VII. | Raina

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sharon tertegun. Dua pilihan itu terngiang di benaknya seakan otaknya berubah menjadi ruang gema.

Dia masih bergelut dalam pikirannya dengan kesempatan di hadapan mata. Mungkin saja Nadia ini ingin memanfaatkannya, dan Celia hanya sekedar membantu agar Nadia nantinya punya seorang budak untuk disuruh-suruh. Mereka bisa saja berbohong soal mereka tidak pernah kenal sebelumnya, dan ternyata kenyataannya mereka tidak berbeda dengan bangsawan-bangsawan yang disebut Nadia tengik.

Nadia yang mengetuk-ngetuk lengan kursi itu seperti tidak sabaran menunggu Sharon yang tertunduk diam, tapi dia tidak melayangkan komentar culasnya atau mengganggu Sharon dari fokusnya.

Sebentar lagi, acara di panggung akan dimulai lagi untuk bagian terakhir. Sharon harus segera menjawab sebelum dia kehabisan waktu.

Belum terlambat baginya untuk segera berlari pergi. Mungkin dia bisa mencari Si Cingkrang dan bilang kalau dia nyasar dan hampir ditipu bangsawan. Sharon masih bisa kembali ke kehidupan lamanya dan melupakan kenyataan ada tawaran menggiurkan ini ditolaknya.

Tapi Sharon mengingat lagi sudah kerap kali dia melihat teman-teman sejawatnya ditipu. Bahkan Si Cingkrang tadi juga hitungannya dibuali, terbuai oleh iming-iming uang cepat dengan menjual tubuh mereka yang bahkan belum dewasa itu untuk mereka yang bersedia membuang uang demi kesenangan.

Akan tetapi—

"Apa, kamu masih punya teman di jalanan?" nada Nadia sedikit ketus, lagi itu bagaimana NAdia berbicara. Dia selalu bisa menebak, atau berkata dengan gaya yang tajam menusuk.

Teman? Entahlah. Kalau di jalanan, rasanya lebih baik bersama daripada sendirian. Memang tidak semua bisa dipercaya, ada juga mereka yang seperti Si Besar yang mau enaknya sendiri, atau Si Cingkrang yang bisa kabur tanpa peduli. Sampai detik ini, Sharon bahkan tidak melihat Si Cingkrang berusaha mencari Sharon, dia malah menyelamatkan bokongnya sendiri, entah dia akan bilang apa nanti ke yang lain ketika tahu mereka hampir saja dijual ke rumah bordil.

Kalau begitu, kenapa dia peduli dengan nasib mereka sekarang? Mereka juga tidak akan bisa memberikan Sharon tempat layak, pekerjaan, atau opsi yang terbilang 'baik' dan dapat 'menjamin' masa depannya.

Bisakah Sharon mempercayai Nadia dan Celia? Bisakah Sharon menaruh harapnya pada dua gadis sebayanya yang bahkan belum genap sehari dia temui.

Sharon mengulum bibir, tetap tertunduk bahkan ketika tirai panggung kembali dibuka. Para pemeran telah berganti baju. Latar belakang panggung pun telah berubah. Musik-musik pendamping mulai bersua lagi, memberikan kehidupan bagi kisah akhir di penghujung malam. Cerita di panggung itu sebentar lagi menuju klimaksnya, dan Sharon masih saja menimbang dua kemungkinan yang jelas berat sebelah.

Kalau dia kembali ke jalanan, toh yang bisa menyelamatkannya hanya dirinya sendiri lagi. Informasi sekedar batu loncatan untuk dirinya mencari kerja, tidak kurang dan tidak lebih. Kalau ada yang tiba-tiba mati, atau bahkan hilang, atau mungkin diculik, tidak akan ada yang peduli.

Kalau dia menerima tawaran ini tanpa berpikir panjang, dia bisa saja sudah masuk ke perangkap. Bangsawan seperti Nadia selalu membutuhkan banyak pesuruh yang diupah murah, apalagi mengingat dia kecil dan tidak terlalu bisa membaca banyak. Nadia juga terdengar dari keluarga terpandang, dan Celia yang biasa-biasa saja pun tampak berkecukupan walau katanya dia berasal dari keluarga peternak.

Apa, apa, dia harus apa!? Dia harus pilih yang mana!?

"Sharon-ku." Celia mengecilkan suaranya sembari seorang penyanyi laki-laki mulai berdansa sambil merayu seorang gadis dengan suaranya yang riang dan setangkai mawar di tangan. Nadia tidak mengomentari saat Celia mulai berbicara. "Kalau kamu tidak ingin percaya pada kami, tidak apa-apa. Apa pun pilihanmu, kamu yang tanggung jawab. Kamu yang mengalami."

"Kamu bisa kalimat sulit juga, ya, anak peternak." imbuh Nadia.

"Haha, aku hanya mengulang kata-kata nenek kalau aku mulai bingung antara minta disuruh kerja di ladang atau kerja di kandang ..." Celia terkekeh. "Kalau di ladang, bisa digigit serangga, atau kakiku penuh lumpur. Tapi kalau kerja di kandang, aku bisa ditendang kuda atau tidak sengaja menginjak kotoran sapi."

"Perbandingan yang aneh tapi aku tidak tahu apa itu sepadan atau tidak. Ah, tapi itu sepertinya petuah yang bijaksana, seperti bagaimana sang raja di cerita ini."

"Raja?"

"Iya, raja itu."

Nadia menunjuk seorang tua dengan janggut panjang yang berpakaian paling rapi dari semua pemeran pria. Mahkota emas bertengger di kepalanya dan tidak jatuh ketika dia mulai bergerak heboh nan hiperbolik menanggapi sang pria yang hendak melamar putrinya yang menyamar jadi rakyat jelata. Sang pria mulai terkaget-kaget mendengar bahwa gadis yang disukainya ternyata bergelimang harta. Beberapa pucuk pikiran penuh dusta pun mulai menghinggapi pikirannya.

Saat itu, Sharon tidak mengerti soal cerita itu, tapi kurang lebih si pentas akhir itu menunjukkan kearifan sang raja.

Raja itu memberi si pria pilihan, menikahi putrinya walau harus hidup menderita karena kutukan si putri, atau memilih mengganti kesempatan itu dengan emas berlian. Itu adalah cara sang raja melihat apakah sang pria pantas untuk putrinya atau tidak, kata Nadia. Dia tidak keberatan kehilangan harta untuk sekedar mengetes pria yang mendatangi putrinya. Dia ingin tahu pria itu mencintai sang putri dengan segala kekurangannya, atau sekedar hanya tertipu apa yang ada di depan mata.

Sharon tertegun. Dua pilihannya masing-masing tidak tampak efeknya di masa sekarang, atau berefek langsung dirasakan. Kembali ke kehidupan normalnya mungkin adalah pilihan yang tepat, tidak akan ada yang aneh-aneh terjadi padanya. Dia hanya akan menetap di Asteria sampai waktunya pergi, dan dia akan melanglang buana ke tempat lain, melakukan hal yang sama, mencuri, bekerja, sampai dia perlu pergi lagi atau diusir dari kota itu. Siklus yang akan terjadi terus-menerus tapi merupakan medan yang sudah sering dilewati Sharon.

Kalau dia turut pada tawaran Nadia, Sharon harus mencari cara untuk bisa tinggal di Asteria, karena tawaran Nadia sebatas mencarikan Sharon kesempatan berupa pekerjaan dan wadah untuk menyalurkan sihirnya. Pekerjaan dan wadah itu belum tentu ada. Pekerjaan dan wadah itu bisa saja sekedar bujuk rayuan semata. Pekerjaan dan wadah itu bisa saja cuma kelebihan yang digunakan Nadia untuk menutupi kekurangan yang nantinya membebani Sharon.

Bagaimana cara dia bisa jadi sebijaksana raja dalam waktu singkat? Tadi kata Celia, dia tidak perlu memercayai mereka berdua, apa artinya dia bisa saja ikut mereka dan memilih untuk pergi ketika semua sudah mustahil baginya?

"... Baiklah," ucap Sharon dengan berat hati. "Aku akan mencari cara untuk tinggal di Asteria."

Nadia nyengir, "Nah, gitu dong, semangat."

"Sekarang kita nonton dulu, yuk, itu kasian si pria malah tiba-tiba ajak rajanya duel pedang untuk menunjukkan cintanya ke si putri." Celia menjulurkan kepalanya. "Tunggu, pria tadi ternyata wanita?"

"Apa!?"



Cosmo Ostina adalah satu dari banyak akademi tingkat lanjutan di Aira karena sihir yang menjamur, tapi semua percaya kalau hanya Cosmo Ostina yang dapat melahirkan mereka yang terbaik dari yang terbaik.

Pada akhirnya, Cosmo Ostina pun dianggap sebagai poros Aira. Dengan tes masuknya yang ketat dan proses penerimaannya yang cukup sulit, Cosmo Ostina selama ratusan tahun lamanya sudah menelurkan banyak penyihir berintegritas yang nantinya terus mengembangkan Aira dan membuat Aira semakin kuat.

Aira memang bukan Angia yang dikenal dengan militernya. Aira juga bukan benua melek teknologi seperti Kaldera. Aira pun bukan Pusara dengan segala trik mereka untuk mengelabui kehidupan dan kematian. Hidup di Aira sama dengan memberi kehidupan dan definisi pada sihir itu sendiri.

'Semua orang bisa menggunakan sihir di Aira', Sharon tahu itu hal yang benar. 'Lagi, hanya orang kaya saja yang bisa mengenyam pendidikan sihir.'

Pahamnya tidak pernah berubah walau tahun-tahun telah berlalu sejak itu, bahkan ketika dia menjadi satu dari segelintir mereka yang berhasil mendaki 'jalur' sempit untuk mendapat pendidikan sihir dan tidak lagi menjadi Anomali.

Tahun ini adalah tahun terakhir bagi mereka, Kelompok Studi Avalon, untuk memenuhi tugas akhir mereka di bawah pengampuan Profesor Sihir Freya Nadir Romania setelah tiga tahun masa uji.

.

Mereka menggunakan portal teleportasi yang ada di Hutan Penyihir untuk segera sampai di wilayah utama kampus.

Kastil tua menjulang yang terdiri dari bata-bata yang seluruhnya sudah diperkuat oleh sihir adalah gedung utama Cosmo Ostina. Beberapa gedung di sayap kanan dan kiri dari gedung utama merupakan gedung yang lebih baru yang dibangun dengan gaya arsitektur klasik-postmodern. Sharon kurang mengerti maksudnya apa, tapi sepertinya itu merujuk pada komposisi bangunan yang masih berupa bata namun dengan gaya gedung yang cenderung tanpa atap layaknya benteng.

Saat mereka sampai, pemandangan pertama yang mereka lihat, selain para mahasiswa dengan seragam sama seperti mereka, blazer hitam dengan garis-garis biru dan tepian biru, juga jubah hitam yang di belakangnya tersemat logo Cosmo Ostina yang menyerupai naga air, buku, dan 'tetesan pertama Nymph'. Soal celana atau rok, itu terserah saja bagi para mahasiswa untuk memilih mengenakan apa karena tidak dibatasi oleh gender. Nadia lebih senang menggunakan rok, Celia memilih memakai celana, dan Sharon turut dalam tim rok.

Nadia menunjuk ke arah area administrasi, bilang kalau ingin mengambil kartu laporan mereka.

Kartu laporan itu adalah semacam rapor yang menerangkan seluruh kegiatan mereka selama satu tahun, beserta catatan dari dosen dan catatan dari pihak akademik yang biasanya memberikan saran bagi tiap mahasiswa, atau mengingatkan kalau mereka lemah di bidang tertentu.

Pendidikan di Cosmo Ostina bisa dibilang cukup bebas, menyesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan murid, terkecuali mereka yang ingin menjadi pengajar atau ilmuwan sihir.

Ada tiga kelompok besar mata ajar di sana, Teori Sihir, Aplikasi Sihir, dan Kelas Terapan. 

Teori Sihir, sesuai namanya, adalah seputar sihir secara kontekstual, berikut juga sejarah, dan segala percabangan sihir yang sudah didokumentasikan baik itu berupa buku atau menjadi sebuah teknik. Aplikasi Sihir cenderung untuk mereka yang ingin membuka usaha di bidang sihir tertentu yang membutuhkan keahlian tertentu, atau mereka yang ingin masuk menjadi Polisi Sihir, Pasukan Sihir Khusus, dan Agen Penegak Sihir. Kelas Terapan adalah hal-hal lain yang berada di luar teori dan aplikasi sihir, kadang juga berupa ilmu hitung lanjutan, ilmu penyembuhan, ilmu humaniora, teknologi yang terlepas dari sihir namun masih berkaitan dengan perkembangan sihir, dan lain sebagainya.

Para mahasiswa bisa mengambil kelas dari mana saja di tiga kelompok mata ajar itu hingga memiliki cukup kredit untuk mengajukan ujian kelulusan. Ujian kelulusan di Cosmo Ostina pun berbeda jenisnya. Mereka yang sekedar mengincar sertifikat siap kerja hanya akan perlu memerlukan sedikit kredit dan ujian spesialisasi, sementara mereka yang mengambil jalur penuh untuk mendapat gelar sihir khusus dari Cosmo Ostina harus membentuk kelompok studi beranggotakan minimal tiga orang untuk kemudian mengajukan proposal tugas akhir yang akan dipilih oleh dosen pengampu yang tertarik.

Mereka bertiga termasuk dalam mahasiswa jalur penuh. Gelar sihir khusus itu nantinya akan membantu mereka bila mereka hendak mendirikan praktik sihir atau membuka lapangan pekerjaan yang berkaitan sihir. Setelah dua tahun mencukupkan kredit dasar, tiga tahun berikutnya adalah mereka bergabung untuk fokus menyelesaikan tugas akhir.

Nadia membuka kartu itu di hadapan mereka. Gambar bergerak yang mengilustrasikan progres studi mereka tahun lalu pun perlahan berjalan di atas kertas kecil itu, satu demi satu.

Pertama dimulai dari Celia, yang sudah menyelesaikan kelas-kelas pilihannya dan dia mendapat evaluasi khusus karena menjadi asisten pengajar Bu Nadir. Sharon bisa melihat Nadia menggerutu karena Nadia tidak dipilih Bu Nadir sebagai asisten pengajar. Celia memilih banyak sekali kelas terapan ketimbang Sharon dan Nadia, katanya sih seputar alam dan untuk menunjang kehidupan di peternakan dan pertanian.

Berikutnya adalah laporan Nadia. Nadia juga sudah menyelesaikan studi pilihannya, dan kini dia dipercaya sebagai salah satu pemegang kunci di Perpustakaan Utama Cosmo Ostina. Ada catatan mengenai kinerja Nadia di perpustakaan, tapi Nadia tidak memperbolehkan Celia dan Sharon mencuri lihat. Nadia mengiyakan perintah Bu Nadir karena katanya itu akan membantu beliau mengumpulkan data untuk riset pribadi Bu Nadir. Sharon pasti akan dipukul kalau dia menyindir kalau Nadia mau saja dibudakin Bu Nadir.

Yang terakhir, Sharon. Nadia membeliak ketika sederet tulisan mulai muncul dan dia mulai menutup kertasnya karena kaget. Sharon segera memalingkan muka, bersiul pura-pura tidak tahu. Pastinya kereta panjang tulisan itu masih berlanjut dengan kelas-kelas pilihan yang Sharon ambil.

"Banyak banget sih kamu ambil kelas!" cebik Nadia melihat daftar kelas yang diambil Sharon.

"Habisnya kan gratis karena beasiswa, manfaatkan dong!" serunya sambil berkacak pinggang.

"Ya tapi beberapa kelasmu ini cuma C! C! Itu artinya kan cuma sekedar hadir, sekedar lolos!" Nadia mendecak. Sharon menjulurkan lidah. "Yah, itu emang terserah kamu juga, sih. Dan sekarang aja kamu yang udah nggak bisa ngambil kelas mau cari kesibukan lain."

"Kita masih perlu satuan kredit gabungan untuk lulus, nggak sih?" tanya Sharon mengalihkan pembicaraan. Itu adalah salah satu prasyarat mereka bisa melakukan tes tertulis, selain mendemonstrasikan tugas akhir mereka di hadapan penguji.

"Tulisannya nggak, sih ..." Celia membaca catatan yang ada di kolom gabungan. "Akhirnya sudah tahun terakhir~"

Nadia menghela napas, "Akhirnya, ya. Aku juga nggak sabar lulus."

"Dan kerja!"

"Dan bebas!"

"Dan memerah susu sapi!"

"Kalian ngehancurin imajinasi enak orang lain aja!" pekik Nadia. "Celia, kamu bakal duel di mana? Ayo kita kesana aja sekarang."

"Oh, tunggu, Nadia." mereka kebetulan lewat di depan papan pengumuman besar. Ada kotak yang terletak paling tengah dikerubungi oleh banyak sekali siswa-siswi yang sudah mulai menuliskan namanya di secarik kertas. Sharon menunjuk ke kerumunan itu, mereka bertiga pun berhenti sejenak.

Papan pengumuman panjang nan lebar yang terletak di sebelah konter administrasi memuat segala informasi berkaitan kemahasiswaan dan acara-acara tahunan Cosmo Ostina. Biasanya papan itu akan ramai ketika awal tahun ajaran di bulan Juli, atau ketika ada event khusus seperti Turnamen Sihir.

"Turnamen, ya, dua minggu lagi?" Celia menelengkan kepala, dia lalu membalas pandang Nadia dan Sharon. "Kalian mau ikut?"

"Masih ada lima hari kalau mau memutuskan ikut atau nggak," Nadia membaca hitung mundur yang berpendar di atas kotak itu, kotak seleksi sihir yang nantinya akan memilih siapa yang berhak mengikuti turnamen bergengsi se-Cosmo Ostina.

Di antara kegiatan pokok sebagai seorang mahasiswa, ada yang dinamakan duel dan turnamen. Duel sihir adalah ketika dua penyihir sepakat untuk bertarung satu lawan satu, entah itu untuk membuktikan kemampuan mereka masing-masing, atau alasan lainnya. Duel untuk menentukan suatu bahan yang diperebutkan dua orang bahkan diperbolehkan, selama mereka tidak melanggar ketentuan utama duel untuk tidak melukai sesama. Duel harus sepakat, tidak boleh hanya sepihak. Pelanggaran berupa penyerangan pada siswa adalah berupa detensi.

Turnamen ini lain soal. Turnamen Sihir ini biasanya sangat selektif, tidak bisa sembarang orang terpilih untuk berpartisipasi dalam acara ini, namun semua boleh mendaftar. Nama-nama yang masuk akan diseleksi dengan suatu standar yang tidak pernah diketahui. 

Secara umum, peserta turnamen nantinya akan dipertemukan di arena yang akan menguji mereka sampai adanya satu pemenang. Apabila format turnamen berbeda, misal untuk memperingati hari jadi Cosmo Ostina, hal itu akan diberitahukan paling lambat seminggu sebelum acara dimulai.

"Ini tahun terakhir kita, sih, boleh-boleh aja kalau kita ikut." tukas Nadia. "Yah, masih ada lima hari, 'kan? Kita tentukan saja nanti."

Celia lalu mengarahkan mereka ke arah selatan dari gedung utama, melewati lorong yang melintasi danau yang merupakan jantung Cosmo Ostina. Sejenak mereka berjalan, seperti biasa Sharon menangkap bisik-bisik dari mahasiswa lain saat mereka bertiga lewat.

"Hei, itu Gawaine."

"Gawaine? Oh, ohh, iya benar juga, pirang mata hijau. Dia, toh."

"Beneran dia yang dibilang sebagai penyihir terkuat?" sahut salah satu dari mereka skeptis. "Kelihatannya kok, biasa aja. Lemes gitu. Terlalu lebay, ah, orang-orang bilang dia pengguna sihir Kombinasi paling jago dalam puluhan tahun terakhir."

"Heh, kamu belum tahu ya, bodoh?" sergah teman di sampingnya. "Kudengar dia ada yang ajak duel lagi hari ini. Kamu lagi kosong, 'kan? Nonton yuk."

"Aduh, aku ada kelas, tolong rekamin, dong! Nanti kubayar!"

"Ah, sudahlah. Bolos aja. Jarang-jarang, tauk, lihat duel macam ini."

"Kalau kamu bohong dan duelnya nggak seru, bayarin aku makan!"

Suara-suara datang silih berganti membicarakan mereka bertiga seakan mereka tidak bisa mendengarnya. Sharon pun mulai menundukkan kepalanya, menatap kakinya sendiri yang berjalan tapi tiap langkahnya enggan.

"Mereka emang kelompok elit yang ada di bawah Bu Nadir Romania, ya ..." ucap salah seorang yang lain dengan nada penuh ekspektasi. "Kamu lihat si Nadia, 'kan? Sudah cantik, keluarganya terpandang ... kemampuan sihirnya juga tiada dua."

"Kamu mau ikut gabung ke klub penggemar Nadia kah? Mereka sering kumpul di bawah pohon beringin di gedung sayap kanan." sambut yang antusias. "Ingat sebutannya? Nadia si Darling Ostina!"

"Lucu banget, sih. Haha. Tapi menarik, aku mau ikut, dong."

"Yah, paling yang aneh dari kelompok itu si rambut coklat. Freak. Bajunya kumal." ada yang alih-alih berbisik tapi suaranya kencang sekali. "Tau nggak? Katanya dia berlutut di hadapan mereka berdua supaya bisa diikutkan ke kelompok studi, atau nggak beasiswanya kadaluarsa."

Beberapa dari mereka mulai tertawa terpingkal-pingkal.

"Kok mau mereka yang elit sekelompok sama cecunguk itu? Apa dia—"

Desas-desus itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Sharon, lagi dia tidak merasa iri atau cemburu dengan dua teman yang sudah dikenalnya selama dua belas tahun itu.

Celia Gawain si jenius sihir yang merupakan anak emas Bu Nadir, dan si nona bangsawan rupawan nan serbabisa Nadia Loherangrin. Celia yang memiliki potensi sihir luar biasa mampu menggunakan sihir tipe Kombinasi, yaitu elemen dasar air yang ditransformasikan ke bentuk lain dengan bantuan elemen lain seperti api, angin, atau tanah. Nadia merupakan pengguna sihir Murni yang kontrolnya dengan elemen air sudah tidak diragukan. Kalau biasanya butuh beberapa saat setelah kunci penggerak sihir diucapkan, Nadia bisa langsung menggunakan sihir tanpa kunci penggerak.

Lalu ada Sharon, si lusuh dan si kumal yang menggunakan tipe Permutasi, dia biasanya mencampurkan elemen lain dalam sihir utamanya, sama seperti yang lainnya yang ingin mengumpulkan energi kuat dalam waktu singkat.

Perbedaan tipe-tipe sihir ini lebih terasa ketika penyihir berduel, sementara aplikasi sihir untuk kehidupan sehari-hari tidak terlalu bergantung dengan tipe-tipe ini.

"Sharon." hardik Nadia yang berhenti untuk mencegat Sharon yang berjalan sambil larut dalam pikirannya. "Jangan menunduk begitu. Ayo. Nggak usah dengarkan mereka."

Celia tersenyum sambil menarik lengan blazer Sharon, mengajaknya untuk berjalan di tengah-tengah mereka, melangkah lebih cepat dan lebih jauh dari bisikan-bisikan yang mengganggu.

.

Beberapa tahun sudah berlalu, lagi Sharon masih merasa dia tidak berbeda dari sosoknya sebagai Anomali.

Dia masih saja sama—seseorang yang terlalu banyak berpikir lagi tidak bisa menentukan pilihan. Dia tidak pernah bisa menjadi lebih bijak.



Orang yang menanti untuk duel dengan Celia ternyata adalah salah satu rekan (Nadia ogah memanggilnya rekan) Nadia di Perpustakaan Utama. Kalau dengar namanya, Sharon rasanya pernah dengar nama keluarga bangsawan itu dari suatu tempat, intinya, begitulah - nona kaya melawan gadis penggembala domba dan pemerah sapi.

Wanita muda yang bernama Lizbeth itu menyibakkan rambut coklatnya yang ikal, posturnya sangat percaya diri ketika melihat Celia yang cenderung polos. Anggota geng—err, teman kelompoknya yang beranggotakan lima orang melangkah mundur ketika Celia dan Lizbeth sudah berdiri berseberangan di tempat yang sudah mereka tentukan. Duel tidak diukur atau diawasi oleh kelompok kedua belah pihak, akan ada bola sihir 'pengawas' yang sudah disiapkan untuk menjaga ketertiban dan keteraturan duel.

Duel tidak memiliki batas waktu, terkecuali dari kedua belah pihak membatasi ritme duel. Duel dinyatakan usai bila salah satu tongkat sihir jatuh, salah satu pihak menyerah, atau bola sihir pengawas menyatakan bahwa duel sudah selesai karena salah satu pihak sudah tidak berkutik.

Celia dan Lizbeth saling bertatapan, lalu memeriksa kesiapan masing-masing seraya memberi jarak antara mereka berdua.

Lizbeth mengangkat tepi roknya dan menyilangkan kedua kakinya sembari dia membungkuk tanda hormat layaknya wanita bangsawan pada umumnya. Tongkat sihirnya dia pegang di pangkal telunjuk dan ibu jari yang lentik.

Celia berdiri tegak, matanya masih setengah terbuka seperti biasa menanggapi tanda penghormatan dari Lizbeth. Celia segera membungkuk dalam, dan memegang tongkatnya dengan genggaman sempurna di tangan kanan dengan buku-buku jarinya menghadap ke atas, sementara tangan kirinya naik, berada sejajar dengan siku lengan kanan.

"Hari ini aku pasti akan mengalahkanmu dan meraih posisi sebagai Ratu Ostina, hohhoho!"

Sharon mengernyit, dia menyenggol Nadia yang bersedekap di sampingnya, "Emang ada gelar Ratu Ostina?"

"Kamu tahu, 'kan, Celia dianggap sebagai yang terkuat. Kayaknya itu yang bikin orang mulai mengada-ada," pemilik rambut pirang sepunggung itu mendecak. "Kamu tahu dia klamar-klemer begitu. Dia mana peduli mau jadi yang terkuat atau tidak."

Sharon memberengut. "... Iya juga sih."

Bola pengawas mulai berpendar warna kuning, tanda siaga. Dalam hitungan ketiga, bola tersebut berubah warna menjadi hijau, dan Lizbeth sudah mulai hendak melucuti tongkat dari tangan Celia—

—yang sudah menghilang dari hadapannya.

"Oho." Nadia menyeringai, mata hijaunya berkilat-kilat. Sementara, Sharon menahan napas.

Kalau ada satu kata untuk menyimpulkan Celia ketika di mode serius dalam duel, itu adalah 'ganas'. 

Mereka memang sudah terbiasa dengan gaya tarung Celia yang tanpa ampun, lagi masing-masing dari mereka pun tidak yakin mampu menebak pergerakan masing-masing ketika sibuk untuk memilih menyerang dan bertahan.

Sihir tidak selalu berdasarkan kecepatan atau kekuatan semata. Yang cepat atau yang kuat memang bisa unggul, tapi dalam pertarungan akan jelas bahwa mereka yang memiliki taktik baik akan memenangkan pertandingan.

Celia tidak secepat Nadia yang tidak memerlukan kunci penggerak sihir, lagi transisi antara satu bentuk elemen ke elemen lain dari gaya bertarung Celia sangat cepat. Kalau menurut Celia sendiri, dia berusaha sudah 'menyiapkan' segalanya yang dia butuhkan ketika berhadapan dengan lawan, atau dia akan memanfaatkan itu dari lawan.

Lizbeth yang mencoba mencari Celia mulai sadar kalau dia mulai diselubungi kabut aneh, dia segera memasang selubung sihir pertahanan. Lizbeth juga mulai merapal angin sehingga jarak penglihatannya tidak tertutup oleh 'kabut'.

-dan tiba-tiba saja ada cahaya melesat mengenai bagian belakang kepalanya.

"Di sana, ya!"

Lizbeth sudah mengarahkan semilir angin ke arah belakangnya, sementara hanya kabut tipis di arah itu yang terbelah oleh angin. Ia segera mengerling ketika merasakan panas sesaat dia menoleh ke arah lain.

Celia menjejak keras di udara, lima bongkahan berupa air yang diselubungi bara api melingkar di belakangnya layaknya korona. Dia segera mengarahkan bongkahan itu untuk menghujani Lizbeth. Lizbeth masih sempat mengelak, dia pun mulai berlari dan menangkis bongkahan-bongkahan itu hingga baranya jatuh ke tanah dan mengepul. Celia dengan cepat cepat dia sudah menembakkan sihir berikutnya ketika dia menapak lagi di rumput ketika Lizbeth sibuk menangkal hujan bongkahan.

Sharon mengerjap, bongkahan di sekitar Lizbeth tidak jatuh beraturan, lagi mereka segera menyala ketika Celia mengayunkan tongkat sihirnya saat Lizbeth masih merapal perlindungannya.

"Api!"

Kabut di sekitar mereka berubah menjadi hawa panas yang membuat Lizbeth mengaduh. Sebuah lingkaran berpendar terbentuk di arena mereka, dan sesaat mata hijau Celia seperti menyala merah karena konsentrasi penggunaan sihirnya.

"Air!"

Mendadak temperatur yang tinggi tadi turun drastis, dan Lizbeth tidak menyangka bulir-bulir dari kabut itu bisa berubah menjadi jarum-jarum halus nan tajam yang menguncinya di tempat. Masing-masing jarum itu tidak ada yang mengenai kulitnya, tapi kalau dia salah bergerak, dia akan terluka.

Bola pengawas berkedip dua kali dalam sinar jingga, "Pemenang, Celia Gawaine. Waktu duel. Satu menit. Dua puluh dua detik."

Celia segera menurunkan tongkat sihirnya dan penjara di sekitar Lizbeth sirna. Dia menutup kedua kakinya dan kembali membungkuk santun, matanya masih berpendar merah menyala, senyum kecilnya yang khas jadi terlihat menakutkan sampai Lisbeth sendiri bergidik.

Baik dia dan Nadia terlalu fokus menonton sampai mereka tidak sadar sudah banyak orang berkumpul di pelataran tempat duel itu. Masing-masing mereka hanya bisa menatap Celia yang berjalan kembali ke arah Sharon dan Nadia tanpa mengedip, sementara Lizbeth yang awalnya berdiri mematung karena syok mulai terduduk berlutut di atas rumput.

"Ke kantin yuk, aku mau boba." ucap Celia ke mereka dengan nada lemas nan normal. "Kelasmu belum mulai 'kan, Nadia?"

Nadia sekedar mengangguk, dan mereka bertiga meninggalkan pelataran itu, membiarkan semua pasang mata yang menonton terbelalak tidak percaya sudah melihat sebuah duel singkat yang mungkin tak akan mereka lupakan selama beberapa lama.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro