File 1.4.6 - Best Friend Tragedy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Teman masa sekolah?"

"Itu benar. Kami bertiga teman dekat saat sekolah menengah, bahkan sampai kuliah dan lulus. Kami masih berkawan karib. Hingga tiba di jenjang dunia dewasa, semuanya berubah."

"Apa yang terjadi?" tanya King.

"Hubunganku dengan Ottalisa perlahan merenggang ketika menyatakan cintanya padaku, namun aku tidak berniat mengubah tali hubungan kami ke romansa dan menolaknya. Kemudian Ottalisa pun menghilang tanpa kabar."

Ck! Setidaknya itulah reaksi pertama King. Dia merotasikan matanya malas. Jadi akar masalah ini adalah cinta tak terbalas? Nafsu makan King lenyap.

"Apakah itu tanggal 23 juni? Hari dimana Nona Ottalisa dinyatakan menghilang?" Aiden memastikan.

"Ah, tidak. Sebenarnya pertengkaran kami jauh sebelum Ottalisa menghilang."

"Aku ingin bertanya." King mengangkat tangan, mimiknya datar. "Apakah kalian berpisah dan memutus komunikasi?"

"Benar." Lunduls mengangguk.

"Kalau begitu kenapa Nona Ottalisa terjebak di situs penjualan wanita lacur yang Anda dirikan? Dia bahkan menjadi agen dalam prostitusi itu."

King! Mulutmu! Rem, woi! Tidak bisakah dia memperindah sedikit?! Misalnya, 'Kupu-kupu Malam' atau apalah!

"Setelah kami tidak lagi berkontakan, aku sangat frustasi waktu itu karena kehilangan sahabatku. Aku hilang arah. Aku mulai aktif di Dark Werb lantas kecanduan. Aku pun membuat perdagangan wanita penghibur untuk pasokan rumah bordil. Aku sungguh terkejut ketika melihat personalia Ottalisa berada di halaman pendaftaran. Dia... berubah. Ottalisa yang kukenal takkan berani berbuat seperti yang aku lakukan. Karena ketidakterimaanku pada kenyataan membuatku buta dan menerima Ottalisa. Kami menjadi rekan bisnis gelap, namun dia tidak tahu identitasku.

"Dan beberapa bulan saat Ottalisa bergabung ke sebuah partai politik, rahasiaku terungkap. Aku juga sudah menyiapkan hati ketika Ottalisa tahu siapa aku. Dia marah besar, tentu saja. Kami berdebat panjang hari itu."

Kapela menyikut lengan King dua kali, berbisik, "Mungkin rekaman cekcok mereka berdua ditemukan reporter jelek yang menerbitkan artikel celaan terhadap Pak Lunduls. Sial sekali dia."

King mengelus dagu. "Waktu kejadian yang tidak diketahui. Hmm, aneh..."

Kret-kret! Suara kecil itu terdengar oleh telinga Hellen. Dia dengan ekstra hati-hati menatap Jareth yang memperbaiki kancing jas. Kenapa suaranya terdengar aneh?

"Apakah semenjak hari itu kalian tidak lagi bertemu atau bertukar pesan?"

"Ah," Lunduls mengeluarkan ponselnya. "Sebelum Ottalisa menghilang entah ke mana, dia sempat mengirimiku email. Apa kalian mau memeriksanya?"

Mereka merapat satu sama lain. Kepo. Itu pesan dari email Ottalisa.

Bisakah kita bertemu di pulau itu berdua saja? Ada yang ingin kubicarakan. Ini untuk terakhir kalinya.

Aiden dan Hellen saling tatap. Apa yang mau Ottalisa bicarakan dengan Lunduls? Sepertinya penting.

Tapi King punya sudut pandang lain. "Hei, Dex, apa kamu bisa hack akun ini? Apa benar Ottalisa yang mengirimnya atau orang lain. Aku curiga di sinilah pangkal jebakan Pak Lunduls."

"Aku rasa itu tidak sulit."

Lunduls menatap Dextra tertarik, tapi tidak ada aura jahat atau apa pun itu. "Jadi kamu pintar meretas? Jangan-jangan yang mencari tahu prostitusiku di Dark Web adalah kamu?"

"M-maaf..." Dextra gelagapan selagi jarinya sudah asyik mengusap layar hp, memunculkan kode-kode hijau seperti di laptopnya terakhir kali. Kombinasi angka dan huruf, tautan, segala macam.

Dia menekan ikon cari. Selesai.

"Tidak ada yang salah, Kak King. Email itu benar-benar dikirim oleh Nona Ottalisa pada pukul 12.47 siang."

"Apa kamu bisa melacak ponselnya?"

"Sebentar—"

Prangg! Siku Lunduls menyenggol gelas. Benda itu pecah berderai begitu menyentuh permukaan keramik. King dan Dextra terlonjak kaget, juga yang lain. Jareth yang profesional segera bergerak membersihkan pecahan kaca.

"Astaga, maafkan aku. Kalian pasti terkejut. Tangan ini kadang-kadang memang suka tremor tanpa sebab."

"Tidak masalah, Pak."

Tapi karena insiden kecil itu, King lupa dengan apa yang dia suruh. Dextra sendiri otomatis mematikan ponsel. Mereka sama-sama lupa kegiatan masing-masing karena kaget.

Lunduls menatap Dextra, tersenyum.

Anak ini berbahaya.

Kapela menotis tatapan aneh Lunduls. Dia mengikuti arah pandangnya, mengernyit bingung. Lah, rupanya dia menatap ke luar toh?

-

Pukul delapan malam sebelum panggilan makan malam, klub detektif Madoka sudah berada di ruang santai yang telah disiapkan oleh Jareth.

"Aku heran," bingung King. Urat-urat lehernya timbul. "Kenapa Pak Ketua jago banget main kubus brengsek ini?"

Maksudnya adalah rubik. King mencoba bermain rubik yang ada di sana. Lima menit mengacak-acak warnanya, King tak bisa mengembalikannya ke semula.

"Coba sini." Kapela merebut benda itu. "Astaga, Kak King, kamu apakan sampai posisi warnanya berjauhan kek 'gini?'

"Entah. Aku hanya putar-putar."

Lupakan mereka. Aiden menghela napas pendek, menoleh ke arah balkon. Dextra sedang menjepret pemandangan laut.

"Kamu gemar memotret, ya?" celetuk Aiden tahu-tahu sudah berdiri di sebelah adkel pemalu. Gadis itu melepas rambutnya dan memakai bandana kain hijau bertingkat dengan motif bunga daffodil. "Manisnya~"

"A-ah, Kak Aiden!" Dextra tersedak.

"Kenapa kamu selalu ketakutan pas ada aku sih? Aku takkan menghajarmu."

Kak Aiden itu tidak mengerti! jerit Dextra dalam hati, menurunkan lengannya yang memfoto laut.

"Kenapa berhenti? Lanjut saja. Aku takkan mengganggu hobimu."

"A-aku tidak hobi memotret."

"Lho? Tapi bukannya barusan—"

"Tidak. Aku sedang merekam pergerakan air laut. Tapi karena jauh apalagi sudah malam, kameranya jadi blur."

"Buat apa?" Jangan bilang si Dextra itu mau membuat video dokumentasi tentang laut berdarah.

"B-bukan apa-apa. Aku hanya merasa aneh dengan laut itu... Ng?" Dextra mengecek ponselnya. Karena sinyal tidak ada di pulau itu, dia mengandalkan Wifi yang sudah disediakan, 00JARETHOTTA. Akan tetapi, ada jaringan baru muncul di ponselnya bernama ROMEOROMEO12.

Apa ada yang membawa Wifi pribadi diantara anggota klub detektif? Tapi untuk apa? Kan sudah ada Wifi gratis. Terlebih, diatur hanya dapat diakses satu perangkat saja.

Dextra melirik Hellen. Dia satu-satunya dari tadi memelototi ponsel.

"Ah, bosan!" seru Kapela, menyerah menormalkan rubik. "Aku mau keluar bentar deh. Jareth tadi memperbolehkan kita berkeliling wastu ini, kan?"

Dextra menyambar jaketnya. "A-aku ikut denganmu, La."

Klep! Pintu tertutup.

Aiden berkacak pinggang. "Haruskah aku pergi berjalan-jalan juga?"

"Tidak usah. Buk Aiden di sini saja. Senggang, kan? Mari bantu aku menyelesaikan rubik sialan ini."

Aiden melempar bantal ke muka King.

-

"Aku mau ke sana." Kapela menunjuk rumah kebun. "Kamu mau ke mana?"

"Ke situ." Dextra menunjuk tujuannya.

Kapela menoleh. "Bukit? Heh, ngapain? Malam lho ini. Nanti kalau ada apa-apa tidak ada yang menolongmu."

"Aku hanya pergi sebentar karena posisinya strategis untuk melihat laut. Jaraknya dengan permukaan air juga tidak jauh. Jadi semisalnya aku jatuh, aku bisa berenang ke tepi."

Kapela melipat tangan. "Sebenarnya apa yang mau kamu lakukan sih? Tempat itu berbahaya. Kamu bisa celaka."

"Tidak apa-apa. Aku hanya mau melihat laut karena aku merasa aneh."

"Aneh kenapa, heh?"

"Jikapun benar mayat Nona Ottalisa dibuang ke laut, bukankah darahnya terlalu banyak? Aku tidak yakin darah manusia bisa mencemari laut sampai separah itu bahkan membuat ikan-ikan mati. Makanya aku mau memeriksa."

"Woi, tunggu dulu!" Percuma. Dextra sudah melengos pergi. Kapela menggaruk kepala. "Dia bilang tidak pintar teka-teki, namun dia jeli juga."

Mengangkat bahu, Kapela pun melangkah riang ke rumah kebun.

Di sisi lain, sepuluh menit jalan kaki, akhirnya Dextra tiba di bukit yang setengah terjal. Dia bisa meluncur jatuh kalau tidak hati-hati melangkah.

"Sudah kuduga, ada yang aneh dengan kondisi laut. Masa darah manusia bisa sebanyak itu?" monolognya. Tangannya sibuk mengangkat hape, memvideokan air laut merah yang surut.

Lagian aneh. Sebuah mayat manusia dilempar ke laut. Seharusnya saat pasang-surut jasadnya terbawa oleh ombak dan terdampar ke bibir pantai. Tapi tidak ada yang terjadi. Apa ada pemberat pada tubuh mayatnya?

"Dipikir komik apa! Aduh, aku memang tidak pandai yang beginian. P-pokoknya rekam ini dan kembali ke wastu..."

"Kamu takkan kembali," kata seseorang.

"Eh?" Dextra tertegun.

Tak sempat menoleh, tubuhnya pun didorong dari bukit. Byurr!! (*)





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro