File 1.4.5 - Suddenly They are Holiday

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"WAH! PANTAINYA BIRU DAN JERNIH!" Kapela berdiri di titian kapal, menikmati sapuan angin dan pemandangan laut yang memanjakan mata.

Aiden melirik King yang berkali-kali menghela napas kasar. Ada apa dengannya? Padahal sebelum berangkat dia yang paling semangat ketimbang Kapela. Apa dia mabuk laut?

"Ini bukan liburan, Buk Aiden. Ini lebih mirip studi banding. Kenapa kita dilarang memakai baju bebas? Bepergian dengan seragam sekolah, duh malesin banget."

"Ya kan ini memang bukan liburan. Kamu lupa tujuan kita ke sana? Untuk melihat laut berdarah."

Hellen ikut memperhatikan samudera biru yang membentang di hadapannya. Laut berdarah, ya? Sejauh ini air lautnya masih biru normal.

"Ukh... kenapa aku ada di sini..." Dextra sibuk mengeluh.

Yang mengemudikan kapal adalah Jareth. Setelah Aiden mengiyakan proposal ke pulau pribadi Lunduls kemarin sore, dia mengangguk mengerti lantas pergi begitu saja. Paginya, mobil Jareth telah terparkir di gerbang sekolah menjemput mereka.

"Sepertinya dia anjing yang patuh."

"King, nanti dia bisa mendengarmu."

"Ei, tak mungkin. Dengan suara ombak, derum propeler, kicauan burung, dan arus angin, mustahil dia bisa mendengarnya. Kecuali kalau dia mengerti gerakan mulut."

"Kamu ini kelewat santai."

Sekitar 20 menitan, Kapela berhenti selfie karena latar pemandangan tiba-tiba tidak lagi indah. Dia menurunkan kameranya, memicingkan mata, meneguk ludah gugup.

"Em, kakak-kakak detektif, sepertinya kalian harus melihat ini. Kupikir kita sudah sampai deh."

Mereka seketika berdiri mematung.

Lihatlah, bibir pantai berwarna merah seperti diberi wenter. Anehnya hanya bagian itu yang terkontaminasi, sisanya masih berwarna biru laksana Teluk Alaska. Apa-apaan?

"Ada yang aneh," gumam Aiden pelan.

"Yeah. Ada yang tak benar di sini," sahut King menganggukkan kepala.

Hellen menatap ruang kokpit--tempat Jareth mengemudi. Sebenarnya mereka bisa berdiskusi detik itu juga tentang kejanggalan Laut Berdarah, namun mereka tahan sebab adanya orang luar. Mereka tidak mau mengambil resiko membiarkan Jareth memperhatikan gerak-gerik mereka.

"Aneh..." lirih Dextra, menatap pulau yang kian membesar seiring kapal memangkas jarak, beralih menatap ponselnya. Kenapa makin dekat dengan daratan, sinyal semakin hilang? Apa tidak ada jaringan internet di pulau pribadi itu? Atau mereka menyediakan Wifi pribadi? Kok begitu?

Tampaknya orang-orang di pulau itu berusaha membuat klub detektif Madoka terputus dari dunia luar.

Kapal berhenti di pelabuhan. Sebuah club car parkir di jalan. Tidak ada sesuatu seperti pelayan atau pengawal yang menyambut mereka. Jareth yang mengurus semua keberangkatan sampai kedatangan klub detektif Madoka. Sudah dia yang mengendarai kapal, kini dia mengemudikan mobil.

"Apa tidak ada orang lain di sini, Pak?"

Jareth menggeleng. "Hanya ada saya dan Pak Lunduls."

"Tapi pulau ini terlalu luas untuk dihuni dua individu. Apa Tuan tidak kerepotan mengurusnya?"

"Bukan masalah demi beliau. Lagi pula saya digaji penuh."

King mencibir pada Hellen. "Naneun dangsin-ege mal haess-eoyo, geu namja chungseongseuleon gae (sudah kubilang padamu, dia itu anjing yang setia)."

Si sialan itu sengaja pakai bahasa Korea untuk menyindir Jareth terang-terangan. Hellen mendesis sebal. Apa dia sedang pamer? Dipikir keren 'gitu? Apaan coba artinya.

"Wah! Apa barusan itu Bahasa Korea? Mana logat Kak King fasih banget!" Tapi ada yang keberatan. Si Kapela, jelas. Dia berbinar-binar menatap King. "Betapa machonya."

"Pffft!" Gelak Aiden terlepas. "Macho? Untuk visual seperti dia? Emoh, menggelikan. Ada-ada saja humormu."

"Aku serius!"

Sementara yang lain tertawa kecil, Dextra menghentikan tawanya, memperhatikan Jareth yang tidak tersenyum. Tangannya bergerak memutar-mutar salah satu kancing jasnya. Apa yang dia lakukan? Ekspresinya datar... Tidak, tunggu!

Barusan, dia menyeringai?

-

"Selamat datang di pulauku, Klub Detektif Madoka. Apa kalian menikmati perjalanannya? Setahuku Jareth adalah pengemudi yang baik. Ah, apa kalian sudah melihat TKP? Tidak, tidak. Sebelum melihat hal yang tak mengenakkan, alangkah baiknya kita makan siang bersama terlebih dahulu."

Satu-satu dong, Pak! Kan kami bingung mau jawab yang mana!

Padahal beliau belum cukup umur untuk cerewet. Dia bilang dia baru 36 tahun. Apa ini salah satu bentuk kepribadiannya? Tapi Lunduls terlihat antusias dengan sesuatu. Eh, apa mungkin karena kedatangan mereka ke pulau itu? Mustahil! Dia senang?

"Ah, maaf, maaf. Aku terbawa suasana. Sudah lama sejak pulau ini diinjak oleh tamu selain aku dan Jareth. Aku jadi sedikit bersemangat," ucapnya menyeka air ujung mata.

"Eh? Apa ada tamu di dulu-dulu hari?" Hellen bertanya.

"Benar. Dia adalah sahabatku. Dia juga bekerja untukku." Lunduls mengangguk. Tangannya elegan mengiris steak.

Aiden menyikut lengan King. Raja Abal-abal itu duet mukbang dengan Kapela, lomba makan. Astaga, tidak ada malu-malunya sama sekali. Apa urat malu mereka putus?

"Bagaimana ini, Aiden?" bisik Hellen selagi Hunduls berbicara dengan Jareth soal cemilan penutup. "Aku merasa kita harus menanyakan Nona Ottalisa langsung pada beliau."

"Aku setuju karena itu pilihan bijak."

Untuk membuktikan Lunduls tidak bersalah seperti kata-katanya, maka klien harus bekerja sama dengan detektif yang mengurus kasusnya. Tapi masalahnya adalah Jareth.

"Katakan saja di depannya," celetuk King, melahap potongan steak besar ke mulutnya yang cemong oleh saus, mengulas senyuman miring. "Dan kita lihat bagaimana dia merespon."

Aiden dan Hellen mengangguk.

"Aduh, wajah kalian serius sekali. Apa makanannya tidak enak? Setahuku Jareth adalah pemasak yang baik. Atau kalian tidak suka steak? Aku tidak tahu selera anak muda."

Apa kalimatnya kebetulan? Dia terlalu membanggakan Jareth. Tangan Kapela asyik menyuap daging.

"Bukan begitu, Pak, hanya saja kami mau bertanya sesuatu. Ini tentang sahabat yang Bapak sebutkan tadi." Seperti biasa, Aiden yang punya skill komunikasi hebat memimpin obrolan.

Lunduls menunggu.

"Apa sahabat Bapak yang pernah datang ke pulau pribadi ini bernama Styrine Ottalisa?"

Lunduls membeku di kursinya. Gerakan tangan Jareth yang menuangkan alkohol ke gelas Lunduls terhenti. Bagus! Reaksi yang diharapkan! Mereka berdua terpancing, terutama Jareth!

"B-bagaimana kalian tahu nama itu?" tanya Lunduls dengan suara bergetar. Dia pasti terintimidasi.

"Karena kami detektif, tentu hal seperti itu kami tahu. Termasuk prostitusi yang Anda kelola di Dark Web. Sumber keuangan Anda sebelum mendaftar jadi gubernur."

Ada yang salah dengan Jareth. Hanya sedetik respon syoknya dan dia kembali seperti semula; pelayan profesional. Bahkan Dextra yang tidak tahu-menahu apa pun, menangkap keganjilan pria itu. Apa Jareth sebenarnya "bersih"? Apa mereka yang terlalu berpikir negatif tentangnya?

"Aah," Lunduls menerima sapu tangan yang disodorkan Jareth. "Aku ketahuan, ya? Syukurlah kalau kalian yang mengetahuinya, bukan mata-mata kandidat Dara."

"Oh, Bapak mengakuinya?" Dia tidak menyangkal. Suaranya juga melunak, batin King kehabisan ide untuk mendesak Lunduls.

"Meninggalkan jejak masa lalu memang tidak mudah. Aku berpikir aku telah berhasil melupakan kejahatanku, nyatanya tidak. Anganku menjadi pria yang lebih bermoral hanyalah impian belaka," katanya tersenyum sendu.

Lunduls meletakkan sapu tangannya ke sisi kanan piring, menatap Aiden dan yang lain secara intens. "Sebenarnya aku, Jareth dan Ottalisa adalah teman dari masa sekolah." (*)







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro