30. Diakah Korban Keempat?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiga hari kemudian.

"Suapin dong. Tanganku patah nih."

Aku pikir Aga akan melakukannya dengan ekspresi jijik apalagi tampang Hanya jahil begitu, ternyata tidak. Mungkin dia merasa bersalah tangan Hanya jadi begitu karena menolongnya. Padahal selama di rumah sakit Hanya tidak mempersalahkan hal itu.

Baiklah, lupakan soal si Manja-Beban Hanya. Aku menatap serius Kak Hoshia yang sudah berkeringat kikuk karena kupelototin. 

"Dupa yang kakak berikan pada ketos, apa kakak yang beli?" Pertanyaan pertamaku.

Kak Hoshia sontak menggeleng. "N-nggak. Dupa itu diberikan oleh adkel, seangkatan dengan kalian. Gadis itu malu berhadapan dengan Hanya kemudian menitipkannya padaku," terangnya sambil menggaruk leher.

Gadis? Aku mengelus dagu. "Apa Kak Hoshia tahu siapa namanya atau dari kelas berapa?"

"Nggak, aku gak tahu. Tapi aku tahu wajah dan kelasnya. Dia sekelas dengan kalian."

Apa?! Aku dan Abigail saling tatap. Pantas saja dia mengerti dan hapal semua tabiat kami. Rupanya dia sangat dekat. Auri sialan!

"Tunggu." Serena bersedekap. "Kakak gak tahu namanya, kok bisa tahu kelasnya?"

"Y-yah, aku pernah membuntutinya karena curiga. Dia melakukan gerak-gerik yang janggal, mematikan cctv di ruang osis. Setelah kuikuti, dia masuk ke kelas kalian."

Kalau begitu ada kemungkinan dia yang telah merubah bahan dupa lalu melecehkan Hanya. Soalnya aku ingat, sebelum Hanya merusak cctv, kamera itu terputar ke arah berbeda.

Cielo memberikan buku absen kelas yang melampirkan foto murid-murid. "Yang mana siswi yang kakak maksud?" tanyanya.

Kak Hoshia menunjuk murid absen 1. "Benar, ini dia orang yang memberiku dupa itu."

Arelin Alundra.

*

"Ah, Arelin? Dia gak datang lagi hari ini. Katanya izin sakit." Begitu kata ketua kelas. "Kenapa kalian tiba-tiba cari dia?"

Aku menggaruk kepala, tidak menjawab. Bisa kelabakan aku mencari seseorang yang selama ini kami tak pernah berinteraksi.

Untungnya Serena membantu. "Kau bilang 'lagi'? Apa dia pernah absen sebelumnya?"

"Kalian tidak kenal sifat Arelin. Dia itu murid yang masuk sekolah sesuka hatinya saja. Dengar-dengar dia dipindahkan dari sekolah lamanya karena keseringan membolos. Dia berhasil lolos ke sini berkat koneksi mantan kepala sekolah kita. Dia murid nepotisme."

Sekarang aku sedikit paham mengapa OSIS disibukkan oleh pemilihan kepala sekolah. Bersama komite dan Dewan Guru, mereka benar-benar harus mencari seorang guru yang memenuhi aspek 'kepala sekolah'.

"Fuah, lihat kolom kehadirannya. Dalam seminggu, dia cuman hadir tiga kali doang." Noura berkomentar, geleng-geleng prihatin.

Jika Arelin punya koneksi kuat, tak ada yang bisa menegur kelakuannya termasuk guru BK sekalipun. Ukh, sepertinya kami berurusan dengan orang tak biasa. Apa kami bisa bertemu dan menyidangnya? Bagaimana jika dia kaya raya, salah sedikit kami didamprat?

Aku mengepalkan tangan. Ini takkan mudah.

Kami pun keluar dari kelas dengan berbagai pertanyaan muncul di benak masing-masing. Jadi perasaan ini yang dirasakan Hanya dan Aga? Rasa jengkel, tersangka di depan mata tapi kami tak bisa melakukan apa-apa.

"Biar aku yang mengurusnya, Al," kata Serena. "Akan kuselidiki latar belakangnya."

"Apa kau yakin? Jika dia punya penyokong yang hebat, kita terancam diskors atau parahnya dikeluarkan. Cewek bernama Arelin itu sepertinya berkepribadian jahat."

"Jika mendapatkan sesuatu, kuberitahu kalian dulu. Aku gak bakal bertindak sendiri."

Abigail mengangguk. "Kalau begitu hati-hati."

+

Pukul enam sore, Serena akhirnya sampai di rumahnya. Dia mampir ke konter dulu untuk mengisi kuota, eh konternya rame. Terpaksa dia menunggu karena konter hanya satu di sana. Tak disangka makan waktu sejam.

"Ah, Dik Serena sudah pulang."

"Hai, Bi." Serena membalas sapaan tetangga.

"Kau pasti kesiangan tadi pagi sampai lupa mematikan CD player-mu. Itu tidak baik lho, Dik Serena. Mengganggu tetangga. Tapi bibi maafkan karena kau terlihat lelah. Pasti tak mudah hidup sendiri, kan? Kalau kau lapar, jangan sungkan ke rumah bibi ya!" Wanita itu tersenyum ramah, masuk ke rumahnya.

Serena diam. CD player miliknya menyala? Perasaan tadi pagi dia tidak kesiangan. Juga, Serena mengaktifkan benda itu cuma di hari minggu sebagai musik yoga.

Dia buru-buru melangkah ke pekarangan rumah, naik ke teras. Tangannya terulur ke pintu, hendak menekan pin kata sandi. Klek! Pintu terbuka. Lampu ruang tamu menyala.

Serena mematung di depan teras.

Kenapa lampunya menyala? Padahal Serena mematikan lampu pas pergi sekolah untuk menghemat listrik. Dan di atas semuanya...

... Kenapa pintunya tidak terkunci?







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro