What belong to her

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng









"Aku perlu adaptasi."

"Sudah dua tahun di Athaholland masih butuh adaptasi? Adaptasi dari apa tepatnya?"

Yang di ajak bicara berusaha untuk tidak terdiam sambil memutar bola matanya dengan malas. Tanganya di buat sibuk dengan mengengam garpu dan pisau berbalut peran untuk memotong sandwich lapis daging yang menjadi menu sarapan andalan kali ini, telur mata sapi serta beberapa buah apel yang sudah di iris menjadi menu tambahan pelengkap.

Topik pembicaraan pagi ini sungguh berat, membahas soal pernikahaan Diana yang terundur dua tahun lamanya. Perempuan itu sudah tahu bahwa hari ini adalah hari yang berat setelah ia meninggalkan Seorang Viscount Zactoon di pertemuan kencan buta mereka, perjodohan hasil dari rencana ibunya sendiri.

Diana membuka mulutnya sedikit, "aku hanya belum menemukan yang pas?" Jawabnya dengan pelan, takut jawabanya memicu kemarahan ayahnya di pagi hari.

Ibunya melirik ke arahnya dengan tatapan putus asa. "Kalau begitu coba berkenalan dengan Leon. Mumpung ia baru datang dengan keluarganya minggu lalu."

Ayahnya menoleh kepada istrinya, tatapnya tidak suka sedikit marah sehingga alis tebalnya mengkerut. "Jangan keluarga itu."

Ibunya kini yang melemparkan tatapan bingungnya. "Kenapa? Dari background nya cocok dengan putri kita, sama sama seorang duke. Ketua Jendral ekpansi ke Athaholland yang baru."

Ayahnya menoleh pada Diana dengan tatapan sayunya, tanganya yang sedang menyuap sandwich nya kini ia biarkan tidak melakukan apa apa selain bertaut untuk menghilangkan kekhawatiranya. "Ayah rasa, Diana akan lebih baik jika menikah dari saudagar kaya, tidak dengan pria berasal tentara ataupun kepolisian." Ujar ayahnya

Lizzie yang sedari tadi diam mendadak ikut bersuara. "Mengapa? Jika suaminya meninggal di medan perang itu bukanya bagus? Seluruh harta dan warisan akan di kuasai oleh Diana."

Hal ini memicu gelak tawa pada ibu, diana bahkan saudara pria tertua mereka di meja makan. Pemikiran lizzie si bungsu terlalu realistis dan dewasa, memang benar sih tapi tetap saja hal seperti itu lucu jika di lontarkan pada anak perempuan berumur 14 tahun.

"Lizz, lebih baik kamu fokus saja dengan kelas menyulam." Tegur Dean, si sulung.

Lizzie mengertakan tanganya marah, "aku ini paling hebat di kelas! Semuanya memujiku tahu!" Lizzie sepertinya salah paham atas ucapan kakaknya barusan, ia mengambil hal itu sebagai ejekan.

Dean menyipitkan matanya, mengingat ngingat hasil sulaman lizzie yang tidak jauh dari sekumpulan benang kusut.

"Mereka begitu karena nama belakangmu, penjilat." Diana menyuarakan pikiranya, sesama perempuan yang bergaul dalam lingkaran sosial, ia tahu cara merayu yang kasta sosialnya berada di atasnya.

Lizzie menurunkan alisnya dengan sedih, pundaknya ikut merosot serta kesenanganya sedikit turun. "Benarkah? Mom?" tanyanya

Ibunya tersenyum dengan penuh kehangatan. "Itu hal basic sayang dalam diantara perempuan."

Diana kerap mengunakan cara itu jika ia masih di Costaguana, ada banyak duke dan empress yang satu meja lingkaran sosial denganya. Namun sejak pindah kemari, yang diana harus tunduk adalah keluarga Jendral ekpedisi, sisanya para bangsawan lainya yang harus menunduk pada diana.

"Lizzie kereta kuda mu sudah sampai," Sang Ayah membuka topik baru setelah matanya menangkap suara kuda serta hadirnya kepala pelayan dalam ruang makan.

Hal ini seperti Alarm bagi mereka untuk menghabiskan sarapanya segera atau meninggalkan sarapanya, lalu kembali berpindah pada kegiatan berikutnya masing masing. Sang Ayah pergi ke batalyon untuk bekerja, si sulung juga akan menuju kantor pusat untuk mengurus data data kepindahanya, ibu akan membali sibuk mengatur rumah dan beberapa aspek bisnis keluarga. Hanya Diana sendiri yang menggeret gaun putih dan biru mudanya untuk bergegas ke halaman belakang, menuju kandang kuda milik dirinya.

Sebelum benar benar meninggalkan meja makan diana mengambil beberapa buah untuk ia berikan kepada kuda hitam miliknya, ia juga mengambil 3 balok gula untuk snack pemanis peliharaanya.

Para pelayan melakukan tugasnya untuk segera membereskan meja makan, diana buru buru untuk segera melanjutkan aktifitasnya hingga ibunya menahan lenganya dengan cengkraman kuat.

"Diana, ada pertemuan siang ini. Jangan lupa ini sangat penting, istri jendral yang baru sampai mengundang resmi kita berdua pada acara minum teh miliknya." Ibunya menahan lenganya untuk memastikan putrinya mendengar hal ini dengan jelas.

Diana memicngkan matanya curiga. "Aku akan datang jika tidak ada perjodohan."

Ibunya menganguk, "ibu tidak pernah melawan ucapan ayahmu. Ayahmu tidak suka pada keluarga jendral." ujarnya

Diana menghela nafasnya panjang, ia sepertinya harus berterima kasih kepada ayahnya, berkat entah mengapa ketidaksukaan ayahnya itu membuat dirinya lolos dari perjodohan yang saling menguntungkan, presentasi berhasil tinggi dan diana juga belum tentu berani untuk melawan kelurga itu.

"Diana, katakan pada ibu mengapa dan apa alasanya."

Perempuan paruh baya dengan mata biru pudat itu memiliki rambut pirang terang yang di gelung rapih, hidung ramping yang mancung dengan indah, bibir merona yang di poles okeh pewarna berkualitas. Ibunya adalah wanita paling cantik fisik serta hati yang diana pernah temui, sifatnya penyabar serta mudah memahami perasaan orang orang ini adalah idola diana sejak kecil. Ibunya adalah wanita yang penyayang.

Ibunya mewariskan seluruh penampilanya pada Dean, kakak laki-laki sulungnya yang gemar di puja puja oleh banyak wanita. Walau begitu tidak menutup memungkinkan Diana dan Lizzie dapat gen indah pada visual miliknya. Diana terlalu mencolok, gen miliknya terlalu indah, tampilanya terlalu lebih dari kata anggun dan cantik. Hal ini juga yang membuat orang bertanya tanya, mengapa gadis kaya raya jelita ini memilih untuk tetap sendiri.

Diana menikmati ketika tangan ibunya meraup pipinya penuh kasih sayang, mata mereka yang memiliki warna biru pudar saling menatap sedalam satu sama lain.

"Aku hanya belum menemukanya," diana menjawab.

"Kamu tidak pernah bisa menemukanya, putriku. Kamu hanya bisa membuatnya dialah orangnya." Ibunya berkata dengan lembut dan berayun ayun. Jari jari lentiknya merapihkan rambut diana yang bewarna pirang gelap, ibunya memandang putrinya dengan hangat, ia mencoba mengerti tindakan putrinya.

Akibat kelalaian Deanor pula lah yang membuat Diana mungkin menunda pernikahaanya. Gadis cantik yang lahir sebagai putrinya ini sejak kecil harus melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat, kerasnya hidup sebagai duke di negara besar membuat apa saja musuh lakukan untuk membuat keluarga mereka lemah.

"Kamu gadis yang cantik, kamu tahu kan? Kamu bisa memilih siapa saja yang kamu suka." Ibunya berbisik. "Tidak kaya juga tidak apa," lanjutnya

Diana menganguk dengan senyuman bangganya. "Aku tahu ada puluhan pria yang jatuh cinta padaku, bukan? Ibu sepertinya kerepotan untuk memenuhi janji para ibu dengan anak laki laki ya."

Deanor tertawa mendengar ucapan percaya diri putrinya. "Tidak begitu merepotkan, tapi melelahkan mendengar pemaksaan mereka untuk segera membuatkan jadwal kamu dan anaknya."

Kedua perempuan itu memberi jarak untuk menyamankan tubuh mereka berbincang pada pintu rumah mereka yang masih terbuka, selepas mengantar kepergian tiga anggota keluarga lainya dengan kereta kuda yang dimiliki masing masing seluruhnya.

"Katakan, bagaimana tipe pria yang kau suka?" Desak ibunya

Putri pertama keluarga duke itu menepuk nepuk gaun birunya, ia juga sedikit merapihkan renda putih indah pada kerahnya. "Mom, untuk saat ini aku sedang berfokus pada pengelolaan bisnis padi keluarga kita dahulu, aku akan memikirkan hal ini nanti"

"Diana putri duke the ingrid, cepat pikirkan hal itu sebab ibu sudah menerima surat dari nenekmu untuk kembali mengirimu ke costaguana jika masih tetap seperti ini saat bulan depan."

______

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro