XIX. | Makna Sebuah Kisah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hanya berselang sehari, tamu yang sudah mereka akrabi kini akan menjadi lawan tanding mereka di hadapan umum.

Sharon tidak mengerti dia harus bersikap seperti apa setelah Fiore datang dan menjawab 'mereka' yang menuntut keadilan, mereka yang meminta pihak Angia membuktikan dirinya di hadapan khalayak Cosmo Ostina dengan sangat tegar.

Sungguh, dia sangat takjub. Belum tentu ada orang luar, lagi mereka yang dicemooh oleh para elit sihir, akan menunjukkan sikap seperti itu. Fiore menerima tantangannya, mengerti apa yang menjadi taruhannya, dan kelompoknya tampak setuju dengan pemilihan sikap Fiore itu.

Dari keempat orang skuadron mereka, hanya Fiore dan Karen yang dianggap pengguna sihir, sementara Alena dan Alicia tidak. Duel dengan penyihir tentu tidak akan memihak pada mereka, mereka entah akan kalah telak atau menjadi kuda hitam, lagi mereka tidak takut, tidak sekali pun Fiore menunjukkan kalau mereka menyerah pada keadaan.

Sikap yang luar biasa tangguh. Itu membuat Sharon menaruh respek pada mereka—juga sedikit rasa iri.

Andai dia bisa merasa seperti itu, mungkin—

"Ya, jadi ..." Nadia membawa mereka bertiga jauh dari gedung akademik dan kemahasiswaan, ke pojok taman mahasiswa yang tidak banyak orang berlalu-lalang. "Duel Harga Diri banget, nih?"

Celia menatap balik mereka berdua dengan ekspresi miris yang sama.

Skuadron Glacialis benar-benar terdiri dari orang-orang yang cakap dan ramah; bukan karena mereka lebih muda sehingga mereka melihat anggota Avalon dengan gelagat hormat. Karen yang terlihat tidak bersahabat pun sopan, tutur bahasanya teratur saat berbicara dengan mereka. Alicia sifatnya urakan, sepertinya dia menahan mengumpat dengan bahasa kasar, tapi dia supel.

Mereka bukanlah 'orang jahat' atau 'orang asing yang hendak merampas'.

Mereka adalah 'tamu'.

Mereka datang dengan suatu alasan, mereka tidak keberatan bila dirasanya perlu untuk bersikap lebih.

Sharon bersandar lebih dalam di kursi panjang yang diduduki mereka bertiga, "Udah jelas nggak sih, bakal siapa lawan siapa?"

Nadia menyilangkan jarinya di atas pangkuan, "Sangat jelas, tapi tetap saja aku merasa enggan."

Celia menghitung dengan jarinya, "Pastinya pihak kemahasiswaan tidak menghitung Alicia, jadi tinggal Lena, Fiore, dan Karen ..." dia menunjukkan tiga jari di kedua tangannya. "Aku mungkin akan melawan Fiore. Nadia ke Karen, dan ... kamu sama Lena, Sharon?"

"Iya, nggak ada kombinasi lain," Sharon mengangguk. "Sebagaimana pun mereka ingin lihat duelnya atau merasa ketidakadilan, pastinya mereka mau duelnya fair dengan dua petarung di posisi sama kuat."

Nadia mendecak, "Biasanya aku akan mulai memikirkan lawanku seperti apa tapi ... aduh, rasanya aku nggak mau melawan mereka kalau bisa."

Celia tertawa kering, "Sayangnya sudah seperti ini, ya."

Mereka bertiga terdiam lagi, masing-masing menghela napas panjang nan berat.

Memang tidak disangka Fiore akan maju dan menanggapi, Sharon sempat mengira Nadia akan mati-matian mencoba membela mereka ... walau pada akhirnya, keputusan Fiore-lah yang membuat pihak-pihak terkait tampak puas, terkecuali mereka yang akan menjadi lawan tanding pihak Angia.

"Kalian lihat 'kan tadi, ada yang sempat bilang kalau kita bakal dengan gampang ngeroyok pihak Angia," cecar Nadia. "Mereka terlalu menganggap enteng, dikira sihir cuma punya Aira saja apa."

"Yah, hanya kita yang tahu kalau mereka berpengalaman dalam Perang dan segala macamnya, bukan?" sahut Celia. "Kurasa juga ini satu-satunya jalan bagi mereka agar tidak ada lagi yang mencoba mempertanyakan kredibilitas mereka."

Sharon tertegun, satu-satunya jalan, ini jelas membawanya ke sebuah memori masa lalu yang masih membekas di ingatannya hingga saat ini. Dia mencoba menelan ludah, tidak ingin mengingat masa ketika mereka hampir saja dipisahkan. Semua karena situasi mendesak.

"Mereka bilang mereka juga punya senjata, ya? Mereka bakal pakai itu pas lawan kita nanti?"

"Eh, dia udah ngobrol teknis," Sharon nyengir menanggapi Nadia. Nadia pun berdeham.

"Ya—mau gimana lagi! Kita juga harus serius, dong? Ini Duel Harga Diri, mereka sudah mempercayakan kita jadi lawannya untuk mereka membuktikan diri!"

Celia tersenyum, "Ah benar juga, kita tidak boleh terlihat mengalah, ya?"

"Kayaknya kata-katamu ada yang aneh tapi ... ya, benar, kita harus serius." Nadia berucap. "Atau kita bisa masing-masing ngobrol saja biar nggak jadi surprise?"

"Haha, nggak gitu, Nona Nadia." sindir Sharon. "Nanti para kelompok itu ngomong lagi kalau kita cuma gimmick."

"Serba salah!" pekik si rambut perak gusar. Celia dan Sharon masing-masing terkikik. "Apa coba, pakai Duel Harga Diri segala!"

'Duel Harga Diri' memang konteksnya seberat namanya: ini salah satu bentuk pertarungan tertinggi dengan taruhan yang disepakati. Umumnya ketika kedua belah pihak bersikukuh tanpa jalan temu, duel ini-lah yang menjadi penentunya. Dua penyihir bertemu untuk melaksanakan pertarungan dalam jangka waktu tertentu yang hanya akan berhenti bila waktu habis atau salah satu pihak menyerah.

Berbeda dengan duel biasa yang sekedar untuk unjuk gigi, sebelum pertarungan, kedua belah pihak akan menyerahkan apa yang akan mereka pasrahkan pada pemenang di sebuah timbangan yang dipegang oleh 'hakim' duel. Penentuan 'jaminan' ini akan diundi oleh hakim, siapa yang ditunjuk nantinya akan menakar ukuran jaminan antara kedua belah pihak dan jaminannya harus setara. Misalnya, bila seorang menaruh sebatang emas, pihak lawannya harus memasrahkan sebatang emas pula.

Kali ini, Duel Harga Diri ini akan disaksikan oleh orang-orang Cosmo Ostina, juga pihak luar yang datang untuk menonton Turnamen Sihir. Pihak yang kalah tentunya akan merasa sangat dipermalukan.

"Sharon."

Suara Nadia lembut ketika dia menoleh padanya.

"Jangan gegabah, ya? Ingat, kamu nggak sendirian. Ada kami." jelasnya dengan suara pelan.

Celia turut menanggapi ucapan Nadia dengan seulas senyum. Sharon pun menelan ludah. Memori yang dia—mereka—tidak pernah lupakan itu selalu menghantui, menggantung di antara mereka bertiga.

"Aku akan berusaha." ucap Sharon; lagi-lagi, dia tidak bisa berjanji.



Kala itu, tiga anak yang baru berusia lima belas tahun, mencoba peruntungan dan mengasah kemampuan mereka dengan mengikuti ujian untuk mendapatkan sertifikat layak sihir dari kota Asteria.

Setelah tiga tahun lamanya mereka jungkir-balik, Sharon yang bekerja sambil belajar di bawah pengawasan Nadia dan Celia, lalu Nadia dan Celia yang juga mendampingi Sharon, mereka berjanji untuk mengikuti ujian sertifikat layak sihir.

Nantinya dengan sertifikat itu, mereka akan bisa mengambil jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bahkan sangat mungkin bila mereka ingin meneruskan ke kampus sihir bergengsi di Aira, Cosmo Ostina sekalipun.

Mengingat Asteria yang kala itu hanyalah kota kecil di segelintir kota dan desa lain yang lebih mumpuni kualitas sumber daya manusianya, kuota sertifikat sihir setiap tahunnya selalu lebih sedikit. Mereka mengikuti serangkaian tes, berupa tes tertulis, tes lisan, juga tes uji kelayakan sihir yang seluruhnya diawasi ketat oleh Pusat Kependidikan Sihir Aira. Barulah mereka akan mendapat sertifikat bila berhasil melewati ujian itu dengan tingkat skor sembilan puluh persen.

.

Di hari terakhir ujian itu, tepat di saat uji kelayakan sihir, ada seorang anak bangsawan setingkat tuan tanah yang menuduh Sharon mencontek.

.

Sharon tidak bisa membuktikan hal itu, dia tidak bisa membuktikan kalau dia tidak melakukannya karena seluruh bukti tertuju padanya, namun pihak penguji masih memberi kesempatan baginya untuk membuktikan dirinya dengan duel melawan si anak bangsawan itu.

Akan tetapi, saat itu Sharon hanyalah seorang yang masih terikat pada masa lalunya: seorang anak jalanan yang selalu dirundung dan dipojokkan, merasa dia harus melakukan sesuatu untuk keluar dari tekanan, apa pun yang harus dia lakukan.

.

Sihir Sharon adalah Permutasi dari elemen sihir air dengan elemen kegelapan. Sharon dapat melakukan ekstraksi racun dari bunga-bunga atau tanaman dengan konsentrasi luar biasa karena kemampuannya ini.

Ketika mereka mengetahui Sharon menggunakan racun tanpa Sharon paham apa implikasinya, si anak bangsawan itu nyaris saja tidak tertolong.

.

Bila bukan karena Nadia yang membuktikan kalau si anak bangsawan-lah yang sengaja ingin mencoreng nama Sharon, Sharon mungkin akan segera ditaruh di daftar hitam penyihir Aira, namanya akan menjadi lebih buruk dibanding sekedar Anomali.

Bila bukan Celia yang membantunya untuk menyelamatkan anak bangsawan itu, dia sudah dengan segala amarahnya mencoba mencelakai anak itu, walau mungkin apa yang dilakukannya terjustifikasi.

Dia hanya terus merepotkan orang lain, dia selamanya tetap menjadi lemah walaupun dia sudah berusaha dan terus berusaha. Mentalnya tidak pernah berubah. Kekuatannya tidak pernah berubah. Dia tidak ada bedanya dengan sosoknya yang begitu hina di mata orang lain, padahal dia hanya ingin bertahan hidup.

Dunia ini begitu tidak adil.

.

Sharon diperbolehkan mengambil ujian di tahun berikutnya setelah itu, dan dia diharapkan bekerja untuk membayar ganti rugi pada si keluarga bangsawan.

Hari itu juga, bogem mentah dari Nadia mendarat di wajahnya. Celia tidak henti-hentinya menangis saat Sharon dan Nadia bertengkar satu sama lain.

"Kamu kira kami ini apa, hah?" kalimat itu membekas di benak Sharon. "Kenapa kamu nggak bilang ke kami kalau kamu butuh bantuan? Butuh cerita? Memangnya kami ini apa untukmu? Lumbung uang? Sekedar kesempatan? Jawab aku, Sharon Tristania!"

.

Saat itu, Sharon menyadari dia sudah bersalah. Dia sudah membuat dua orang yang selalu ada untuknya menderita.

Di saat yang sama juga, dia tahu kalau dunia ini bobrok. Hancur. Tidak ada tempat untuknya di dunia ini.

Sharon pun tetap berjalan, di dunia yang begitu dibencinya, meniti arah di cahaya yang disayanginya, lagi kegelapan itu tetap ada di hatinya, seperti bom waktu yang akan meledak kapan saja.



Setelah mereka berdiskusi panjang, mereka berpisah jalan. Nadia ada tugas di Perpustakaan Utama dan akan kembali petang nanti ke Rumah Pohon. Celia punya tugas asistensi untuk mengisi absennya Bu Nadir yang tengah bertugas di tempat lain untuk urusan akademik.

Sharon yang tadinya ingin mengisi waktunya untuk bekerja sambilan menemukan dirinya berjalan tanpa arah di lorong Cosmo Ostina, sejenak kebingungan saat dia kembali lagi mengulang hari itu di benaknya.

Tak lama kemudian, Sharon melihat anggota skuadron Glacialis yang kebetulan tengah lewat, sepertinya mereka tengah mencoba mengingat-ingat arah jalan, dan Sharon pun berpapasan dengan mereka.

"Sharon!" Alicia yang supel jadi yang pertama melambai dengan semangat. Yang lain tersenyum dan menunduk menanggapi Sharon, walau jelas di antara mereka seperti ada ketegangan yang tidak biasa.

"Err, maaf soal tadi." Fiore tertawa kering. "Harusnya aku ... nggak melakukan hal itu kah?"

Sharon membalas Fiore dengan senyum, "Kamu keren lho, aku salut."

Wajah Fiore merona merah, Alicia yang melihat itu pun mengejek Fiore, Fiore dengan santai segera menginjak kaki Alicia dan Alicia ... ngumpat apa itu barusan, 'Sayap Peri'?

Karen berdeham, "Tetap kami perlu minta maaf karena mungkin keputusan ini lumayan mengejutkan."

"Oh, tentu." Sharon mengiyakan. "Jarang sekali lho ada yang seperti itu. Mengekspresikan opini ... kalian seperti perlambang Angia di Aira."

Val terkekeh, "Jangan muji terus, itu Alba nanti gelagapan."

"Lena, tolonglah." Fiore sekedar menyentuh cuping telinganya. Bahkan telinganya sampai merah juga, barulah Sharon menyadari mereka ini masih imut-imut. Seorang muda yang sudah dipaksa untuk punya tanggung jawab.

Mata kirmizi Fiore naik, "Omong-omong, Sharon punya rekomendasi makanan di sini? Rasanya daritadi kita jalan-jalan saja sampai haus."

"Tumben," imbuh Karen. "Ada benarnya juga, sih."

Sharon berpikir sejenak, "Kalian pernah tahu apa itu teh susu atau susu boba?"

"Boba?" Val menaikkan kacamatanya, dia melempar pandang ke yang lain, mereka tampak sama-sama tidak tahu. "Apa itu?"

Sharon pun sontak tersenyum.



Sharon mengajak mereka berempat ke gedung kantin dan segera mengantri untuk memesan minuman untuk memperkenalkan boba untuk mereka berempat.

Saat ditunjukkan menu, berbagai varian rasa, varian ukuran, dan level kemanisan, topping dan lain-lain, yang menunjukkan bingung pertama kali adalah Fiore, yang lain turut saja memesan rekomendasi dari Sharon.

Mereka memutuskan untuk minum ukuran reguler. Karen memesan kombinasi rasa yang manis dengan level gula yang tinggi pula. Val mencoba teh susu original saja, Alicia minta teh susu tanpa boba tanpa gula. Fiore pun akhirnya minta yang original juga, mirip Val tapi dengan level gula kurang.

Sharon menatap pesanan mereka dengan anggukan mantap. Dia lalu semakin tersenyum melihat ekspresi berbeda anak-anak itu saat meminum teh boba.

"Jadi Karen itu tipe penyuka manis," simpul Sharon melihat Karen yang anteng menyeruput teh dengan teratur, tidak mengomentari Sharon.

Komentar dari Val adalah, 'rasanya segar', dan Alicia senang-senang saja minum nggak pakai gula. Untung Celia nggak lihat. Sharon sudah bisa membayangkan Celia yang akan ngambek melihat ada yang minum teh boba tanpa boba, tanpa gula pula.

"Rasanya menarik, ternyata. Di sini lebih gurih ketimbang di Angia," Fiore berkomentar, ekspresi mukanya turut bahagia dengan momen relaksasi seperti ini. Dia memandang gelasnya dengan ekspresi penuh nostalgia. "Teh susu, ya. Ini bikin aku ingat teman sekamarku."

"Teman sekamar? Oh iya, kalian sistemnya asrama gitu ya," Sharon mengingat-ingat secuplik cerita mereka. "Teman sekamarmu penggemar teh susu?"

"Dia jago masak, dia juga sering membuat minuman bagi teman-teman kami yang butuh. Rasanya dia sih lebih mirip seorang ibu ketimbang sosok kakak," Sharon kurang bisa membayangkan, di benaknya hanya ada seseorang mirip Celia, tapi nggak ngantuk dan nggak lemes. "Nah jadi setelah dia tahu aku suka teh susu, teman sekamarku itu jadi mempopulerkan teh susu ke yang lain, utamanya teman kami yang paling muda."

"Bentar, bentar, kok rasanya jadi banyak informasi," Sharon mencoba mengurutkan. Baik Val, Karen, dan Alicia sepertinya paham siapa yang Fiore maksud. "Kalian yang semuda ini, masih ada yang lebih muda lagi?"

Karen angkat bicara, "Dia bisa dibilang khusus. Dari provinsiku, dia mantan tentara anak-anak Spriggan. Dia ... ah, harusnya dia baru enam belas tahun sekarang, kurang lebih."

Sharon bingung bagaimana mencerna hal ini, dari topik awal teh susu, tiba-tiba dia sudah dekat dengan topik hitam. "Ini kalian yang ajaib atau akunya saja yang awam Angia?"

Val memasang senyum tipis, "Nggak kok, Sharon. Sepertinya Kelas Sembilan kami memang sebuah keanehan. Sekalinya kesana, makin kesana. Anggap saja unik."

"Aku jadi penasaran kayak gimana kalian pas masih sekolah." Sharon manggut-manggut.

Alicia nyengir, dia sudah membelai Cincin di jarinya. "Aku punya foto!"

Fiore sontak menoleh ke arah Alicia, "Oi."

"Nggak apa-apa, 'kan, Fio? Toh kasih lihat foto juga gratis!"

Sharon memerhatikan Alicia yang menggosok Cincin-nya lagi sampai tampil sebuah foto yang memperlihatkan dua belas gadis muda berseragam dengan latar belakang yang tampaknya sebuah asrama. Sharon segera menangkap mereka yang kini hadir di hadapannya sebagai skuadron Glacialis, terlihat beda jauh sekali dengan apa yang ada di foto itu. Mereka di foto terlihat polos, kini mereka sudah lebih berwibawa.

"Yang ini ya pasti yang tadi kamu sebut masih lebih muda itu," Sharon menunjuk si pirang bermata merah. "Lalu teman sekamarmu itu yang ...?"

"Ini," Fiore menunjuk gadis yang paling bongsor di antara mereka semua. Sharon tak kuasa terbelalak. Imej yang tadi dijelaskan Fiore seperti tumpang tindih. Keibuan, katanya tadi? "Oh ya, terakhir kita lihat Muriel bersahaja sekali ya, tambah perkasa ..."

"Benar juga, dia seneng tuh pas cerita ke Hana kalau dia sering bergulat dengan beruang ..."

Sharon memekik, "Beruang!?"

Val mengangguk, "Iya, kadang di hutan belantara tempat tugas kami ada binatang buas. Tenang saja, tidak ada perburuan binatang buas atau kami dari pihak militer sengaja melukai binatang buas."

"Oh, ya ampun! Kukira kalian ... seganas itu. Takut." ungkap Sharon.

Alicia tergelak, "Muriel nggak seram kok, Sharon. Yang ada kalau kamu bertemu sama dia, kamu bakal dimasakin, serius."

Yang bisa Sharon lihat dari gambar itu, juga dari mereka yang bercerita secara terbuka tentang teman-temannya, adalah rasa kekeluargaan yang sangat erat. Gambar itu sekilas menampilkan resolusi mereka, juga memori yang membuat mereka bersatu.

Rasa saling percaya—sesuatu yang Sharon tidak bisa miliki.

Ya, hingga saat ini pun, Sharon tidak bisa memikirkan kalau anggota skuadron Glacialis ini memiliki agenda buruk dengan mereka—terlepas ini berkaitan dengan Kitab Harapan Palsu atau bukan.

Duel mungkin bukan suatu hal yang pantas untuk menyambut tamu, lagi kesepakatan telah terbuat dan mereka harus menjalankannya. Mereka sebagai yang lebih tua dan lebih paham sihir harus menghormati keputusan mereka dan menjadi lawan tanding yang sportif.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro