidup dan tersenyum bahagia.

Ia mengernyitkan dahi saat menyadari rumah masih dalam keadaan gelap. Putra semata wayangnya itu tidak memberi kabar apapun tentang ingin menginap dirumah Christian atau pergi kemana. Seharusnya rumah tidak dalam keadaan gelap gulita jika Dio sudah pulang lebih dulu. Lin memang memiliki asisten rumah tangga untuk urusan kebersihan rumah dan memasak jika ia tidak sempat, namun asisten tersebut pulang tiap pukul empat sore.

Setelah memarkirkan Volvonya, sebelah tangannya meraih gagang pintu rumahnya yang nyatanya tidak dikunci. Seketika ia khawatir akan ada maling atau perampok dirumahnya. Lin segera mengetik nomor polisi jika benar ada maling dirumahnya maka ia akan langsung menggeser tombol hijau tanpa kepanikan.

If I had to live my life without you near me

The days would all be empty

The nights would seems so long

Jantungnya hampir merosot ketika rasa lega menyergap. Sepertinya tidak ada maling dirumahnya yang akan memutar lagu favorite mendiang suaminya. Dimana putra semata wayangnya? Kenapa ia memutar lagu nothing's gonna change my love for you milik George Benson era delapan puluhan yang sama sekali bukan gayanya?

Our dreams are young and we both know

They'll take us where we want to go

Sampai di ruang tengah wanita itu mencari keberadaan asal musik tersebut yang diduganya dari halaman belakang rumah. Lin menggelengkan kepalanya dan bingung dengan apa yang dilakukan putranya di halaman belakang dengan keadaan rumah gelap gulita.

"Hold me now ..  touch me now I don't want to live without you..." Putra semata wayangnya menyambutnya dengan sebuket bunga anyelir kala ia membuka pintu belakang rumahnya.

Kedua matanya mulai memanas karena menemukan Dio memakai jas cream milik mendiang suaminya dengan rambut disisir klimis dan kacamata. Sekilas mirip dengan dandanan mendiang suaminya ketika mereka mengucapkan janji di depan altar. Dan sebuah meja bundar dengan lilin dan dua potong ayam Hainan serta dua gelas mango juice.

"Happy anniversary.. Bun..."  Ucap Dio seraya memberikan sebuket anyelir padanya.

Tanggal dua puluh lima dan bunga anyelir. Rin dan Dio tidak pernah melewatkan itu sama sekali sejak mereka tinggal bertiga. Dua malaikat kecilnya itu biasanya menghampirinya di butik dengan sebuket anyelir yang mereka beli entah dimana dan bagaimana mereka membelinya. Tapi ini untuk pertama kalinya Dio sendirian yang menyajikan semacam... dinner untuknya?

"Who are you?" Tanya Lin ketika menerima anyelir dari baby boynya.

Dio berdeham sembari mengulurkan sebelah tangan "Aku Do Seungsoo. Aku menjelajahi masa lalu untuk merayakan hari pernikahan kita disini." Cengiran jahil menghiasi wajah yang dulu sering merajuk minta dibuatkan Fuyung Hai.

Lin melayangkan cubitan diperut anaknya "Dari mana kau mendapatkan jas ayahmu hah?"

Dio tertawa terbahak-bahak sebelum menjawab "Dio cuma mengobrak-abrik lemari bunda." Lantas cengiran berbentuk hati yang serupa milik suaminya menghiasi wajah Dio.

"Dasar anak nakal!" Hardiknya

Right here waiting milik Richard Marx mengalun indah ketika ia dan putranya mulai menikmati ayam Hainan makanan kesukaan mendiang suaminya.

Gerakan Lin terhenti memandangi putra semata wayangnya. Rasa syukur ia ucapkan karena Tuhan telah mengirimkan Dio dan Rin untuk menghiasi dunianya yang sempat terhenti karena kepergian mendiang suaminya. Kedua anaknya tidak pernah melupakan hari pernikahan mereka. Mungkin dikarenakan suaminya yang selalu mengajak kedua malaikat kecilnya ikut serta merayakan hari pernikahan mereka.

"Ada apa Bun?" Tanya Dio

"Terimakasih untuk kadonya nak.."

Dio tertawa kecil "Sebenarnya Dio hampir lupa Bun.. kalau Kaerin-"

"Kak Rin." Ulangnya

Putra semata wayangnya meringis sebelum menjawab "Kalau saja Kak Rin tidak mengingatkanku. Dio memaksa bantuan Kookie untuk menyiapkan ini Bun."

Lin mengangguk mendengar penuturan Dio yang selalu dianggap putra kecilnya. "Kalau begitu bunda akan membawakan Ayam Hainan untuk keluarga Christian."

"Christian lolos test di fakultas kedokteran peringkat ke tiga belas Bun.. tapi dia belum pulang ke rumah mungkin besok"

"Bunda tidak heran mendengarnya, Christian memang jenius."

Lantas keheningan menyelimuti acara makan malam sederhana anak dan ibu tersebut.

Lin menatap putra semata wayangnya dengan lembut "Bunda.. masih menyimpan artikel tentang ayahmu.."

Dio langsung berhenti mengunyah, menghentikan aktivitas gerakan sumpitnya. "Dio ingin tahu Bun.."

"Dio sudah tidak keberatan pindah ke China kan?"

Putra semata wayangnya menggelengkan kepala "Dio sudah diterima di fakultas hukum BNU. Dio akan berusaha keras belajar dan ingin mencari tahu apa yang terjadi di forbidden city saat itu..."

Dio memang tidak secerdas atau segemilang Rin namun semangat dan kegigihannya selalu membuat Lin bangga pada putra semata wayangnya itu.

"Bunda selalu rindu ayahmu.."

"Ayah selalu ada disekeliling kita Bun.. seperti udara" Putra semata wayangnya menatapnya lekat.

***

Gadis dengan rambut sebahu yang sibuk dengan novel science-fictionnya membiarkan angin berhembus melewati celah rambutnya. Sesekali sudut bibir mungilnya tertarik karena menemukan hal yang menarik dibeberapa lembar novelnya. Gadis itu tidak memiliki banyak ekspresi selain senyum tipisnya.

"Pulang dengan siapa?" Sebuah suara yang bisa dibilang lembut menyapa indera pendengarannya.

Yoon, nama gadis itu. Sejujurnya Ia tidak berniat sama sekali menjawab pertanyaan dari pria yang mendudukan diri disebelahnya. Mata hitam pekatnya tetap fokus pada novel science-fictionnya. Ia mengenalnya sebagai Christian, adik dari teman baik kakaknya.

"Sendiri." Jawab Yoon tanpa memandang Christian.

"Bagaimana kalau kita-"

"Aku lebih suka pulang sendiri." Yoon memotong ucapan Christian, ia bisa menangkap senyum kecil dari ekor matanya diwajah pria itu.

Yoon merogoh ransel kecilnya, meraih sebuah botol minum kemasan. Novel dapat membuat dirinya melupakan sekitarnya. Berusaha membuka air minum kemasannya, entah karena Yoon yang terlalu lemah atau memang botolnya licin. Intinya sulit dibuka dan akhirnya ia menyerah lantas hendak memasukan kembali botol kemasan tersebut.

Gerakan tangannya tertahan. Terbangun atmosfer yang aneh disekelilingnya. Christian menahan tangannya yang memegang botol. Yoon merutuki dirinya sendiri yang terjebak dalam tatapan lembut Christian. Ia sulit bernafas sepersekian detik. Seantero sekolah tahu bahwa Christian sang mantan ketua OSIS memang memiliki sikap yang hangat terhadap perempuan. Dan tanda alarm bahaya dalam diri Yoon berbunyi nyaring dikepalanya.

Christian mengambil botol kemasan itu dan membukanya dengan amat sangat mudah. "Perempuan mandiri itu memang mengagumkan tapi jangan sampai melupakan tiga kata paling penting di dunia ini. Maaf, tolong dan terimakasih."

Yoon tidak pernah atau bahkan tidak tertarik mencari tahu tentang Christian seperti gadis-gadis lain di sekolahnya. Tapi ia cukup yakin apa alasan yang membuat Christian menjadi laki-laki yang mudah untuk dikagumi.

Christian menyodorkan botol minum kemasan yang sudah terbuka tutupnya. Segaris senyum tertarik di wajah pria itu.

"Terimakasih." Yoon mengucapkannya sembari mengambil botol minum kemasannya.

Gadis itu kembali sibuk dengan aktivitas memasukan novelnya ke dalam tas tanpa menghiraukan Christian. Ia berusaha meminimalisir kontak mata dengan Christian. Ia cukup berhati-hati dengan makhluk bernama laki-laki.

"Permisi." Ucap Yoon beranjak dari kursi panjang di taman fakultas kedokteran yang ia duduki sejak tadi.

Melewati Christian dan sekali lagi tanpa kontak mata. Terjebak dalam tatapan mata milik pria itu selama tiga detik cukup membuatnya merasa hidupnya tak akan sama lagi. Entah, ia sendiri tidak mengerti kenapa ia dapat berpikir seperti itu.

Belum dua langkah seseorang telah meraih tangan kanannya. Yoon merasakan jantungnya berdegup tiga kali lebih cepat. Ia bersiap memukul orang itu dengan ranselnya jika detik berikutnya terjadi hal yang tidak menyenangkan untuknya. Lantas mata hitam pekatnya menemukan seseorang yang tengah berjongkok didepannya.

Christian mengikat tali sepatunya yang tidak Yoon sadari ikatannya terlepas. Semua orang yang lewat memandangi mereka berdua. Bahkan beberapa gadis yang lewat sempat terperangah dan berdecak kagum.

"Ya ampun perhatiannya, beruntung sekali gadis itu aku sampai iri."

Itu membuat Yoon sedikit malu dengan tatapan dari orang-orang selama beberapa detik. "Urmh... Maaf kau tidak perlu-"

"Nah, sudah selesai. Sebelah sepatu yang tidak terikat talinya bisa membahayakanmu." Ucap Christian setelah berdiri dan sudut bibirnya membentuk senyuman.

Lidahnya terasa kelu setelah perlakuan dan ucapan Christian. Alarm tanda bahaya dalam dirinya berbunyi nyaring dikepalanya lagi. Gadis itu langsung mengalihkan bola matanya dari Christian.

"Terimakasih." Hanya kata itu yang mampu Yoon ucapkan. Ia tidak punya ide untuk berbicara panjang lebar dan ingin segera pergi melarikan diri.

Detik berikutnya gadis itu menemukan uluran tangan Christian "Let's be friends. Kita satu fakultas dan mungkin saja sekelas kan?" Ucap Christian.

***


.
.
.

Alalala... Chris bisa aja sih ngerdusnya..
Si Dio juga nih ngerdusin orang pake diskon..

Jangan lupa yaa, kritik-saran dan komen kalian aku tunggu. Karenaaa, komentar kalian tentang cerita ini sangat membantuku untuk mengembangkan lebih baik cerita ini.

Ah iya, bantu koreksi juga kalau ada typo yaa..

Terima kasih..

Jakarta, 09 Januari 2019
Bianne205

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro