4 - Boomerang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hari ini adalah hari kebodohanku yang ke sekian. Aku lupa, lagi dan lagi lupa membawa tugas essayku yang padahal sudah kukerjakan mati-matian dua malam kemarin. Kesialan lainnya, kini aku berdiri ditengah lapangan dengan matahari yang terasa sejengkal dari ubun-ubun kepalaku. Oh ya, jangan lupa dengan papan yang aku angkat diatas kepalaku bertuliskan "Saya berjanji tidak akan meninggalkan Stella sampai kapanpun. Sampai dunia ini runtuh bahkan berhenti berputar dan langit-langit berjatuhan."

Ck, sial aku malah mengingat tragedi kafe tiga Minggu yang lalu. Maksudku.. Saya berjanji tidak akan lupa membawa tugas essay lagi.

Yeah, alright. Cuma tulisan dipapan yang tanpa arti apa-apa, aku tidak yakin dengan kebiasaanku yang mengerjakan essay sampai berlarut-larut malam dan meninggalkannya di meja belajar tanpa langsung memasukkannya ke ransel. Seusainya Guru menanyakan dimana tugas essayku dan tentu saja aku jawab ketinggalan di meja belajar, karena aku adalah orang yang sangat amat jujur. Jujur adalah kunci menjadi seorang Jaksa penuntut orang yang salah. Dan itu cita-citaku.

Nyatanya guru tetap menghukumku yang seharusnya guru tersebut menyelidiki dulu apakah benar aku meninggalkannya di meja belajar lantas mengeceknya ke rumahku ke kamarku lalu ke meja belajarku.

Oke, lupakan igauanku diterik siang ini.

Tiga minggu yang lalu pertama kalinya Stella menghubungiku bahkan pertama kalinya lagi aku berani melihatnya menatapnya seperti dulu sejak hari dimana kami putus. Lalu hari dimana Stella bahagia menikah sekaligus hari binasanya duniaku, aku tidak berani menatapnya secara langsung. Menatapnya membuatku ingin membawanya pergi bersamaku. Mengultimatum bahwa Stella milikku selamanya.

Namun siapa aku? Pangeran Inggris kah? Presiden Rusia kah? Sayangnya aku hanya anak SMA usia 18th yang hanya memiliki cita-cita sebagai Jaksa dan masih dalam perjalanan panjang. Aku tidak berani membuat Stella menunggu, lebih tepatnya memang dia memilih meninggalkanku dan menyampaikan alasan yang berusaha kuterima dengan lapang dada sebagai seorang pria.

Mataku menangkap tangan yang menyodorkan botol mango juice. Itu minuman favoriteku, meski pasaran itu tetap favoriteku. Lantas aku terkejut menemukan siapa pemilik tangan tersebut.

You're the right time at the right moment

You're the sunlight keeps my heart going

Mata hazel itu masih mampu membuat jantungku melompat dari raga ini. Bahkan mampu meredam panasnya terik matahari yang begitu brengsek.

Kenapa Tuhan tidak menakdirkan Stella sebagai adik kelasku atau teman sekelasku? Agar aku tidak perlu merasa berdosa setiap kali membayangkan dia terbaring disebelahku saat aku bangun tidur. Why? Why must me God? Why must her? Why?! Ah, rasanya aku ingin berlarian mengelilingi stadion sepak bola dengan hidung yang mimisan karena ketidakwarasanku sendiri.

Tangan kami bersentuhan saat aku meraih botol minum tersebut. Berani sumpah, aku menahan diri mati-matian untuk tidak menarik tangannya lantas merengkuhnya dalam dekapan.

"Terimakasih Miss." Aku membuang tatapanku ke lapangan.

"Call my name, Dio." Pandangan kami terkunci.

"Thank you Stella..."

"Its not my name."

Aku tampak ragu mengatakannya "Thank you.." aku berdeham sejenak "Baby boo."

Kutemukan senyum samar diwajahnya yang tidak dapat ku artikan. Kutemukan juga hal yang tidak ingin kuakui..

I know it. But you're not for me. I love you too until it hurts..

"Aku ingin mendengar itu untuk terakhir kalinya." Katanya sambil berlalu

Mataku mengikuti punggungnya yang menjauh. Dia pergi. Dia selalu pergi dengan cara seperti itu. Dengan membawa separuh dariku. Oke, katakan aku lemah dan gila seperti yang selalu Chris katakan. Realitanya memang begitu.

Tunggu...

Hujan kacang? Aku menemukan banyak kacang di depan sepatuku saat mengalihkan pandangan.

"Brengsek!" Aku bersiap melempar papan diatas kepalaku ketika menemukan bocah ingusan yang lemah akan traktiran.

Kookie masih melempariku dengan kacang "Aku kira hewan sirkus Bang!" Lalu tawanya pecah.

Kuberikan gerakan ibu jari yang kuputar dileherku lantas hendak berlari mengejar bocah sialan itu.

"Do Kyungsoo!"

Suara yang terasa seperti petir disiang bolong membuatku harus kembali pada posisi awalku dengan papan diatas kepala yang kini kusuarakan "Saya berjanji akan membunuh Park Jeon Jungkook nanti"

***

"Hari ini giliran kau yang ambil box." Kata Chris saat kami memasuki kantin.

Aku melenguh "Park Christian Jimin yang pandai dan rajin menabung, tadi siang sahabatmu ini berjemur di lapangan-"

Chris berdecak kesal lalu mengibaskan sebelah tangan. Lantas aku nyengir lebar melenggang mencari meja untuk duo lelaki tampan pujaan wanita. Kantin sekolah menyediakan katering untuk beberapa murid yang orang tuanya begitu peduli terhadap kesehatan anaknya. Contohnya Bunda dan Mamanya Chris yang tiap bulan membayar iuran katering. Tentu saja aku dan Chris menyambutnya dengan senang karena kami dapat menyimpan uang saku lebih banyak.

Untuk Chris, bukan rahasia seantero sekolah bahwa dia adalah siswa yang pandai dan rajin menabung. Dan untukku tentu saja aku menabung demi membeli Dollfie Dream Hagiwara Yukiho seharga dua belas juta. Dollfie Dream merupakan boneka yang umum dimiliki semua pria fanatik anime. Dollfie Dream adalah boneka yang menyerupai tokoh anime perempuan setinggi enam puluh sentimeter. Harga Dollfie Dream tergantung tipe dan kedetailan bonekanya. Dan incaranku adalah tipe Dynamit dengan tokoh Hagiwara Yukiho yang kusebut sebagai Stella kedua.

Chris meletakkan dua box katering ke atas meja yang sudah aku tempati untuk kami. "Menu hari ini Ebimaki dan salad."

Kuanggukan kepala sambil mengecek ponsel karena ada satu notifikasi yang masuk.

From Bunda :
Jangan terlambat pulang hari ini.

Aroma parfum menyeruak dalam indera penciumanku. Astaga, apa Chris mau transgender? Aku tidak siap jika ia memaksaku beralih dan minta kupacari. Ini jelas wangi parfum perempuan.

"Permisi Kak, boleh aku ikut bergabung?"

Aku langsung mengangkat wajah dan menemukan si Fangirl gilanya Christian. Ternyata dia masih pantang mundur sampai saat ini. Aku bisa melihat slogan didahinya yang bertuliskan "Be a Christian's queen until the end"

Si Pinky jelas menunggu jawaban dengan mata yang berbinar-binar menatap Christian penuh harap. Christian tersenyum sambil mengunyah dan hendak mengatakan sesuatu yang langsung kupotong secepat kilat.

"BIG NO." Kataku

Si Pinky langsung memandangku tajam setajam katana, yang jelas kubalas dengan tatapan mematikan juga siap melempar shuriken kalau dia berani mendudukan diri diantara kami. Kemudian ia kembali menatap Christian dengan tatapan memuja.

"Maaf mungkin lain kali, kurasa temanku merasa kurang nyaman." Christian tersenyum ramah

Gadis dengan atribut serba warna pink itu mengangguk dan tersenyum dengan senyuman yang kelewat lebar hingga pipinya robek mungkin sebentar lagi. Berani taruhan dia mungkin bisa berdiri disana berjam-jam untuk menikmati pemandangan seorang Park Christian Jimin yang sedang makan siang.

Aku berdeham keras untuk membangunkan si Pinky dari mimpi indahnya bersama Christian. Gadis itu terlihat jengkel setengah mati sedetik setelahnya ia pergi dari tempat kami.

Kubuka box kateringku karena perutku yang sudah keroncongan, sementara Chris hampir menghabiskan makan siangnya. Kepalaku mendadak pusing detik itu juga dan aku ingin muntah.

Saus?

Christian pasti tahu bahwa aku tidak bisa makan saus, bahkan mencium aromanya. Aku berdiri dari kursi dengan menutup mulut dan membungkukan badan. Christian juga langsung bangkit dari kursinya membawa box kateringku.

Setelah menormalkan gejolak dalam lambung aku kembali duduk dan menemukan Christian menarik sebelah tangan Pinky.

Oh ya, analisaku membaca bahwa si Pinky sengaja menukar box kateringku karena dia tahu aku pasti tidak akan mengiyakannya bergabung satu meja dengan kami, sebenarnya itu hal yang tidak nyaman juga untuk Chris hanya saja Chris mungkin tidak tega menolak.

Kubuka keripik kentang yang kubawa sambil menonton drama settingan si Pinky. Sejenak aku berdecak kagum pada kegilaan Fangirl Christian yang satu itu. Alih-alih menghabiskan uang untuk mentraktir Kookie kali ini ia lebih memilih berurusan denganku yang jelas membuat Christian menghampirinya.

"Maaf.. apa box kateringmu tertukar?" Tanya Christian dengan sopan masih menarik sebelah tangan gadis itu tanpa sadar.

Bukannya langsung menjawab gadis itu memandang tangan Christian yang menggenggam pergelangan tangannya selama lebih dari dua menit, lalu kembali menatap Christian. Entah dia tidak dapat berkata-kata karena rasa bahagia yang membuncah bisa sedekat itu dengan Christian atau karena mata mereka terkunci.

"Excuse me?" Tanya Christian

Gadis itu mengerjapkan matanya sekian detik lalu mengangkat sebelah tangannya yang Christian genggam tanpa sengaja dengan senyum sumringah menghiasi wajahnya.

"Oh, maaf aku tidak sengaja dan tidak bermaksud apa-apa." Jawab Christian dengan nada terbata.

Pinky membuka tutup box katering "Oh iya kak.. ini tanpa saus sama sekali." Lantas Pinky tersenyum manis, senyum yang menurutku adalah senyum kemenangan iblis.

"Terimakasih.." Ucap Chris setelah bertukar box katering dengan si Pinky.

Tiba-tiba Christian mengangkat dua buah undangan dari bawah box yang ia terima.

"Itu undangan ulang tahunku kak, aku harap kak Chris mau datang."

Nah kan, si Pinky itu lebih dari yang kukira. Kegilaannya mungkin bertambah parah kian hari. Dia merekayasa semua ini untuk memberikan sebuah undangan? What the hell? Puja kerang ajaib.

***

"Mas Dio... Bunda sudah menunggu di dalam." Tukas asisten rumah tangga kepercayaan Bunda yang sudah bekerja di rumah kami sejak aku kecil.

Aku lantas mengangguk sebelum melirik mobil Bunda yang jam segini sudah terparkir di garasi rumah kami. Sebenarnya apa yang mau Bunda bicarakan? Kenapa mendadak lebih serius daripada pembicaraan Kaerin yang setahun lalu mau merantau ke Jepang?

Setelah membuka pintu rumah, aku menemukan Bunda yang sudah duduk di sofa ruang tamu. Bunda mengangkat wajahnya, ekspresinya membuatku tegang. Biasanya Bunda selalu menyapaku dengan cengirannya atau panggilan baby boy, tapi tidak kali ini. What's wrong? Am i wrong?

Banyak pertanyaan yang berkemelut dalam pikiranku hanya karena menemukan Bunda yang tidak dalam keadaan biasanya. Kulihat Bunda berjalan anggun menghampiriku yang mematung dengan pikiranku sendiri.

PLAK!

Detik berikutnya aku merasakan panas dipipi karena tamparan Bunda.

"Bunda tidak pernah mengajari kamu jadi orang yang tidak punya tata Krama!"

Kutatap Bunda meminta penjelasan apa yang beliau ucapkan barusan. "Di... Dio salah apa Bun?." Jawabku terbata

Pipi memang terasa sakit dan panas, namun hati yang lebih memberi efek parah. Berdenyut nyeri karena tamparan Bunda. Belum pernah kulihat Bunda semarah itu. Bunda membuka tas tangannya yang terletak di sofa dengan kasar lantas melempar lembaran-lembaran kertas ke meja ruang tamu. Mataku membulat tatkala melihat lembaran-lembaran foto itu. AC ruang tamu tak pernah kurasakan sedingin ini sebelumnya.

"Bunda.. dapat semua itu darimana?."

"Duduk!" Perintah Bunda dengan napas terengah menunjuk sofa yang tidak jauh dari tempatnya duduk.

"Iya Bun.." Lantas aku mendudukan diri sambil menatap lembaran-lembaran foto itu.

"Suaminya yang mengantarkan semua itu langsung ke Bunda. Kamu tahu Dio? Bunda malu punya anak seperti kamu! Bunda malu dengan orang-orang di Butik, karena suaminya mendatangi Bunda dengan nada yang tak ramah..." Bunda menengadahkan wajahnya ke langit-langit ruang tamu lantas buliran bening membasahi pipinya.

Aku berbuat kesalahan besar. Aku melukai hati Bunda. Kutundukkan kepalaku seraya mendengar Bunda yang berbicara dengan nada yang bergetar. Hati yang berdenyut nyeri semakin terasa lebih perih.

"Sejak awal Bunda bilang kamu lepas Stella! Kamu murid, Stella guru itu sesuatu yang tak elok. Kenapa kamu enggan melakukan itu?."

"Bun.. Dio sudah lama putus dengan Ste-"

"Putus itu belum berakhir sepenuhnya! Kamu masih menemui Stella kan?"

Aku masih membeku di tempat.

Bunda lantas mengacungkan sebuah foto ke depan wajahku. "Lihat?."

Foto itu, aku ingat saat Valentine tahun lalu. Aku mengecup bibir Stella dan aku tidak tahu siapa yang memfotonya? Lantas aku menghela nafas panjang. Aku tidak mampu menjawab Bunda.

"Stella itu istri orang sekarang! terlebih dia guru di sekolah, kamu harusnya sadar itu... Bunda tahu perasaan kamu Dio.. Bunda mengerti perasaan kamu tanpa kamu harus menjelaskan panjang lebar.." Bunda berhenti sejenak "tapi kepergian Ayah kamu, itu sudah cukup buat Bunda Dio... Tolong.. Bunda Mohon.." Air mata wanita paling special dalam hidupku sebelum Stella mengalir deras dipipinya.

Ya, mendiang Ayahku yang meninggalkan kami selamanya memang sudah cukup untuk Bunda. Harusnya aku memikirkan itu juga. Tapi penyesalan selalu datang terlambat, ia tidak pernah menyapa lebih awal.

"Bunda mohon Dio.. lepas Stella sepenuhnya"

Kupenjamkan mata kuat-kuat. Tangangku tanpa sadar mengepal tegang. Udara seperti menusuk paru-paruku. Detik berikutnya aku merasakan tangan lembut melemaskan kepalan tanganku. Tangan Bunda yang lebih lembut dari bedcover favoriteku dan kain sutra termahal sedunia.

Bunda menatapku dengan lembut. Beliau paham segala macam ekspresi dan gestur tubuhku. Kurasakan sebelah tangannya membelai lembut pipiku. Sejenak memori masa kecilku menyeruak dalam penglihatanku. Aku tahu, single parent bukanlah hal yang mudah bagi Bunda.

"Anak Bunda tidak akan melukai Bunda bukan?."

Hanya Christian satu-satunya siswa SMA yang mengetahui aku dan Stella. Bunda adalah orang kedua yang tahu dengan feelingnya yang kuat sebagai seorang ibu tentang hubunganku dengan Stella dan orang yang langsung paling tidak setuju. Bunda pernah memaksaku mengenalkan Stella yang awalnya beliau tidak tahu tentang Background Stella. Tadinya Aku sudah membohongi Bunda dengan mengatakan bahwa Stella seorang Mahasiswa. Dan takdir berkata lain, Bunda tahu dengan sendirinya, mungkin karena melihat aku yang begitu memuja Stella. Bunda bukan tidak menyukai Stella, bukan juga karena profesinya sebagai guru, Bunda tidak dapat menerima posisi antara aku dan Stella yang maksudku aku adalah muridnya di sekolah. Tapi aku terus menyembunyikan Stella tanpa sepengetahuan Bunda selama satu setengah tahun. Dan itu kesalahan terbesar yang tidak dapat kukendalikan.

Detik ini aku membenci banyak takdir yang terjadi.

Aku bertekuk lutut mencium punggung tangan Bunda. Sekalipun Stella yang kucintai masih mengatakan cinta tadi siang. Aku tidak dapat menukarnya dengan air mata Bunda.

"Maafkan Dio Bun... Dio tidak mampu mengendalikan diri.. Dio salah karena mencintai Stella Bun.." Ucapku tulus pada Bunda

Lantas Bunda mencium puncak kepalaku. "Dio.. Bunda mencintai kamu melebihi Stella mencintai kamu nak."

Namun jika mencintai dan bersama Stella adalah Kebohongan terparah yang kulakukan sampai melukai Bunda. Aku tetap menyebutnya kebohongan manis dan dosa terindah.

***

.
.

Hayooo, Dio di keplak bunda..
Ah iya, aku enggak akan bosan mengingatkan kalian untuk selalu memberikan masukan atas karya ini. Karena aku tahu ini masih jauh dari kata sempurna.

So, jangan sungkan memberikan kritik, saran dan koreksi kalian kalau ada yang typo di tulisanku.

Terima kasih sudah membaca.. 😊😊

Jakarta, 03 Januari 2019
Bianne205

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro