File 1.1.7 - The Second Villain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apakah ini akan baik-baik saja?"

"Apanya, Jer?" Aiden menoleh.

"Kita langsung menerima mereka begitu saja?" Jeremy mengintip Polly dan Mary yang bercengkrama dengan Gari tentang kegiatan klub. "Menurutku kita mesti menunggu Inspektur Deon. Aku tak bisa mempercayai mereka. Keduanya terlihat tak meyakinkan."

"Aku juga kok," kata Aiden cuek.

"Lalu kenapa?"

"Kamu lupa apa yang diajarkan Dan?" Gadis Penata Rambut itu menyunggingkan senyuman licik. "Kita harus memanfaatkan profesi mereka sebagaimana Dan menggunakan tim Inspektur Deon."

"Shealand kamu, ya. Hal tak baik ditiru. Giliran yang baik diabai."

"Kamu sendiri bagaimana, sudah oke belum?" Aiden mengalihkan pembicaraan. Untuk seseorang yang dijadikan barang pelelangan dan dikhianati kakak sendiri, cowok berkacamata itu terlihat santai.

Semilir angin yang masuk lewat jendela menerpa rambut kelabunya. Jeremy mengangguk. "Aku baik-baik saja kok."

"Kuharap kamu jangan memaksakan diri, Jeremy. Aku khawatir padamu."

"Watson dikemanain nih?"

"Kamu temanku," tukas Aiden sedikit merona di pipi (tiap nama Watson disebut). Dia mendesah kasar melihat ponsel yang hampa. "Tapi kenapa Dangil tidak muncul-muncul lagi? Apa ia rusak atau programnya belum sempurna? Tidak mungkin. Dangil sudah bisa bicara dan membantu kita walau sedikit."

"Mungkin kita harus menghubungi Watson sekali lagi supaya AI-nya kembali aktif."

"Benar juga!"

Secepat kilat Aiden menekan kontak Watson. Mereka berdua menunggu antusias tanpa tahu King menyempil di tengah-tengah seperti anak ayam. Tiga menit kemudian, Aiden dan Jeremy sontak mendesah kecewa.

[AI telah dialihkan.]

Eh, apa? King mengernyit. Dialihkan? Mendadak saja dia teringat kalimat Saho yang terpotong kemarin. King menoleh. Si empunya nama sibuk mengerjakan PR-nya. "Sasa, ke sini sebentar."

Aiden menyikut lengan King. Melotot. "Namanya Saho, kenapa diplesetkan begitu? Terlebih jangan menyuruh orang membuatkan tugasmu!"

"E-eh? Aku melakukannya sukarela kok!" Saho membela. Dia tak tega melihat King yang dikalahkan PR matematika.

Raja abal-abal itu mencibiri Aiden. Makanya jangan main marah saja. Jadi malu sendiri kan. Demikian maksud cibirannya. Kalau menuruti hati, Aiden ingin menarik bibir monyong King yang menyebalkan.

Skip time.

"Kamu mengatakan sesuatu tentang ponsel ini kemarin kan, Sa?" King bertanya.

"B-benar." Ujung mata Saho melirik Gari yang tampaknya tidak memperhatikan percakapan mereka, masih asyik bercerita dengan polisi kenalannya. Saho melihat dagu gadis itu diplester.

"Bisa tolong ulangi? Sepertinya AI itu bermasalah. Masa ada notif dialihkan."

"Ponselnya tertukar," kata Saho cepat.

"Maksudmu?" Ketiganya bingung.

"Waktu itu Gari tidak sengaja jatuh dan memecahkan layarnya dengan dagu." Saho menunjuk ponsel yang dipegang Aiden. "Tetapi ini, layarnya berbeda. Keretakannya terlihat disengaja. Aku rasa seseorang mengganti ponsel yang berisikan Dangil."

Ketiganya diam sejenak.

King menelan ludah. Lelaki cantik di sampingnya itu pintar daripada yang terlihat. Bagaimana bisa dia tahu hanya dari retak yang berbeda? Brilian!

"Iya, Pak?" Polly mengangkat panggilan yang baru masuk ke telepon dinas. Raut wajahnya spontan berubah panik. "APA?!"

Aiden dan yang lain menoleh demi mendengar seruan cemas itu.

Polly bergegas bangkit. "Baiklah, Pak. Kami akan segera ke sana!" serunya menoleh cepat ke partnernya. "Kita harus pergi."

"Ada apa, Petugas Polly?" tanya King.

"Sesuatu telah terjadi di rumah Mjol Annekke, klien kalian." Sederet kalimat yang membuat klub detektif sunyi seketika.

Permainan sudah dimulai.

*

Lima menit berlalu, namun King dan Saho belum juga berhenti muntah berjemaah. Aiden jadi kasihan sendiri. Apa mereka sudah sarapan ya pagi tadi?

"B-bagaimana bisa ada penjahat sekejam ini?" Di sisi lain, Gari sudah menghabiskan sepuluh lembar tisu untuk mengelap ingus.

Aiden menghela napas. Mereka keluar dari garis kuning, menyingkir ke tepi, membiarkan para polisi melakukan pekerjaan mereka. Di antaranya menghalau para petani yang mengintip kepo.

"Aku sudah membawa beliau, Aiden." Jeremy datang ke TKP bersama seorang wanita elegan. "Nyonya Lamberno."

Beliau menatap Aiden dengan binar mata berharap. Ya ampun, sudah berapa hari wanita ini tidak tidur? Lihat betapa hitamnya kantung matanya.

"A-apa kalian menemukan anjingku? T-tidak apa walau ia sudah mati. Aku hanya ingin menguburnya." Lamberno tersenyum sedih, menyeka air mata. "Ia pemberian terakhir dari ibuku. Aku sangat menyayanginya."

Aiden dan Jeremy saling tatap.

"Ini benar-benar kasus paling kejam sepanjang hidupku menjadi polisi," celetuk salah satu anggota Mayor Kejahatan Khusus, keluar dari TKP sembari melepaskan masker. "Setelah membunuh hewan-hewan malang itu, pelaku mengeluarkan organ-organ serta jeroan dan menggantinya dengan bulu yang telah dikuliti, membuat mereka terlihat seperti boneka binatang yang hidup. Tindak taxidermize yang kejam."

[Note: Taxidermize/Taksidermi  adalah seni pengawetan dan pengolahan jasad hewan melalui penyanggaan dan pengisian sehingga tampak seperti keadaan aslinya saat masih hidup.]

Singkat cerita, setelah mendengarkan penjelasan cucu perempuannya tentang kemungkinan yang mengisi istal, Windoa pun berat hati mendobrak pintunya dengan bantuan teman Mjol yang kebetulan mampir. Kejutan. Kandang itu sudah diisi bangkai hewan berupa anjing dan kucing yang terkebat oleh parasut kecil berwarna hitam bersama pemberat besi. Belasan ekor jumlahnya.

Lamberno meraung ketika menemukan peliharaannya yang sudah menghilang setahun. Anjingnya begitu ringan karena isi tubuhnya sudah dimuati oleh bulu. Tidak hanya beliau. Beberapa warga yang kehilangan anjing atau kucing segera memenuhi TKP. Tangisan sedu pecah.

Pemandangan macam apa ini? Aiden mencengkram rok sekolahnya.

"Anggap saja begini, pelaku menerbangkan hewan-hewan itu menggunakan drone atau apalah di hutan yang ditapaki Mjol. Masing-masing pemberat diikatkan ke tiga binatang. Kata Pak Ketua, maksudku Pak Dangil, pelaku menggunakan mekanisme airbag dimana itu akan aktif jika dipicu oleh hantaman keras. Suara dentuman yang didengar oleh Kakek Windoa kemungkinan adalah suara yang ditimbulkan oleh pemberat tersebut. Suaranya bergradasi dan saling melantun sehingga menghasilkan bunyi nyaring."

Di belakang sana, King mulai melakukan analisis darurat bersama Jeremy. Melihat tangisan warga-warga yang kehilangan peliharaan kesayangan membuat mual King menghilang.

"Tapi Kakek Windoa sempat memperbaiki atapnya beberapa kali, kan? Tidak mungkin beliau tidak melihat bangkai-bangkai itu."

"Karena gelap." Saho yang menjawab, baru selesai dengan ritual muntah. Wajahnya pucat sekali. "Tidak ada jendela, pintu angin, bahkan celah dinding kayu pun tak cukup memberi akses pencahayaan. Apalagi parasut yang menutupi bangkainya berwarna hitam. Kakek Windoa tidak dapat melihatnya sebab beliau hanya melihat gelap di kandang kuda itu."

Deg! Jeremy menoleh ke King. "Jika dinding kandang terbuat dari kayu, tidak mungkin bisa menimbulkan suara berisik. Rumah kayu biasanya kedap suara. Lantas dari mana asal suara dentum itu?"

"Eh, benar juga." King mengelus dagu. Dia melupakan fakta dasar bangunan istal.

"Jangan-jangan itu ulah pelaku lagi untuk memberi tanda pada kakek Windoa akan aksinya?" celetuk Jeremy.

"Apa pun alasannya..." Aiden bergabung dengan mereka. Sorot mata serius. "Ini bukan masalah sepele."

"Aiden! King! Jeremy!" Suara Marc mengaburkan pembicaraan klub detektif Madoka. Dia tergesa-gesa menghampiri dengan memegang sesuatu. "Aku menemukan ini di dalam—"

Ketua Mayor Kejahatan Khusus a.k.a Angra Nosaroc, menghadang langkah Marc. Dengan kasar dia mengambil alih benda itu. "Berani-beraninya perwira jaga ikut campur ke permasalahan MKK. Tugas kalian hanya menjaga perimeter, bukan turut masuk mengacak-acak TKP."

"Kalau tidak salah dia..." King memperhatikan keributan itu dari jauh.

Aiden mengatupkan rahang, mengingat siapa pria itu. Angra adalah rivalnya Deon. Mereka pernah 'bekerja sama' saat kasus Adams lampau lalu. Kenapa Aiden lagi-lagi lupa bahwa kelompok Angra masih beroperasi?! Ck, dia akan menghambat.

Aiden harus... Eh? Dia mengerjap melihat Jeremy tahu-tahu sudah berdiri di depan Angra, berwajah datar.

"Bisakah kami melihat barang itu sebentar, Inspektur Angra?" kata Jeremy sopan.

Angra tersenyum sinis. "Aku lupa bahwa kalian juga ada di sini," kekehnya menyamakan tinggi Jeremy. "Jangan samakan aku dengan si rendah Deon. Aku takkan pernah membiarkan bocah-bocah ingusan seperti kalian merusak TKP. Kembalilah ke sekolah dan jadilah murid teladan. Jangan membolos lagi."

"Petugas Marc, Petugas Polly, dan kami lah duluan yang sampai kemari. Kelompok Inspektur datang terakhir kenapa malah seenaknya menguasai TKP? Ini adalah kasus kami, Mjol meminta bantuan klub detektif Madoka. Lagi pula kami hanya ingin memeriksa benda itu sebentar saja."

"Aku tahu siapa orangtuamu di kota ini, Jeremy Bari." Angra menatap tak suka.

"Kalau tahu kenapa tidak langsung saja memberikan itu padaku?"

Angra mendengus, menyerahkan benda tersebut secara tidak rela. "Hanya satu menit. Jika lebih dari itu, aku sendiri yang akan mengantar kalian ke sekolah."

"Terima kasih pengertiannya."

King berkacak pinggang. "Wah! Ternyata keluarga Pak Jer lebih berpengaruh daripada Buk Aiden. Hebat betul."

Yah, itu karena keluarga Eldwers berkuasa di luar kota. Di dalam, keluarga Bari lah penguasanya. Dasar anak-anak langka.

Mereka berlima merapat satu sama lain. Itu adalah topeng sama seperti yang disebutkan oleh Mjol. Topeng hitam biasa yang ditempeli kupu-kupu besar biru. Terdapat guratan 'Butterfly Effect' di baliknya dan merek pembuatan.

"Eh?" Gari memicing. "Made in New York?"

"Topeng ini dari New York?" ulang Saho.

Aiden, Jeremy, dan King mengusap wajah. Mereka mendesah panjang. Tak pelak lagi, Sang Villain Kedua telah datang. Dan kode namanya adalah : Butterfly Effect.

Bagaimana cara mereka menyelesaikannya tanpa adanya Watson? Akankah anggota baru, Gari dan Saho, memiliki kesempatan?











Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro