DBS-10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di beberapa jalan yang kulalui, ada kamu di ujungnya.

Kini aku penasaran pada sesuatu.
Akankah ada kamu di titik akhir setelah aku mengelilingi dunia?
🔥

"Maaf," kata Fayre dengan wajah memerah.

Nevan membelai rahang gadis itu, tersenyum, lalu menjejalkan tisu di tangan Fayre. Sudah sejauh ini, Fayre tidak bisa lagi memakai alasan malu untuk membersihkan cairannya di hadapan Nevan. Bagusnya, laki-laki itu sama sekali tak melirik ke bagian bawah Fayre, ia hanya menatap wajah gadis di hadapannya. Setidaknya Fayre masih bisa menatap laki-laki itu walau dadanya terbakar setelah apa yang terjadi tadi.

"Kenapa minta maaf? Aku senang membantumu."

"Aku tidak akan mengulanginya. Besok-besok aku akan mengurung diri di kamar agar tidak merepotkanmu seperti tadi lagi," Fayre berkata sungguh-sungguh.

Sepertinya setelah ini ia akan membuat pengakuan dosa pada Tuhan sambil menyumpahi diri untuk tidak melakukannya lagi.

"Aku bisa melakukan hal yang lebih, asalkan kamu benar-benar menginginkannya."

Dahi Fayre mengerut. Sejenak ia teralihkan karena Nevan mengambil tisu bekas itu, lalu membantu Fayre turun.

Astaga!

Fayre mendapat perlakuan yang tidak pernah ia duga. Ia sangat suka seseorang memperhatikan hal-hal kecil untuk dirinya.

"Jangan khawatir, aku tahu yang barusan hanyalah hiburan. Untuk itu aku tidak mencuri kesempatan. Tapi," Nevan tersenyum dan mencondongkan wajah, "aku akan melakukannya jika kamu mau dan hubungan di antara kita benar-benar jelas."

Perasaan Fayre campur aduk saat ini. Nevan sangat pandai membuat Fayre lupa diri dan merasa tidak bersalah setelah memanfaatkan laki-laki itu barusan. Namun, Fayre tahu bahwa apa yang Nevan katakan tidak akan terjadi. Setelah ini pun gadis itu akan berusaha untuk tidak berinteraksi lagi dengan Nevan. Semua hal yang terjadi di antara ia dan Nevan selalu saja tidak terduga dan Fayre merasa itu adalah sesuatu yang harus dihentikan.

"Maaf mengecewakan. Tapi aku merasa sangat cukup dengan yang tadi."

Karena Nevan lebih tinggi dari Fayre, gadis itu harus berjinjit saat memberikan sebuah kecupan di rahang.

"Terima kasih."

Fayre berlalu ke kamar Nevan untuk membersihkan diri, sedangkan Nevan memegangi rahangnya dengan senyum mengembang perlahan. Ia makin tertarik dengan gadis itu.

Gadis itu belum kembali saat ponsel dari dalam tasnya berdering. Nevan hanya menatap tas hitam itu, lalu menyibukkan diri dengan ponsel. Ketika Fayre muncul, ponselnya berdering lagi. Dan Nevan hanya diam ketika gadis berkemeja putih itu menjawab panggilan seseorang.

"Aku tidak ada di rumah, Rainer."

"Sekarang sedang hujan dan kamu berkeliaran?"

"Ayolah, aku sudah dewasa."

Fayre mengambil posisi duduk di sebelah Nevan, terlihat santai saat ia mulai menikmatinya, lalu memberi acungan jempol pada laki-laki itu. Lagi, Nevan tersenyum melihat Fayre.

"Di mana? Aku akan mencarimu. Kamu sudah makan?"

"Aku sedang makan."

"Dengan siapa?"

"Astaga, Rainer. Jangan terlalu sensitif pada kehidupanku. Urusi saja kekasihmu dan temannya itu."

"Aku sudah mengakhiri hubungan dengannya, Liam juga. Dan Fayre, aku berhak mengkhawatirkanmu setelah pernikahan itu batal."

Kunyahan Fayre tiba-tiba terhenti, begitu juga dengan Nevan yang senyumnya perlahan pudar. Ia tidak bermaksud menguping, tetapi Fayre yang menggunakan telinga kiri dan volume ponselnya yang belum dikecilkan membuat laki-laki itu dapat mendengar percakapan tersebut. Sejenak Fayre menoleh pada Nevan, ia menatap canggung karena yakin apa yang Rainer bicarakan terdengar. Fayre lalu memindahkan ponsel ke telinga kanannya, mengantisipasi agar kejadian barusan tidak terulang.

"Rainer, aku berterima kasih atas semua perhatianmu, tapi jangan berlebihan. Apakah kamu putus dari Celine karena aku? Itu sangat berlebihan, Rainer. Aku seperti ikut campur dalam urusan pribadimu."

"Itu hanya salah satunya. Aku hanya sudah bosan dengannya dan Liam juga sudah tidak tertarik dengan Jennie. Sekarang cepat katakan kamu ada di mana, aku dan Liam akan ke sana."

Hujan masih turun dan Fayre tidak ingin ke mobilnya lalu harus kembali kedinginan untuk saat ini. Bukan juga maksudnya bermalam di rumah Nevan, setidaknya hanya sampai hujan reda saja ia akan tinggal.

"Aku ada di rumah temanku."

"Lexa?"

"Bukan."

"Noah?"

"Bukan."

"Jangan berbelit-belit, Fayre. Kamu dengan siapa?  Bukan dengan bajingan itu, 'kan?"

Ketika melirik Nevan, Fayre menemukan laki-laki itu tengah menahan senyum, seolah-olah paham situasi yang Fayre hadapi saat ini.

"Dengan seseorang. Dia baik, tidak menyebalkan, dan tidak akan macam-macam denganku. Puas?"

"Kamu sudah berkencan dengan seseorang? Jawab aku, Fayre."

Namun, gadis itu memutuskan sambungan, ia lelah mendengar suara Rainer, nafsu makannya bisa-bisa terganggu jika terus ditanya-tanya. Dan hal penting lainnya, Nevan bisa jadi merasa tidak senang karena Fayre sibuk sendiri. Fayre akan dicap sebagai tamu yang paling tidak tahu diri kalau begitu.

"Maaf karena sangat berisik."

"Kakakmu, ya?"

Gadis itu mengangguk karena sedang mengunyah.

"Salah satu yang saat itu masuk ke kamar hotelmu?"

Fayre hampir melupakan momen itu, di mana ketika Nevan lewat sewaktu Rainer dan Liam datang ke kamar hotelnya.

"Mereka berdua kakakku."

"Yang datang menenangkan adiknya setelah gagal menikah."

Fayre tertawa kecil, menanggapi santai ucapan Nevan yang memang benar. Lalu ia teringat sesuatu hingga tanpa sadar menjatuhkan garpu.

"Bagaimana kamu bisa tahu aku gagal menikah saat itu?"

"Itu hanya tebakanku. Wajahmu malam itu sangat mudah dibaca oleh siapa pun. Paginya pun kamu masih terlihat kacau."

Ucapan Nevan ada benarnya. Setelah menangis berjam-jam tentu saja wajah Fayre sangat kusut. Gadis itu meringis pelan, baru menyadari pertemuan pertama dengan laki-laki ini sepertinya meninggalkan kesan yang buruk.

"Mobilku masih ada di depan rumahmu. Bisakah kamu mengantarku dengan payung agar tidak kehujanan?"

Setelah makanannya habis dan menunggu selama lima belas menit, hujan belum juga reda. Ia sudah rindu pada ranjang dan ingin membungkus diri dengan selimut. Saat ini dingin mulai mempengaruhi Fayre, salah satu alasan ia ingin segera pulang sebelum mengambil kesempatan dari Nevan lagi.

"Tinggallah lebih lama."

Laki-laki itu mengambil sebotol wine dari rak khusus alkohol. Ia juga mengambil dua buah gelas dan meletakkan di hadapan Fayre yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Sebelum mulai menuang minuman, Nevan pergi ke kamarnya dan kembali dengan sebuah selimut cukup tebal.

"Ini akan menghangatkanmu."

Paha dingin Fayre seketika merasa lebih nyaman saat Nevan menutupi sebagian tubuh gadis itu. Fayre senang atas perhatian Nevan, sekaligus merasa bimbang karena ia jadi semakin memikirkan hal-hal terlarang. Sepertinya ia akan pulang setelah menghabiskan isi gelasnya. Namun, lagi-lagi Nevan menahannya. Mereka hanya saling tatap, menikmati minuman itu tanpa suara, sampai akhirnya Fayre setengah mabuk dan mulai meracau.

"Aku pasti sangat murahan di matamu."

Nevan tersenyum geli mendengarnya.

"Masih ada yang langsung naik ke ranjangku. Yang tadi itu bukan apa-apa untukku."

"Benarkah? Aku jadi bersyukur."

Mata sayu Fayre, bibirnya yang merah alami, dan jemari lentiknya tak terlepas dari perhatian Nevan sejak tadi. Laki-laki itu enggan mengizinkan Fayre pulang terlalu cepat karena ia masih ingin menikmati keindahan sosok Fayre. Gadis yang cantik, pemberani, sekaligus rapuh di mata Nevan.

"Bagaimana aku di matamu?" tanya Nevan coba-coba.

Ada banyak orang yang ketika mabuk baru bisa mengungkapkan isi hati. Kali ini Nevan ingin mencari tahu apakah Fayre memiliki sisi itu. Akan jadi lebih menarik jika Nevan mengetahui bahwa Fayre memiliki sedikit saja ketertarikan padanya.

"Kamu tampan. Sayang saja aku sudah tidak ingin menikah."

"Bukankah kita bisa berteman dulu? Menjadi kekasih, menghabiskan waktu berdua sebelum memutuskan untuk menikah."

Tiba-tiba saja Fayre tertawa kecil. Nevan membantu Fayre menuang wine untuk gelasnya yang sudah kosong dan kembali menatap gadis itu dengan saksama.

"Aku tidak ingin terluka, lalu patah lagi. Kamu tahu? Sebenarnya aku sangat hancur saat itu, bahkan aku melakukan kegilaan tadi demi menjaga pikiranku agar tidak mengingat si berengsek itu."

Patah hati, tentu Nevan juga tahu rasanya. Ia bahkan dikhianati oleh seseorang yang ia ajak bersumpah sehidup semati di hadapan Tuhan. Walau begitu, Nevan tidak membekukan hatinya, ia terbuka pada hati dan cinta yang ada di sekitarnya. Dan Fayre adalah gadis pertama yang membuat perhatian Nevan tercuri. Bagaimana gadis itu berteriak di pantai membuat Nevan seperti berkaca pada diri sendiri ketika berada di posisi yang sama.

"Menikah itu menyenangkan."

"Jangan konyol. Kamu saja dikhianati."

"Ke depannya belum tentu itu akan terjadi lagi."

"Dan aku tidak mau mengambil resiko itu."

Melihat Fayre yang susah kesusahan untuk membuka mata, Nevan memilih mengakhiri topik mereka. Keadaan gadis itu sudah terlalu kacau untuk dibiarkan pulang, satu-satunya pilihan terbaik adalah membiarkannya menginap. Fayre akan meneguk minumannya, tetapi tangannya tidak bisa memegang gelas dengan benar sehingga kemeja putih itu ketumpahan. Dada Fayre seketika teecetak dengan jelas, membuat Nevan menundukkan wajah sejenak demi menenangkan pikiran.

Ternyata membiarkan gadis itu tetap ada di rumahnya adalah cobaan.

"Kamu sudah sangat mabuk. Berhentilah minum."

Gelas kosong yang Fayre goyang-goyangkan itu diambil oleh Nevan. Ia mengangkat tubuh Fayre yang tidak memberi perlawanan sama sekali, malahan gadis itu merangkul leher Nevan dengan erat. Laki-laki itu menghela napas panjang ketika menghadapi cobaan selanjutnya; mengganti kemeja Fayre. Jika tidak diganti, Fayre akan tidur sambil kedinginan, dan Nevan sama sekali tidak menginginkannya.

Setelah susah payah berusaha tidak melihat apa-apa, Nevan menghela napas panjang menatap Fayre yang sudah tertidur pulas. Ia akan pergi ke kamar tamu, tetapi Fayre yang tiba-tiba terjaga menarik tangan laki-laki itu, membuat Nevan terjatuh di atas tubuh Fayre.

"Kamu mau ke mana? Jangan pergi. Aku ingin tidur bersamamu," rengek gadis itu, sebelum kembali menutup mata.

Nevan tertawa kecil dan ... mengabulkan keinginan Fayre.

🌼

Begitu kesadaran menghampirinya, Fayre seketika merasakan pusing luar biasa. Ia ingat minum sangat banyak semalam, tetapi ia lupa bagaimana bisa sampai ke kamarnya.

Kamar. Mendadak Fayre melotot saat menatap plafon kamar yang asing baginya. Kamar itu bernuansa putih, sedangkan kamar Fayre dipenuhi warna-warna nude. Gadis itu ingin berpikir bahwa ia masih bermimpi. Namun, merasakan kehangatan di sekitarnya dan embusan napas seseorang di ubun-ubunnya, Fayre memejamkan mata, merutuk dalam hati kesalahan apa yang ia buat semalam. Ia menoleh perlahan ke sisi kiri, Nevan ada di sana, masih terlelap. Fayre tidak ingat sedikit pun bagaimana ia bisa menjadikan lengan Nevan sebagai bantal, atau bagaimana kemeja putihnya terganti menjadi hitam. Apakah mereka berbuat sesuatu semalam? Apakah ia menggila ketika tidak sadar? Kepala Fayre makin sakit memikirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Alih-alih panik dengan langsung turun dari ranjang, gadis itu malah memiringkan tubuh untuk menatap wajah Nevan lebih jelas. Laki-laki itu memang tampan dan membuat Fayre selalu senang karena beberapa disiapkan makanan. Selain itu, ia juga seksi, tetapi Fayre tahu harus segera menghentikan kegilaannya. Sebagai tanda terima kasih, Fayre mengecup bibir Nevan, lalu meninggalkan laki-laki itu untuk bersiap pergi kerja.

Fayre menghabiskan waktu cukup lama di kamar mandinya untuk meringankan pusing. Untung saja ia terbangun di jam seperti biasa walaupun semalam mabuk berat. Saat ini ia juga sedang berpikir apa yang bisa ia beri sebagai permintaan maaf pada Nevan karena sudah menyeret laki-laki itu untuk dijadikan pelarian.

Gadis itu enggan memeriksa ponselnya karena tahu ada beberapa orang yang pasti sejak semalam membabi buta menanyakan keberadaannya. Akan ia hubungi kakak dan sahabatnya nanti saja di jam makan siang.

Suara gaduh yang tiba-tiba membuat Fayre buru-buru menyelesaikan polesan di lipstiknya. Ia sangat yakin suara itu berasal dari rumahnya. Gadis itu menuruni anak tangga dan suara gaduh itu kembali terdengar. Lalu suara kaca yang pecah di lantai atas membuat Fayre cukup gelisah. Ia membuka pintu dan semakin dekat pada orang yang berdiri di luar gerbang itu. Fayre syok dan membekap mulut ketika melihat Jennie dan Celine berdiri dengan membawa batu-batu besar. Mereka yang melempari rumah Fayre.

"Astaga! Apakah kalian sudah gila?!"

Fayre berteriak agar dua gadis itu berhenti menggila.

"Kamu yang membuat kami seperti ini! Gara-gara kamu hubungan kami berakhir."

Fayre berdecak dan berniat mendekati Jennie untuk membuang batu-batu tersebut. Nahas, Fayre malah terkena batu yang baru saja dilempar Celine. Darah seketika mengucur dari pelipis Fayre dan Jennie sangat terkejut melihatnya.

"Celine, kamu melukainya!" teriak Jennie dan seketika membuang dua batu di tangannya tadi.

"Bukankah ini yang kita inginkan? Aku sudah muak padanya."

Kondisi Fayre yang belum sepenuhnya stabil dari pengar dan kini kehilangan darah cukup banyak membuatnya bersedia meladeni permainan Celine. Fayre tersenyum walau sedikit merintih, membuat Jennie bergidik dan menyesal sudah membuat kekacauan di sana.

"Kamu sudah membangkitkan kegilaanku, Celine. Kamu tahu kalau Rainer sangat menyayangiku? Kira-kira apa yang akan dia lakukan jika tahu adiknya terluka?"

"Apa yang bisa dia lakukan? Kami sudah berakhir dan aku bisa berlindung pada keluargaku."

Fayre yang tengah mencari nama Rainer di daftar kontak ponselnya tiba-tiba tertawa. Rupanya Celine belum mengenal Rainer sepenuhnya.

"Aku akan menghubunginya."

"Aku tidak takut."

"Celine, sebaiknya kita pergi dari sini," ajak Jennie yang khawatir.

Sesuai yang Fayre harapkan, Rainer sangat cepat menjawab panggilan. Kakaknya itu sudah pasti menunggu dan siap siaga sejak semalam jika Fayre menghubungi.

"Kamu di—"

"Dengarkan aku dulu sebelum kamu memulai ceramah. Celine dan Jennie ada di depan rumahku."

"Apa yang mereka lakukan?"

"Mereka melempari rumahku dengan batu. Dan Celine, membuatku pusing karena kehilangan cukup banyak darah. Rainer, aku terluka."

Nada Fayre sengaja direndahkan, menggali lebih banyak rasa simpati dan amarah Rainer. Bahkan Celine turut merasakan bahwa Fayre memang berencana melakukan itu.

"Sialan dia. Tunggu aku, Fayre."

Begitu panggilan berakhir, senyum Fayre kembali muncul. Dua gadis itu segera masuk ke mobil mereka karena yakin Rainer memang akan datang dengan murka luar biasa. Dan Fayre hanya menatap kepergian pengacau itu dengan tatapan yang semakin memburam. Ia sudah tidak tahan lagi pada rasa sakit itu dan Fayre pasrah jika terjatuh sebelum berhasil mencapai kamarnya.

Di situasi terburuknya itu, ketika Fayre percaya tak akan ada seseorang di sisinya, ternyata ia keliru. Dari kejauhan seseorang berteriak-teriak menyebut namanya sambil berlari kencang, berusaha menangkap tubuh yang sebentar lagi akan rubuh itu.

"Elle, sadarlah. Aku akan segera membawamu ke rumah sakit."

Laki-laki itu mengangkat tubuh Fayre dan membawanya ke mobil gadis tersebut. Kunci yang masih ada pada tempatnya itu membuat Nevan bersyukur tidak perlu membuang waktu lagi untuk memberikan penanganan medis pada Fayre.

Mata gadis itu sedikit terbuka. Ia menatap ke sisi kanannya, lalu tertawa kecil yang membuat Nevan sedikit terkejut ketika menyetir.

"Kamu lagi, ya? Kenapa selalu kamu?"

"Mungkin karena Tuhan yang memilihku untukmu," sahut Nevan, berusaha tenang walau sesungguhnya ia panik melihat Fayre terluka.

Ia tidak ingin hal buruk terjadi lagi pada Fayre.

To be continued

Next chapter Rainer murka gais. Ingat scene Darel x Rosela? Ya kira-kira gitulah 🥴

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro