14 - With You

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dentingan bel rumahnya serasa seperti dentingan piano pengiring pengantin di altar dalam indera pendengarannya. Freya Dupont langsung berlari keluar kamar dan menyusuri anak tangga dengan rasa gembira yang membuncah. Melupakan kegiatan mengecat kuku kakinya untuk menghampiri pria yang ia tunggu kedatangannya sejak bangun dipagi hari. Kini Freya memiliki kegiatan favorite lain yang  baru dalam hidupnya yaitu menelpon pria itu hanya untuk sekedar mengucapkan Good morning  dan menunggu Dio menjemputnya.

Bruk

Freya memberikan cengirannya yang kelewat lebar begitu menabrak asisten rumah tangga paling setia dan paling disayanginya.

"Hati-hati Ma cherie*.." Ucap wanita setengah paruh baya dengan senyum penuh keibuannya.

"Freya ada tamu ibu Marry..." ucapnya tanpa menghilangkan cengirannya.

"Dibawah ada ibu Lamia, biar dia yang membuka pintunya."

Freya refleks menggelengkan kepalanya dengan cepat "Jangan! Jangan! Itu tamu spesial Freya, Ibu."

Ia langsung kembali berlari menyusuri tangga sebelum asisten rumah tangganya yang kerap disapa Ibu Lamia membukakan pintu untuk tamu spesialnya.

Dan sayangnya ketika Freya tiba di ruang tamu, Ibu Lamia sudah membukakan pintu untuk Dio.
"Silahkan masuk, Monsieur*." Ibu Lamia mempersilahkan pria itu masuk.

Freya lantas memanyunkan bibirnya ketika Ibu Lamia membalikan badannya dan kaget bukan main karena ekspresi Freya.

"Ibu, kenapa membukakan pintunya...Harusnya aku saja." Ucap Freya setengah berbisik.

"Memang kenapa Ma cherie?" Tanya Ibu Lamia dengan nada setengah berbisik juga.

"Never mind, Ibu. Bisa tolong bawakan cemilan?" Lantas Freya tersenyum.

Ibu Lamia pun meninggalkan Freya bersama tamu spesialnya di ruang tamu.

"Bon apres midi, Dio." Sapa Freya dengan nada cerianya sembari mendudukan diri depan pria itu.

Dio mengangkat kepalanya dari kegiatannya bersama ponselnya "Apa artinya?"

Freya tertawa kecil "Siang, Dio."

Pria yang Freya panggil Dio itu menganggukan kepala seakan baru menemukan kosakata baru. Freya memandangi pria itu yang terpaku pada foto keluarganya yang dipajang didinding ruang tamu beserta lukisan-lukisan kuno milik Papanya. Keluarga Jean Dupont telah menempati rumah ini selama kurang lebih sepuluh tahun. Gadis itu memang lahir di Prancis namun pindah ke negara ini saat usianya menginjak lima tahun. Freya memang selalu ditinggalkan oleh orang tuanya karena urusan bisnis, dan ia dapat menerima itu dengan baik. Karena semua yang orang tuanya lakukan pastinya untuknya juga. Tapi tetap saja, rasa kurang perhatian dan kasih sayang orang tua tiap kali menghampirinya.

Keluarga dari pihak ayah yang ia punya hanya satu orang disini yaitu keluarga Kang Daniel, namun Freya tidak begitu akrab dengan sepupunya yang belum lama ini menikahi guru bahasa asingnya di sekolah. Tantenya yang tidak lain adalah ibu dari Kang Daniel merupakan adik dari Papanya, setelah tantenya menikah dengan orang korea selatan marga Dupont otomatis terhapus dari nama belakangnya. Namun Budaya Eropa dengan pemikiran yang terbuka, pihak keluarga besar Dupont di Prancis terlebih Papanya Freya tidak mempermalasahkan hal tersebut.

Berbeda dengan Mamanya yang asli orang Tionghoa, Freya tidak pernah bertemu dengan pihak keluarga Mamanya yang berada di China sejak kecil. Ia pun besar sepenuhnya dalam budaya keluarga Papanya. Freya tidak pernah menyinggung hal itu dihadapan Mamanya. Yang Freya ketahui dari ibu Marry, bahwa dalam budaya Tionghoa orang yang pindah agama akan dikeluarkan secara tidak resmi dalam catatan keluarga. Dan Mamanya berada dalam posisi tersebut.

"Kau tidak punya adik atau kakak?" Tanya pria itu saat kembali menatap Freya.

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Aku anak semata wayang. Antara bahagia dan kesepian."

Ya, Antara bahagia dan kesepian. Bahagianya ketika saat kecil Freya tidak perlu mengalah pada siapapun semua mainan dan cemilan adalah miliknya, karena ia melihat kebanyakan teman sebayanya yang harus mengalah pada adiknya. Tapi kini rasanya berbagi itu adalah hal yang menyenangkan seperti yang selalu Mamanya ajarkan ketika mereka mengunjungi panti asuhan setiap natal. Berbagi dapat mengenyahkan rasa kesepian.

Meski Freya sangat selektif memilih teman, karena sepanjang eksistensinya di dunia ini teman yang dimilikinya hanyalah sebuah makna tanpa kata, ia tetap suka berbagi. Iya, Mereka semua berteman dengan Freya hanya dengan alasan apa yang orang tua Freya miliki.

"Kau tinggal sendiri disini?"

"Tidak, aku tidak sendirian. Dio, pasti sebelumnya bertemu satpam didepan dan tiga bodyguard. Sementara yang barusan itu Ibu Lamia." Jelas Freya.

"Maksudku selain asistenmu, satpam dan bodyguard mu."

"Kucing. Aku punya empat kucing Persia dibelakang." Sudut bibir Freya tertarik membentuk senyuman. Hanya kucing teman yang paling setia baginya.

Lantas Ibu Lamia kembali dengan sepiring potongan kue kismis dan dua gelas jus mangga.

"Terimakasih, Ibu." Ucap Freya

"Iya, Ma cherie. Silahkan, Monsieur."

"Terimakasih, Ibu." Jawab pria itu.

Lalu meninggalkan kembali mereka berdua di ruang tamu.

"Christian dan Yoon Ji sudah dibutik sejak sejam yang lalu." Ucap Dio setelah menggigit sepotong kue kismis.

"Aku sudah menyiapkan yang akan ku-"

"Bunda sudah menyiapkan semuanya dari ujung rambut sampai ujung kaki."

"Iya, tapi aku ingin memakai wedges milikku. Jadi aku akan membawa itu."

Freya tersenyum kecil melihat pria itu menyedot jus mangga secara antusias. Berarti informasi yang diterimanya memang akurat. Do Kyungsoo dapat menyingkirkan banyak rasa tidak nyaman yang kerap melingkupi Freya, entah itu kesepian, kesendirian atau kosong.

Kosong?

Freya bertanya pada dirinya sendiri kenapa ia memilih kata Kosong itu.

***

"Dio, pernah taken?"

Aku langsung tersedak oleh jus mangga yang ku minum. Lantas batuk-batuk secara tidak terhormat seperti ada bola tenis yang tersangkut ditenggorokanku dan membuat Freya panik. Ia langsung meninggalkanku yang masih batuk-batuk hebat.

Haruskah aku memberitahu soal Stella? Kurasa tidak perlu. Aku tidak dapat menerka sejauh mana kami akan berlayar. Maksudku aku dan Freya.

Tak lama Freya pun kembali dengan segelas air putih dan kuterima dengan rasa syukur. Ternyata dia cukup peka.

"Bisa kita pergi sekarang?" Tanyaku setelah meneguk segelas air dari Freya.

Rumah Freya memiliki atmosfer yang kurang nyaman bagiku saat ini. Gadis itu pun mengangguk antusias. Lantas meminta sepuluh menit dariku.

Tidak lama kemudian Freya sudah siap dengan tas kecil tersampir disebelah bahunya, terdapat goodie bag disatu tangannya. Rambut ikal panjangnya yang terurai, dress nonformal warna coklat selututnya, senyumnya yang tertarik dari setiap sudut bibirnya dan mata coklat eboninya.

Aku suka pemandangan yang kupandangi saat ini.

Geez, aku segera mengenyahkan bayangan tentang...

Aku yang maju selangkah untuk memperkecil jarak diantara kami dan menyelipkan sejumput rambut dibelakang telinganya.

Fokus Dio! Fokus! Batinku

***

Christian menyambut kami dengan cengiran idiotnya ketika kami berjalan memasuki butik bunda. Aku percaya, Christian dan Yoon Ji adalah makhluk tepat waktu yang ada dimuka bumi ini. Dilihat dari mobil Christian yang sudah terparkir satu setengah jam yang lalu mungkin.

Christian menaik-turunkan kedua alisnya lantas bertanya "Jadi ada yang lebih dari sekedar pasangan prom night kah?"

Aku mengangkat sebelah alis karena pertanyaan dari Christian. Lantas mengalihkan wajah pada gadis disebelahku, Dia mengulas senyum yang tidak kumengerti. Detik berikutnya Kutemukan alasan Freya tersenyum semacam itu dan aku langsung melepaskan genggamanku pada Freya yang tidak kuingat kapan aku melakukannya.

Freya akhirnya masuk kedalam ruang ganti karena bunda memanggilnya. Aku pun mendudukan diri disebelah Christian yang masih dengan tawanya.

Ku abaikan Christian dan mulai bermain  game yang sudah lama tidak kujamah sejak aku mengenal Freya Dupont. Gadis itu akan menelponku ratusan kali jika aku tidak mengangkat telponnya dan entah kenapa aku tidak punya keinginan memblokir nomornya.

"Kau menjemput Yoon Ji jam berapa?" Tanyaku tanpa beralih dari aktivitasku.

"Sebelum jam makan siang. Aku bukan manusia karet sepertimu."

"Iya, selain itu supaya kau bisa makan siang disana dengan mamanya Yoon Ji. Ck ... jangan kira aku tidak tahu senjata rakitanmu."

Ekor mataku  mendapati Christian  yang tersenyum miring. Aku tidak pernah melihat Christian setertarik itu dengan seorang makhluk bernama perempuan meski jumlah Fangirls Christian disekolah dapat dijadikan pasukan paduan suara.

"Ah, kau sendiri kenapa tidak mengajak Freya lebih dari sekadar pasangan prom night?"

Nah, pertanyaan Christian yang satu itu seperti rasa makanan kucing. Tidak enak.

"Aku tidak begitu yakin." Akhirnya aku mengehentikan aktivitas gameku. Jawabanku tadi mungkin selebihnya untuk diriku sendiri.

"Kenapa? Kalian berdua memiliki tatapan yang sama terhadap satu sama lain." Ucapnya dengan nada yang dibuat dramatis.

Aku hanya mendengus keras sambil memandang ke arah kaca jendela besar yang tirainya tersibak, sinar matahari menembus lapisan bening itu hingga menimbulkan bayangan pada benda yang ada disekitar sana. Terdapat vas bunga besar diujung sana yang berisi bunga buatan. Aku mengerutkan dahi karena vas bunga itu.

Bunga?

Aku langsung bangkit dari sofa dan bergegas menuju pintu. Dapat kurasakan Chris yang kaget karena spontanitasku.

"Mau kemana?" Tanya Chris dengan nada setengah berteriak.

"Cari sebuket Lily putih."

"Untuk siapa?" Tanya Chris la yang langsung membuatku membalikan badan.

"Untuk siapa lagi menurutmu?" Tanyaku dengan nada ketus.

Iya, aku ingat akan janji membawa sebuket Lily putih untuk Freya Dupont saat malam prom.

Christian mengerutkan dahinya, aku langsung mengabaikannya dan dapat kudengar tawa Christian sebelum menutup pintu butik.

"Tabahkan dompetmu nak!"

***

Aku membawa Freya ke halaman belakang aula untuk dapat menghirup udara segar. Sejenak menghindari tatapan heran dari pasangan-pasangan prom night lainnya serta bisik-bisik tidak penting mengenai kenapa aku dan Freya bisa menjadi pasangan. Pasangan prom night.

"Can we still like this?" Kata Freya.

Rangkaian kata yang dapat membuatku terpaku sekian detik, entah Freya memang jujur mengatakannya atau tidak. Tapi dapat memberi efek seperti sengatan listrik bagiku.

Untuk apa Freya mengatakan hal ambigu semacam itu?

Aku melempar gelas kertas dan berakhir dengan mulus ke dalam keranjang sampah. Saat aku menoleh, aku mendapati raut wajah gadis manja yang selalu bersikap seenaknya denganku. Raut wajahnya berubah seperti anak kecil yang tidak ingin ayahnya berangkat kerja. Lucu pikirku.

"Kenapa?" Tanyaku.

"Apanya?"

Kurasa dia mulai memancingku.

"Tidak perlu dijawab." Kataku sambil mengalihkan wajah lagi darinya.

Gadis itu menghentak-hentakan kakinya, mengurangi jarak diantara kami. Hingga kini kami berdiri berhadapan. Sesaat wajahnya berubah begitu serius. Aura kelewat manjanya lenyap seketika.

"Aku.... Aku..." Dia menghirup nafas panjang lalu menundukan kepalanya memandangi kakinya yang terbalut wedges "Aku..." Kata-katanya seolah menghilang diudara dalam sepersekian detik.

Freya akhirnya mengangkat kepalanya dan aku melihat cairan bening yang tertumpuk dikedua bola matanya. Serta kedua tangannya yang meremas gaun Cinderellanya. "Aku... nyaman denganmu. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku ingin selalu dekat denganmu, ada dalam radarmu."

Freya dengan gaun Cinderella, dress nonformal atau bahkan kaus kebesaran sekalipun, tetap sama bagiku. Lebih indah melebihi pemandangan dari puncak gunung Himalaya. Dollfie Dream, berkat banyak khotbah dari Christian yang kuterima, aku pun mengurungkan niat membeli merchandise anime yang harganya selangit itu. Ternyata dibalik semua itu Tuhan mengirimkan kepadaku yang lebih nyata dari Dollfie Dream. Iya, Aku mengakui Freya Dupont lebih cantik dari Dollfie Dream impianku.

Aku mengangkat sebelah tanganku menyentuh puncak kepalanya, bermaksud untuk tidak membuatnya menangis atau semacamnya "Aku bukan menara radio yang dapat memancarkan radar, Freya." Aku ingin menyembunyikan tawaku karena ucapanku sendiri namun gagal.

Bulir air matanya jatuh tapi dapat kuterka keinginannya untuk menangis mungkin sudah lenyap. Freya dengan cepat meraih tanganku dari puncak kepalanya, meremasnya kuat-kuat hingga kutemukan jelas pipinya yang merah padam karena menahan rasa kesalnya.

"Berjanjilah.. kau akan menelpon, video call dan Skype setiap hari juga menemuiku saat libur semester." Lantas menautkan dengan paksa jari manisnya pada jariku.

Freya menatapku dengan sorot mata manjanya "Promise?"

Aku berusaha melepas tanganku yang dia monopoli seenaknya. Cukup sulit, sesulit merebut mainan milik anak balita. Freya pikir tiket pesawat dari China ke Prancis itu seharga mainan anak balita berbentuk karet yang bisa digigit?

"Aku tidak bisa." Jawabku dengan jujur.

Aku tidak berani mengikrarkan janji semacam itu, kami tidak memiliki hubungan yang lebih dari sekedar pasangan prom night, meski sisi lain dariku menginginkan itu. Tapi aku tidak dapat menjanjikan banyak hal pada Freya.

Time flies. Time change. Mungkin dalam seminggu setelah kepergianku ke China, Freya juga akan lupa dan normal dengan sendirinya. Begitu pun aku.

Kalaupun iya tentang kepemilikan rasa yang sama. Aku tidak begitu yakin, Long distance relationship sama sekali bukan gayaku. Apalagi dalam konten beda negara.

"Dio, please.." Katanya lagi masih dengan sorot matanya yang membahayakan bagi kesehatan jantungku.

Entah kenapa, kata please dari Freya saat ini seolah membuat otakku tidak berfungsi sebagaimana mestinya. "Iya, Freya."

Sontak gadis itu tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan mengarahkannya padaku. Aku hanya mengangkat sebelah alis seolah bertanya untuk apa dia menyodorkan ponselnya.

"Cepat ucapkan janjimu."

Dahiku berkerut karena tingkah ajaib dari seorang Freya Dupont.

"Aku, Do Kyungsoo. Berjanji akan mengabari Freya Dupont meski dengan merpati sekalipun dan menemui Freya setiap libur semester. Coba ulangi kataku."

Aku sudah cukup lelah berdebat dengan Freya, sesekali ingin ku bekap mulutnya dengan kaus kakinya Kookie namun jika mengingat wajah bodyguard Freya yang lebih mengerikan dari bulldog. Aku memilih untuk menurutinya. "Aku, Do Kyungsoo. Berjanji akan mengabari Freya Dupont meski dengan merpati sekalipun dan menemui Freya setiap libur semester-"

"Serta memberikan dua puluh empat jam penuh untuk Freya sebelum berangkat." Dengan seenaknya Freya memotong dan menambahi sumpah serapah tidak penting kami ini.

"Apa-apaan itu." Kataku

Dia mengacungkan ponselnya didepan wajahku dengan wajah yang sumringah. Dia dapat merubah ekspresi wajahnya secepat kilat. "Aku sudah menguploadnya dan ini dapat dijadikan barang bukti di pengadilan jika ... Dio ingkar janji." Senyum kemenangan terhias diwajahnya sekarang.

"Jangan sembarangan memposting, ayo masuk." Aku membalikan badan meninggalkan Freya dengan kegiatannya.

Entah aku dapat menepati semua janji yang barusan dengan paksa kuucapkan atau tidak. Entah Freya akan tetap memiliki sikap seperti itu atau tidak ketika aku di China dan dia di Prancis. Entah Freya akan menagih janjiku atau tidak.

Tidak butuh waktu lama untuk gadis itu menyadari kepergianku.

"Dio, tunggu!" Suaranya yang melengking memanggil nama kecilku, entah kenapa aku jadi terbiasa dengan itu.

Lantas ia memonopoli lagi lenganku seenaknya, mengamitnya dengan kedua lengan kecilnya. Aku mendesah berat ketika melintasi beberapa panitia prom yang menatap kami curiga dalam perjalanan memasuki aula, mengira kami pasti sudah punya hubungan sejak lama.

Meminta Freya untuk tidak memeluk lengangku sama saja dengan memulai perdebatan panjang lagi dengannya. Dan berdebat dengan Freya didepan banyak orang bukanlah hal yang ingin kutemui saat ini.

Mungkin karena Freya dengan gaun Cinderellanya atau mungkin saku yang dikenal sebagai mantan ketua MPS yang punya pembawaan serupa balok es adalah hal yang menarik untuk jadi bahan tontonan. Tapi itu bukan masalah besar untukku.

***

Christian mendapati raut wajah Yoon Ji yang sepertinya tidak nyaman dengan tatapan ganas dari Fangirls seangkatannya. Dan jelas, ia pikir itu bukanlah hal yang wajar. Ini hidupnya dan ia yang menjalani. Fangirls tidak berhak mengatur apapun dalam tatanan hidupnya. Untuk apa adanya Hak Asasi Manusia kalau bukan untuk melindungi hak-hak yang manusiawi? Termasuk Christian yang berhak membawa Yoon Ji sebagai pasangan prom nightnya. Atau bahkan lebih dari itu.

"Abaikan mereka." Ucap Christian pada snow whitenya.

Yoon Ji menatapnya sejenak lalu mengangguk.

Ia tahu bahwa gadis itu bukan tipikal gadis lemah dan mudah terpengaruh. Yoon Ji lebih dari itu, lebih dari paras cantik natural yang dimilikinya, gadis itu memiliki segalanya. Inner maupun outer beauty.

Dan itulah yang membuat Christian mudah jatuh dalam pesona seorang Min Yoon Ji.

Bola mata Christian menangkap sesuatu yang aneh dibelakang Yoon Ji, ia langsung menarik tangan gadis itu secara refleks. Ia menemukan sebuah pemandangan dimana sahabatnya dengan tergesa-gesa melewati kerumunan pasangan prom night sambil menggendong Freya yang tidak sadarkan diri. Raut wajahnya luar biasa panik, membuat Christian sontak mengikuti sahabatnya itu.

"Ada apa dengannya?" Pertanyaan Yoon Ji yang mendahului isi otak Christian.

"Aku tidak tahu. Chris, maaf bisa ikuti aku sampai parkiran?" Ucap Kyungsoo dengan napas tersengal-sengal.

"Jelas saja Kyung, untuk apa aku berjalan disampingmu seperti ini?"

Kyungsoo tidak menggubris ucapan Christian sama sekali. Christian belum pernah melihat sahabatnya sepanik itu sebelumya. Ketika Christian menoleh, ia baru saja sadar bahwa sejak tadi tangannya menggenggam tangan Yoon Ji. Gadis itu tidak melakukan perlawanan sama sekali. Kedua bola mata hitam pekat milik gadis itu menatap Barbie Annabellenya Kyungsoo dengan serius.

Akhirnya mereka sampai di depan mobil Kyungsoo. Setelah melewati koridor panjang dan halaman sekolah. Parkiran terlihat sepi karena acara prom night belum mencapai puncaknya. Dan jelas, baik Christian maupun Yoon Ji memilih membantu Kyungsoo yang mungkin sebentar lagi mati kehabisan nafas berhubung jarak dari aula ke parkiran sekolah lumayan menguras energi.

"Chris tolong, kunci mobil disakuku."

Christian pun langsung merogoh saku jas Kyungsoo dan mengarahkan kunci mobil hingga berbunyi "Beep Beep". Yoon Ji yang tanpa diminta bantuan langsung membukakan pintu mobil di seat kedua, membiarkan Kyungsoo mendudukan Freya dikursi belakang. Lantas gadis itu duduk disamping Barbie Annebellenya Kyungsoo.

"Terimakasih, Yoon." Ucap Kyungsoo sembari menutup pintu mobil secara tergesa-gesa dengan sisa nafas dan keringat yang mengucur dipelipisnya.

Nampaknya sahabatnya yang satu itu sudah hampir terbiasa dengan adegan buka-tutup pintu mobil untuk Barbie Annabellenya. Christian pun melemparkan kunci mobil yang langsung sigap ditangkap oleh sahabatnya itu. Baru saja Christian hendak memasang seat belt, mobil secara tidak manusiawi mencoba keluar dari parkiran hingga menabrak tempat sampah besar.

BRAK!!!

"Yang benar saja bodoh! Tukar posisi denganku!" Pekik Christian pada sahabatnya yang kelewat panik itu.

Kyungsoo menghela nafas "Maaf Chris, aku tidak fokus."

"Yoon, kau pindah didepan. Kyungsoo harus memastikan Barbie Annabellenya baik-baik saja dibelakang." Ucapnya sebelum keluar dari mobil.

Ia tahu betul tanpa perlu sahabatnya itu menjelaskan panjang lebar, Kyungsoo khawatir dengan gadis blasteran Tionghoa-Prancis itu. Sorot matanya dan gerak-geriknya tidak dapat menipu mata siapapun.

Detik berikutnya ia berada dibalik kemudi dan Yoon Ji duduk disampingnya. Christian harus benar-benar memastikan Yoon Ji sudah memasang seat belt baru ia menjalankan mobil. Mereka pun melesat keluar dari sekolah dan dihadapi dengan jalanan yang macet.

Moment yang sangat tidak tepat di malam prom night yang harusnya berkesan romantis ini.

"Chris, tangan Freya berkeringat dingin." Ucap sahabatnya dibelakang.

Christian sejenak melirik dari kaca dan menemukan sahabatnya itu sedang menggenggam tangan Freya, kepala gadis itu disandarkan dibahunya. Kyungsoo mencoba memanggil nama gadis itu dengan nada yang sangat lirih. Hebatnya seorang Freya Dupont yang dapat membuat Kyungsoo menjadi lebih manusiawi.

"Tepis sedikit rasa panikmu. Dimana rumahnya?" Sejujurnya ia sedang berusaha mengurangi rasa panik sahabatnya itu.

"Freya ada dalam tanggung jawabku karena aku yang menjemputnya, Chris."

"Hentikan drama kalian, aku sedang mencari rumah sakit terdekat. Setelah pertigaan ambil kiri, Chris." Kali ini gadis disebelahnya angkat bicara sembari berkutat pada maps di layar ponselnya.

Christian pun kembali fokus dibalik kemudi sembari bekerja sama dengan Yoon Ji untuk mencari jalan yang bebas dari kemacetan.

***

Gadis berambut sebahu itu menoleh dan mendapati Christian yang tengah memandangi wajahnya dari samping. Yoon Ji membalas senyum singkatnya, singkat namun sehangat pelukan mamanya kala ia menangis waktu kecil. Kini mereka bersandar didepan kap mobil diparkiran rumah sakit, mereka meninggalkan Kyungsoo bersama Freya di UGD karena demi ketertiban rumah sakit.

"Maaf, kau harus repot karena hal ini." Christian mulai membuka pembicaraan.

Gadis itu menghela nafas kecil "Itu bukan hal yang merepotkan selama masih dalam konteks kemanusiaan, kita calon dokter dan harus sudah terbiasa dengan hal seperti itu. Pasien yang pucat pasi atau berlumuran darah. Wajah kerabat dan keluarga pasien yang penuh kepanikan. Itu semua akan jadi pemandangan yang biasa nanti."

Entah kenapa Christian takjub mendengar jawaban dari gadis itu. Lantas membayangkan gadis itu dengan jas dokter dan stetoskop yang menggantung dilehernya. Sebelum benar-benar berkecimpung dalam fakultas kedokteran, Yoon Ji sudah mendalami sejauh itu. Jiwa dokter penuh tanggung jawab yang berjuang dalam hal kemanusiaan seperti sudah mengalir deras sejak gadis itu lahir menurut asumsi Christian.

"Iya, kau benar." Jawab Christian tanpa menghilangkan kagum dalam binar kedua matanya.

"Kita harus siap mengutamakan pasien diatas segalanya. Gedung dengan bau antiseptik tajam dan suara bangkar yang digeret akan jadi bagian dari keseharian kita." Ucap gadis itu sembari menerima botol kemasan yang Christian sodorkan.

Iya, termaksud kau yang ingin kujadikan bagian terpenting dari hariku. Batin Christian.

"Cause I can't take my eyes off you.." Ucap Christian lirih.

Dalam detik supernano mata mereka bertubrukan membuat debaran yang lebih cepat setara kecepatan spidometer pembalap.

"Apa kau bilang?"

Christian membulatkan matanya. Ia menggaruk belakang tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Bukan apa-apa." Lantas memberikan cengiran yang kelihatan konyol.

Beruntung ponselnya yang bergetar disakunya menyelamatkan Christian dari ranjau yang menjebaknya.

"Ya, Kyung? Apa kata dokter?" Tanya Christian.

"Oh... Hanya karena itu? Tidak apa jika aku tinggal? Oke." Lanjutnya.

"Ya, ya, ya, akan kujaga dengan baik mobil bundamu." Lantas Christian memasukan kembali ponselnya.

***

Ketika manik matanya terbuka ia tidak lagi berada dalam aula sekolah dimana acara Prom Night diadakan. Cahaya lampu menyilaukan netranya. Freya langsung melepas selang oksigen dari hidungnya begitu matanya menemukan sosok pria itu. Bau antiseptik langsung menyambut indera penciumannya.

Hal terakhir yang ia ingat adalah ia memang sedang menahan rasa sakit karena menstruasinya.

"Kenapa?" Tanya pria itu ketika mata mereka bertemu pandang.

Keadaan UGD sepi hanya ada satu dokter jaga dan satu suster yang sedang mengobrol. Freya tidak langsung menjawab, memandangi pria yang duduk disamping bangkarnya sejenak. Do Kyungsoo dengan jas prom nightnya menjadi pemandangan langka yang ingin Freya nikmati lebih lama.

"Apanya?"

"Tidak jujur kalau kau sakit."

Untuk kali ini Freya bersyukur kepada sakit bulanannya yang membuatnya tak sadarkan diri. Karena berkat itu, ia dapat menemukan kekhawatiran dari sorot mata Dio.

"Aku tidak mau melewatkan prom night. Lagi pula itu sakit yang biasa kuterima tiap bulan." Jawabnya tanpa ragu.

Pria itu terdiam, lalu bangkit dari duduknya ketika suster menghampiri bangkar Freya untuk memeriksa botol infus pereda nyeri yang akan habis.

"Dio mau kemana?"

"Tebus obatmu."

Freya menggeleng lemah. Sepersekian detik ia menatap pria bernama Do Kyungsoo itu. Ia tidak sakit parah atau kecelakaan, ia hanya sedang menstruasi dihari pertama. Dan ia bisa menebak obat yang ditebus Dio sudah pasti obat pereda nyeri serta obat penambah darah. UGD bukanlah tempat yang cocok untuk kostum mereka.

"Sebentar Freya..." dengan tatapan yang melembut.

Kali ini Freya meraih sebelah tangan pria itu. Mencoba membahasakan Tetap disini dengan sorot matanya. Freya memang tidak cukup memiliki energi, tapi itu dapat membuat Dio duduk kembali disebelah bangkarnya. Selanjutnya, mereka hanya saling memandang tanpa ada kata yang muncul. Mata yang lebih banyak mendeskripsikan apa yang mereka rasa saat ini.

“Beri tahu aku saat kau menahan rasa sakit. Dan kalimat yang terucap dari pria itu menjadi pemecah keheningan yang tercipta sesaat.

***

*Ma cherie : Sayang
*Monsieur : Tuan

.
.

Ecciiieeee batal dansa, malah adu kuat tatap-tatapan mata di RS...

Siapa tadi yang bacanya sambil cengar-cengir???

Jangan lupa yaa komennya, di tandai aja kalau ada typo..

Terima kasih 😉

Jakarta, 13 Januari 2019
Bianne205

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro